Opini

Mengenai Aturan Mengazankan Bayi
Tanya:
Ustaz, bagaimana hukumnya mengazankan bayi yang baru lahir? Karena saya sempat membaca beberapa versi; ada yang bilang wajib, ada pula yang bilang itu bid’ah karena hadis yang mendukungnya ternyata palsu. Terima kasih.
Yani Anjani

Jawaban:
Masalah azan, sesungguhnya itu disyariatkan untuk mengumumkan datangnya waktu salat dan untuk mengundang umat muslim agar datang ke masjid guna melaksanakan sholat.

Ternyata azan juga dikumandangkan untuk hal-hal lain selain untuk mengundang shalat. Ulama yang terkenal luwes dalam soal azan di luar salat adalah ulama dari kalangan mazhab Syafi’i.

Masyarakat muslim Indonesia diakui memang kebanyakan bermadzhab Syafi’i. Maka dalam urusan azan di luar salat, juga luwes dan banyak yang mengamalkannya. [Wizarat al-Auqaf al-Kuwait, al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: 2/372]

Termasuk sunah azan untuk hal-hal seperti azan di telinga bayi saat lahir, ketika sedih, ketika mengantarkan seseorang yang akan bepergian jauh, ketika tersesat di jalan, dan ketika menurunkan mayat ke dalam liang lahat.

Perbedaan pendapat azan bayi
Mengenai azan pada telinga bayi saat lahir, memang hal ini menjadi perbedaan di antara para ulama. Ada kalangan yang menganggapnya sunah dan ada pula yang mengatakan dalil azan bayi adalah lemah secara sanad hadis.

Ulama yang mensyariatkan kesunahan adanya adan ketika bayi dilahirkan adalah ulama mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. [Ibnu Abdin Muhammad Amin al-Hanafi; w. 1252, Hasyiah Ibnu Abdin: 1/385]


Imam an-Nawawi (w. 676 H) dari kalangan mazhab Syafi’i mengatakan, "Sunnah mengazani bayi yang baru lahir, baik bayi laki-laki maupun perempuan. Azan ini sebagaimana azan ketika mau salat, dalilnya adalah hadis Abu Rafi’." Ashab as-Syafi’i mengatakan bahwa sunah azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri. [an-Nawawi Abu Zakariya Yahya bin Syaraf; w. 676 H, al-Majmu’: 8/ 442]

Imam al-Bahuti (w. 1051 H) dari kalangan mazhab Hanbali mengatakan, "Disunahkan mengazani telinga bayi di kanan; dan iqamat di telinga kiri. [al-Bahuti Manshur bin Yunus, Kasyaful Qina’: 3/28]

Adapun ulama Malikiyyah menganggap bahwa azan di telinga bayi saat lahir hukumnya makruh.

Imam Hathab ar-Ru’aini (w. 954 H) dari kalangan mazhab Maliki menuliskan bahwa Imam Malik bin Anas memakruhkan azan dan iqamat di telinga bayi. Meski begitu, beliau sendiri mengatakan bahwa hal tersebut telah menjadi kebiasaan masyarakat, maka tidak mengapa mengamalkannya. [Hathab ar-Ru’aini, Mawahib al-Jalil: 1/434]

Dalil yang dipakai oleh ulama yang mengatakan sunah azan di telinga kanan bayi adalah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi (w. 279 H), Imam Abu Daud (w. 275 H) yang berbunyi, "Dari Abu Rafi’ berkata: Saya melihat Nabi Muhammad mengazani Husain bin Ali ketika dilahirkan oleh Fathimah, sebagaimana azan salat. [HR. At-Tirmidzi: 4/97, HR. Abu Daud: 4/328]. Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) menilai hadits ini dengan hasan sahih.

Adzan bayi bid’ah
Meski begitu, ada saja ulama yang menganggap bahwa azan bayi hukumnya bid’ah. Jika ditelusuri lebih jauh, ulama yang menganggap bid’ah ini berpedoman pada hasil penilaian hadis Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Dia mengatakan bahwa hadis Abu Rafi’ yang telah disahihkan oleh at-Tirmidzi (w. 279 H) itu sebagai hadis dhaif. [Nashiruddin al-Albani, Silsilat al-Ahadits ad-Dhaifah, 1/493].

Padahal pada awalnya, Nashiruddin al-Albani menilai sendiri bahwa hadis Abu Rofi’ yang menjadi dalil azan kepada bayi itu derajatnya Hasan InsyaAllah. [Nashiruddin al-Albani, Irwa’ al-Ghalil, 4/400].

Jadi, adanya perbedaan hukum azan ketika bayi karena perbedaan dalam menilai derajat suatu hadits. Perlu diketahui juga bahwa penilaian derajat suatu hadis adalah hasil ijtihad dari seorang muhaddits.

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Imam as Syaukani dalam kitabnya; Nail al-Authar, ketika mengomentari hadis tentang Rasulullah mengadzani Husain, beliau menyatakan, “Dalam hadis ini ada (dalil) tentang disukainya azan di telinga bayi saat lahirnya. Dan diceritakan dalam kitab Al-Bahr disukainya azan tersebut dari Hasan al-Bashri, dan berhujjah tentang iqamat pada telinga yang kiri terhadap perbuatan Umar bin Abdul Aziz” [as-Syaukani Muhammad bin Ali bin Abdullah; w. 1250 H, Nail al-Authar, 5/161].

Penutup
Hal ini merupakan perkara yang menjadi khilaf di antara para ulama. Meski demikian tentu tak elok jika serta-merta mudah menghukumi ”bid’ah” saja tanpa disertakan pendapat ulama yang lain. Apalagi At-Tirmidzi (w. 279 H) sebagai ulama yang sudah diakui kepakarannya dalam hadits, telah mensahihkan sendiri hadis di kitab beliau sendiri. Jika at-Tirmidzi sebagai manusia mungkin saja salah, maka sangat mungkin Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) juga bisa salah.

Jika dilihat dari hikmahnya, sebagaimana Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) telah jelaskan dalam kitab Tuhfat al-Maudud fi Ahkam al-Maulud, bahwa azan kepada bayi sesaat setelah dilahirkan bertujuan agar suara yang pertama kali didengar oleh bayi adalah kalimat takbir yang menggambarkan keagungan Allah. Disadari atau tidak, hal itu akan membawa dampak positif kepada bayi kedepan.

Masih menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), salah satu manfaatnya agar setan menjauh dari sang bayi. Agar ajakan untuk ibadah kepada Allah itu lebih dahulu dari ajakan jelek dari setan. Semoga kita semua dihindarkan dari segala godaan setan yang terkutuk, dari sejak kita lahir hingga akhir hayat kita. Amin

Wallahua’lam bisshawab
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YouTube

Translate

Lencana Facebook

Fans Page Facebook

Video


Download video clip Cakra Khan Harus Terpisah