BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan kecamatan memerlukan
adanya seorang pemimpin yang selalu mampu untuk menggerakkan bawahannya agar
dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara berdayaguna dan
berhasil guna. Keberhasilan pembangunan akan terlihat dari tingginya
produktivitas, penduduk makmur dan sejahtera secara merata.
Peran pengawasan Camat terhadap efektifitas pembangunan pada
hakekatnya merupakan tindakan membandingkan antara perencanaan dengan hasil
yang ada. Hal ini disebabkan karena antara kedua hal tersebut sering terjadi
penyimpangan, maka tugas pengawasan adalah melakukan koreksi atas penyimpangan
tersebut. Pembangunan desa
adalah suatu strategi pembangunan yang dirangsang bagi peningkatan kehidupan
ekonomi dan sosial dari kelompok khusus masyarakat, dalam hal ini masyarakat
yang kurang mampu di pedesaan. Khusus di Desa Laburunci
Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton, pembangunan
yang ada berupa pembangunan pedesaan
yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, serta tersedianya sarana dan
prasarana fasilitas umum untuk menunjang segala kebutuhan masyarakat ternyata
masih kurang untuk membantu masyarakat Desa Laburunci dalam beraktifitas sehari-hari.
Peran
camat dalam bidang pembangunan masyarakat nampak begitu luasnya, camat dalam
melaksanakan perannya selaku kepala pemerintahan di kecamatan dalam bidang pengawasan terhadap pembangunan
desa bekerjasama dengan kepala desa. Dengan demikian camat lebih berkonsentrasi
pada bidang pengawasan yang lebih penting dan juga dalam menjalankan perannya akan memprioritaskan pada
tugas-tugas yang pokok. Dengan adanya peran camat dibidang pengawasan terhadap
pembangunan desa, dalam hal ini pengawasan pembangunan fisik desa diwilayah
masing-masing maka sebagai konsekuwensinya kepala desa harus bertanggung jawab
kepada camat. Selanjutnya Kepala Desa dalam menjalankan pengawasan pembangunan
fisik desa diwilayahnya tersebut tidak menyimpang dari peraturan, instruksi dan
rencana camat selaku pimpinan yang baik, apabila mengingat sesuatu pengawasan
yang efektif. Partisipasi masyarakat juga ikut menentukan keberhasilan
pembangunan, dengan melihat apakah suatu pembangunan itu sesuai dengan kehendak
masyarakat yang bersangkutan. Disamping peran camat juga keikut sertaan
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan berarti masyarakat itu peduli dengan
keberadaan pembangunan sehingga untuk mencapai efektifitas pembangunan fisik
desa akan mudah dicapai.
Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton adalah salah satu
instansi pemerintahan. Camat adalah perangkat pemerintahan yang ada diwilayah
kecamatan yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan diwilayah Kecamatan
Pasarwajo yang bekerja untuk masyarakat sudah seharusnya memberikan peran yang
terbaik bagi masyarakat. Di Kecamatan Pasarwajo ada 20 desa, mengingat
banyaknya desa di Kecamatan Pasarwajo, maka penyusun akan membatasi penelitian
ini hanya pada peran camat dalam bidang pengawasan terhadap efektifitas
pembangunan fisik di Desa Laburunci, dengan alasan karena banyaknya pembangunan
fisik di Desa Laburunci yang merupakan areal perkantoran.
Pemerintah
Desa Laburunci Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton adalah suatu lembaga dan
organisasi pemerintah yang berupaya melakukan pelaksanaan peran pemerintah kecamatan
secara efektif demi terciptanya pembangunan disegala bidang teruma dipembangunan
fisik agar masyarakat dapat merasakan esensi dari otonomi daerah yang berimbas
kepada otonomi desa. Dengan adanya peran camat dalam bidang pengawasan
terhadap pembangunan dalam hal ini pengawasan pembangunan fisik desa sebagai
suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target yang telah dicapai sesuai
dengan target yang ditentukan terlebih dahulu, yang meliputi 3 (tiga) aspek
yaitu kualitas atau kemampuan dalam melakukan pekerjaan. Kuantitas atau
Jumlah dalam hal ini sebarapa banyak hasil yang telah dicapai. Kemudian yang
terakhir yaitu waktu atau kedisiplinan dalam masalah ketepatan waktu dalam
penyelasaian program yang telah ditetapkan. Selanjutnya Kepala Desa dalam menjalankan
pengawasan pembangunan desa tidak boleh menyimpang dari peraturan, instruksi
dan rencana camat sehingga tercapai efektifitas pembangunan desa.
Berdasarkan
uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul: “Peran Camat dalam bidang
Pengawasan terhadap Efektifitas Pembangunan Desa Laburunci Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian dari latar belakang tersebut di atas, penulis dapat merumuskan
permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Peran Camat dalam Bidang Pengawasan
Terhadap Efektifitas Pembangunan Desa Laburunci Kecamatan Pasarwajo Kabupaten
Buton ?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
1)
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana Peran Camat Dalam
Bidang Pengawasan Terhadap Efektifitas Pembangunan Desa Laburunci Kecamatan
Pasarwajo Kabupaten Buton.
2) Manfaat
penelitian
Adapun
manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Manfaat
Teoritis
Diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal peran camat dalam bidang pengawasan
terhadap efektifitas pembangunan desa.
b. Manfaat
Praktis
Diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah di Kabupaten Buton
Propinsi Sulawesi Tenggara pada umumnya dan Kecamatan Pasarwajo pada khususnya
tentang efektifitas peran camat dalam mengawasi pembangunan di masa mendatang.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Konsep
Peran Camat
Istilah
"peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar kata
peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran"
dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu
drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role
dalam bahasa Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau seni teater. Dalam
seni teater seorang aktor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan
plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya.
Lebih jelasnya kata
“peran” atau “role” dalam kamus oxford dictionary diartikan :Actor’s part;
one’s task or function. Yang berarti aktor; tugas seseorang atau fungsi.
Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti Pemain
sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang
diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Ketika istilah
peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau
mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Karena itulah ada yang disebut
dengan role expectation. Harapan mengenai peran seseorang dalam
posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si pemberi tugas dan harapan dari
orang yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut. Peran merupakan
suatu istilah sehari-hari dan semua orang pasti sudah tahu makna dan fungsinya.
Misalnya, anak kecil berperan, wanita berperan, tentara berperan, mamak
berperan, pemerintah berperan. Pokoknya semua manusia berperan, yakni bertingkah
laku sesuai dengan yang diharapkan darinya oleh masyarakat, oleh norma-norma,
oleh orang-orang lain, oleh keluarga dan lain-lain. Sedangkan definisi camat
yaitu kepala pemerintahan daerah dibawah bupati/walikota yang mengepalai
kecamatan. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2008, Camat atau sebutan
lain adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan
pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati atau Walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah, dan menyelenggarakan tugas umum
pemerintahan. Camat diangkat oleh Bupati atau Walikota atas usul sekretaris
daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan
teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dengan
demikian secara sederhana peran camat dapat didefinisikan sebagai: “seorang
pegawai negeri sipil yang diberi peran untuk membantu tugas bupati/walikota
dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pembinanaan kehidupan
kemasyarakatan diwilayah kecamatan” (PP No,19 tahun 2008). Pedoman
tersebut di atas hendaknya dapat dipakai oleh seorang camat sebagai manajer
puncak di organisasi kecamatan, karena peranan camat sangat penting dalam usaha
meningkatkan kinerja perangkat kecamatan yang diharapkan mampu memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka seorang
camat hendaknya mengetahui kedudukan, tugas dan fungsinya (Suradinata,2006:144).
Menurut pendapat di atas kedudukan, tugas dan fungsi camat adalah :
1.
Kedudukan camat, sebagai kepala
pemerintahan di kecamatan.
2.
Tugas camat, memimpin penyelenggaraan pemerintahan, pembinaan pemerintahan desa
dan kelurahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan kemasyarakatan,
menyelenggaraan koordinasi atas kegiatan instansi vertikal dengan dinas di
daerah dan diantara instansi vertikal lainnya di dalam wilayah kecamatan.
3.
Fungsi camat yaitu penyelenggaran tugas-tugas pemerintahan umum dan pembinaan
desa dan kelurahan, pembinaan ketentraman dan pembinaan lingkungan hidup,
pembinaan kesejahteraan sosial, pembinaan pelayanan umum, penyusun rencana dan
program, pembinaan administrasi, ketatausahaan dan rumah ketertiban wilayah, pembinaan
pembangunan masyarakat desa yang meliputi pembinaan sarana dan prasarana
perekonomian, produksi, dan pembinaan pembangunan pada umumnya.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah mengubah
status pemerintah kecamatan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Suhariyono,(1999:40)
bahwa kecamatan selama ini merupakan tingkatan wilayah administrative paling
rendah, menjadi wilayah atau daerah kerja operasional daerah yang kedudukannya
akan disejajarkan dengan dinas dan lembaga teknis daerah yang sama-sama sebagai
perangkat daerah. Tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang
semakin komplek di tingkat kecamatan, menuntut adanya pendelegasian wewenang
kepada perangkat kecamatan. Salah satunya adalah dengan memberdayakaan
perangkat kecamatan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Revida (2005:110)
bahwa munculnya konsep pemberdayaan pada awalnya merupakan gagasan yang ingin menempatkan
manusia sebagai subjek dari dunianya sendiri. Pendapat di atas menjelaskan
bahwa seorang pimpinan dalam memberdayakan bawahannya dimulai dengan memberikan
tanggung jawab atas pekerjaannya, sehingga bawahannya mempunyai wewenang penuh
untuk dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan perbaikan hasil kerjanya.
Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Keban (2004 : 124) diharapkan kontrol
hirarkis dalam organisasi dialihkan ke tangan para pegawai yang berhadapan
langsung dengan pelayanan terhadap masyarakat.
B.
Konsep
Pengawasan
Istilah pengawasan dalam bahasa
Inggris disebut controlling, yang oleh Dale (dalam Winardi, 2000:224)
dikatakan bahwa: “… the modern concept of control … provides a
historical record of what has happened … and provides date the enable
the … executive … to take corrective steps …”. Hal ini
berarti bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan
melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki
dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan.
Dengan demikian pengawasan pada hakekatnya merupakan
tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (dassein) dengan
hasil yang diinginkan (das sollen). Hal ini disebabkan karena antara
kedua hal tersebut sering terjadi penyimpangan, maka tugas pengawasan adalah
melakukan koreksi atas penyimpangan tersebut.
Pengawasan merupakan fungsi manajerial yang keempat setelah
perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan. Sebagai salah satu fungsi
manajemen, mekanisme pengawasan di dalam suatu organisasi memang mutlak
diperlukan. Pelaksanaan suatu rencana atau program tanpa diiringi dengan suatu
sistem pengawasan yang baik dan berkesinambungan, jelas akan mengakibatkan
lambatnya atau bahkan tidak tercapainya sasaran dan tujuan yang telah
ditentukan.
Pengertian tentang pengawasan sangat beragam dan banyak
sekali pendapat para ahli yang mengemukakannya, namun demikian pada prinsipnya
kesemua pendapat yang dikemukan oleh para ahli adalah sama, yaitu merupakan
tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (dassein) dengan
hasil yang diinginkan (das sollen), yang dilakukan dalam rangka
melakukan koreksi atas penyimpanganyang terjadi dalam kegiatan manajemen,
(Mockler, 2001 :213).
Konsep pengawasan dari Mockler di atas, menekankan pada tiga
hal, yaitu (1) harus adanya rencana, standard atau tujuan sebagai tolak ukur
yang ingin dicapai, (2) adanya proses pelaksanaan kerja untuk mencapai tujuan
yang diinginkan, (3) adanya usaha membandingkan mengenai apa yang telah dicapai
dengan standard, rencana, atau tujuan yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan
tindakan perbaikan yang diperlukan. Dengan demikian konsep pengawasan dari
Mockler ini terlihat bahwa ada kegiatan yang perlu direncanakan dengan tolak
ukur berupa kriteria, norma-norma dan standar, kemudian dibandingkan, mana yang
membutuhkan koreksi ataupun perbaikan-perbaikan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Admosudirdjo (dalam
Febriani, 2005:11) yang mengatakan bahwa: Pada pokoknya controlling atau
pengawasan adalah keseluruhan daripada kegiatan yang membandingkan atau
mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria, norma,
standar atau rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Sementara Mockler
(dikutip Stoner & Freeman dalam Wilhelmus dan Molan 1994:241) mengatakan
bahwa: Pengendalian adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan
standard kinerja dengan sasaran perencanaan, merancang sistem umpan balik
informasi, membandingkan kinerja sesungguhnya dengan standard yang terlebih
dahulu ditetapkan itu, menentukan apakah ada penyimpangan dan mengukur
signifikansi penyimpangan tersebut, dan mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan tengah digunakan
sedapat mungkin dengan cara yang paling efektif dan efisien guna tercapainya
sasaran perusahaan. Siagian (1990:107) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pengawasan adalah: “Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan
berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.” Ciri
terpenting dari konsep yang dikemukan oleh Siagian ini adalah bahwa pengawasan
hanya dapat diterapkan bagi pekerjaan yang sedang berjalan dan tidak dapat
diterapkan untuk pekerjaan yang sudah selesai dilaksanakan.
Terry (dalam Winardi, 1986:395) juga berpendapat tentang
pengertian pengawasan ini, ia mengatakan bahwa: Pengawasan berarti
mendeterminasi apa yang dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan
apabila perlu menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan
sesuai dengan rencana. Jadi pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk
menemukan dan mengoreksi penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dari
aktivitas yang direncanakan. Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya
adalah tanggung jawab setiap pimpinan pada tingkat mana pun. Hakikat pengawasan
adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan,
penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan
sasaran serta pelaksanaan tugas organisasi.
Sementara Sarwoto (dalam Febriani, 2005:12) mengatakan
bahwa: ”Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar
pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau
hasil yang dikehendaki”. Dari pendapat Sarwoto ini secara implisit dapat
terlihat tujuan dari pengawasan yaitu mengusahakan agar pekerjaan terlaksana
sesuai dengan rencana. Seluruh pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang
sedang dalam pelaksanaan dan bukan pekerjaan yang telah selesai dikerjakan. Berkaitan
dengan arti pengawasan sebagai suatu proses seperti diungkapkan oleh Lembaga Administrasi
Negara di atas, Soekarno (dalam Situmorang dan Juhir, 1994:20) menyatakan
bahwa: “Pengawasan adalah suatu proses yang menentukan tentang apa yang harus dikerjakan,
agar apa yang dikerjakan sejalan dengan rencana”. Certo (dalam Maman Ukas,
2004:337) mengatakan bahwa : “Controlling is the process managers go trough
to control”. Sementara Maman Ukas (2004:337) menyatakan bahwa: Pengawasan
adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan untuk memantau, mengukur dan bila
perlu melakukan perbaikan atas pelaksanaan pekerjaan sehingga apa yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Hal
senada dikemukakan oleh Manullang (1997:136) bahwa: “Pengawasan adalah suatu
proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan
mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan
rencana semula”. Pada hakekatnya, pandangan Manullang di atas juga menekankan
bahwa pengawasan merupakan suatu proses dimana pekerjaan itu telah dilaksanakan
kemudian diadakan penilaian apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
ataukah terjadi penyimpangan, dan tidak hanya sampai pada penemuan penyimpangan
tetapi juga bagaimana mengambil langkah perubahan dan perbaikan sehingga
organisasi tetap dalam kondisi yang sehat.
Bertitik tolak dari pengertian para ahli tentang pengawasan
sebagai mana diungkapkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan pengawasan adalah sebagai suatu proses kegiatan pimpinan yang sistematis
untuk membandingkan (memastikan dan menjamin) bahwa tujuan dan sasaran serta
tugas organisasi yang akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan
standard, rencana, kebijakan, instruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan dan yang berlaku, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan, guna pemanfaatan manusia dan sumber daya lain yang paling efektif
dan efisien dalam mencapai tujuan.
Terwujudnya tujuan yang dikehendaki oleh organisasi
sebenarnya tidak lain merupakan tujuan dari pengawasan. Sebab setiap kegiatan
pada dasarnya selalu mempunyai tujuan tertentu. Oleh karena itu pengawasan
mutlak diperlukan dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Menurut Situmorang dan
Juhir (1994:22) maksud pengawasan adalah untuk :
a. Mengetahui jalannya pekerjaan,
apakah lancar atau tidak
b. Memperbaiki kesalahan yang dibuat
oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan
yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru.
c. Mengetahui apakah penggunaan budget
yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan
yang telah direncanakan.
d. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai
dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning
atau tidak.
e. Mengetahui hasil pekerjaan
dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning, yaitu
standard.
Rachman
(dalam Situmorang dan Juhir, 1994:22) juga mengemukakan tentang maksud
pengawasan, yaitu:
1. Untuk mengetahui apakah segala
sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
2. Untuk mengetahui apakah segala
sesuatu telah berjalan sesuai dengan instruksi serta prinsip yang telah
ditetapkan
3. Untuk mengetahui apakah kelemahan
serta kesulitan-kesulitan dan kegagalan, sehingga dapat diadakan perubahan
untuk memperbaiki serta. mencegah pengulangan kegiatan yang salah.
4. Untuk mengetahui apakah segala
sesuatu berjalan efisien dan apakah dapat diadakan perbaikan lebih lanjut,
sehingga mendapat efisiensi yang lebih benar.
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa maksud
pengawasan adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan segala
sesuatunya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak, serta mengukur
tingkat kesalahan yang terjadi sehingga mampu diperbaiki ke arah yang lebih
baik.
Sementara
berkaitan dengan tujuan pengawasan, Maman Ukas (2004:337) mengemukakan:
a. Mensuplai pegawai manajemen dengan
informasi yang tepat, teliti dan lengkap tentang apa yang akan dilaksanakan.
b. Memberi kesempatan pada pegawai
dalam meramalkan rintangan-rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja
secara teliti dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau
mengurangi gangguan-gangguan yang terjadi.
c. Setelah kedua hal di atas telah
dilaksanakan, kemudian para pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam
mencapai produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan dari
pada hasil yang diharapkan.
Situmorang
dan Juhir (1994:26) mengatakan bahwa tujuan pengawasan adalah :
1. Agar terciptanya aparat yang bersih
dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya
guna (dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang
konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol sosial)
yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.
2. Agar terselenggaranya tertib
administrasi di lingkungan aparat pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang
sehat.
3. Agar adanya keluasan dalam
melaksanakan tugas, fungsi atau kegiatan, tumbuhnya budaya malu dalam diri
masing aparat, rasa bersalah dan rasa berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat
hal yang tercela terhadap masyarakat dan ajaran agama.
Lebih lanjut Situmorang dan Juhir (1994:26) mengemukakan
bahwa secara langsung tujuan pengawasan adalah untuk:
a.
Menjamin
ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijaksanaan dan perintah.
b.
Menertibkan
koordinasi kegiatan
c.
Mencegah
pemborosan dan penyelewengan
d.
Menjamin
terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang atau jasa yang dihasilkan
e.
Membina
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan organisasi
Sementara tujuan pengawasan menurut Soekarno (dalam
Safrudin, 1965:36) adalah : Untuk mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai
dengan rencana, yang digariskan, mengetahui apakah sesuatu dilaksanakan
sesuai dengan instruksi serta asas yang ditentukan, mengetahui kesulitan dan
kelemahan dalam bekerja, mengetahui apakah sesuatu berjalan efisien atau tidak,
dan mencari jalan keluar jika ternyata dijumpai kesulitan, kelemahan, atau
kegagalan ke arah perbaikan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui
bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah:
- Membandingkan antara
pelaksanaan dengan rencana serta instruksi-instruksi yang telah dibuat.
- Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan,
kelemahan-kelemahan atau kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja.
- Untuk mencari jalan keluar
apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan, atau dengan kata lain
disebut tindakan korektif.
C.
Konsep
Efektifitas
Efektifitas
secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang
terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektifitas
menurut Hidayat (1986:49) yang menjelaskan bahwa :“Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan
seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana
makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”.
Adapun pengertian efektifitas menurut Prasetyo Budi Saksono (1984:31), “Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan
output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input“. Efektivitas
kerja pegawai yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau
dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan. Adapun pengertian efektivitas menurut para ahli diantaranya sebagai
berikut :
Sondang P. Siagian
(2001 : 24) memberikan definisi sebagai berikut : “Efektivitas adalah
pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara
sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa
kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukan keberhasilan dari segi
tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin
mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Sementara itu
Abdurahmat (2003:92) “Efektivitas adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan
prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk
menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya.
Dari beberapa pendapat
para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan dapat dilaksanakan
secara tepat, efektif, efisien apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan
tepat sesuai dengan yang telah direncanakan. Dari pengertian-pengertian
efektifitas tersebut dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu ukuran
yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah
dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih
dahulu. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mencari tingkat efektifitas dapat
digunakan rumus: “Efektifitas = Ouput Aktual/Output Target= 1, jika output
aktual berbanding output yang ditargetkan lebih besar atau sama dengan 1
(satu), maka akan tercapai efektifitas. Jika output aktual berbanding output
yang ditargetkan kurang daripada 1 (satu), maka efektifitas tidak tercapai”.
D.
Konsep
Pembangunan
Definisi pembangunan merupakan
upaya yang sistematik dan berkesinambungan/berkelanjutan untuk menciptakan
keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternative yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang
paling humanistik Anwar (2005:45, Dalam
Hubungan Dengan Konsep Pembangunan Daerah). Salah satu titik berat bagi
pembangunan nasional adalah wilayah pedesaan dengan berbagai kenyamanan dan
daya tarik tersendiri Kemiskinan dan ketidak mampuan masyarakat pedesaan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka. Hal ini
merupakan salah satu kegagalan kebijakan pemerintah dimasa lalu karena
seringkali kebijakan yang ditempuh tidak sesuai dengan kondisi ekosistim
wilayah, keinginan serta nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh masyarakat.
Kebijakan pemerintah
tersebut hanya didasarkan kepada tujuan meningkatkan kapital dan kepentingan
segolongan tertentu saja yang merugikan golongan masyarakat yang lain, tidak memperhatikan
keberagaman wilayah yang ada serta tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Seharusnya keberagaman potensi wilayah baik
kondisi biofisik wilayah, kemampuan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan
akses ke pasar yang berbeda menghendaki perlakuan ataupun kebijakan yang
berbeda pula yang sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Kesalahan dalam
pengaturan dan perancangan program-program pembangunan menyebabkan kegagalan
proses pembangunan itu sendiri.
Keragaman wilayah
pedesaan di Indonesia tergantung kepada tipologinya yang bervariasi, yang oleh
Anwar (2005:71), kebijakan pertanian dan pedesaan tidak dapat dilakukan secara
seragam untuk semua keadaan wilayah yang masing-masing memiliki kekhasan dan
sifat-sifat khusus yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga setiap
kebijakan harus memperhatikan kondisi perkembangan dari wilayah yang
bersangkutan yang secara konseptual tergantung kepada akses pasar dan
biaya-biaya transaksi. Kesenjangan spasial yang terjadi antar wilayah perkotaan
yang bercorak industri dan jasa dengan wilayah pedesaan yang di dominasi oleh
sektor pertanian. Maka diperlukan terobosan dalam menyeimbangkan pembangunan
yang berdapampak pada pembangunan infrastruktur (fisik) desa, dan perekonomian
rakyat pedesaan (non fisik).
Untuk itu Wresniwiro (2007:202),
mengemukakan suatu konsep pembangunan untuk mengurangi ketimpangan spasial
tersebut dengan menyeimbangkan pembangunan yang dilakukan secara terpadu.
Keseimbangan spasial tersebut dapat tercapai apabila dalam perencanaan
pembangunan pedesaan memperhatikan berbagai faktor yang terkait dan pembangunan
diarahkan untuk mencapai tujuan: (1) pemerataan, (2) pertumbuhan, (3) keterkaitan,
(4) keberimbangan, (5) kemandirian, dan (6) keberlanjutan. Keterpaduan tujuan pembangunan tersebut dalam
perencanaan dan proses pembangunan akan meningkatkan produktifitas daerah
pedesaan dengan berpegang pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan yang dianut masyarakat. Pembangunan
bukanlah kegiatan pada ruang kosong tetapi kegiatan yang dilakukan pada tempat
dimana sejumlah penduduk yang memiliki nilai-nilai tertentu menjadi obyek dan
sekaligus sebagai subyek pembangunan.Sehingga nilai-nilai keutamaan yang dianut
masyarakat, organisasi swadaya dan pengelolaan sumberdaya yang bersifat swadaya
hendaknya menjadi landasan penyelenggaraan pembangunan.
Pendekatan
pembangunan ke wilayah pedesaan harus dilakukan tidak hanya kegiatan fisik saja
(infrastruktur), melainkan yang lebih penting sebagai entry point-nya adalah
kegiatan ekonomi (non fisik) berdasarkan pada potensi unggulan dimasing-masing
wilayah, sehingga kesejahteraan rakyat pedesaan dapat segera terwujud.Sebab
kunci dari pembangunan yaitu kurangnya masyarakat yang masih tergolong kurang
sejahtera dibidang perekonomian, dimana hal itu dikategorikan sebagai rakyat
miskin. Dikarenakan prekenomian rakyat yang tidak memenuhi kebutuhan hidup dari
segi sandang, pangan, papan. Dimana sebagaian orang terkadang pembangunan
diartikan adanya gedung megah. Padahal pembangunan itu ada dua segi yaitu
pembangunan fisik dan non fisik. (Wresniwiro, 2007:207).
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas pemerintah
adalah melaksanakan pembangunan disegala bidang termasuk didalamnya pembangunan
fisik desa. Tujuan pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat,
termasuk didalamnya masyarakat desa. Untuk memperjelas tentang apa yang
dimaksud dengan pembangunan fisik desa, maka terlebih dahulu penulis akan
mengutip pendapat para ahli: Menurut Racmat Sumitro (2005:98), pembangunan
didefinisikan sebagai berikut pembangunan adalah segala usaha baik dari
pemerintahan maupun swasta yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan
penduduk sehingga dapat memenuhi keburuhanya secara layak.
E.
Konsep Desa
Desa berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah desa dimakani sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi,
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk
dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, megakui
otonomi yang dimiliki oleh pemerintah desa ataupun dengan sebutan
lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan
ataupun pendelegasian dari pemerintah
ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan
tertentu. Sebagai perwujudan demokrasi sesuai dalam ketentuan UU No. 32 Tahun
2004 maka pemerintahan dalam tatanan pemerintah desa dibentuk Badan
Pesmusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang disesuaikan dengan budaya yang berkembang di
desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengatur dan pengontrol dalam
penyelenggaraan pemerintah desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peratuan Desa, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
Kemudian sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2005 tentang definisi Desa yaitu kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pemerintah Desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena ini Pemerintah Desa atau yang disebut dengan
nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara
pemerintah desa. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disingkat BPD, adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintah desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah
desa. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APB Desa
adalah rencana keuangan tahunan pemerintah desa yang dibahas dan disetujui
bersama oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, yang ditetapkan
dengan Peraturan Desa. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa.
Kemudian pemerintah desa menyelenggarakan
administrasi pemerintah desa yang baik,
melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa, melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan
desa, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, mengembangkan pendapatan
masyarakat dan desa, membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial
budaya dan adat istiadat; memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa dan
mengembangkan potensi sumber daya alam serta melestarikan lingkungan
hidup. Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa
mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintah desa
kepada Camat dan selajutnya kepada Bupati atau Walikota, memberikan laporan
keterangan pertanggungjawaban kepada Badan Permusyawaratan Desa, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintah desa kepada masyarakat.
Selanjutnya Kepala Desa menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintah
desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara
lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunitas atau media
lainnya. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh Bupati atau Walikota
sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintah desa dan sebagai
bahan pembinaan lebih lanjut. Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan
kepada Bupati atau Walikota melalui Camat dan kepada Badan Permusyawaratan Desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar