PENDAHULUAN
71 tahun hidup sebagai rakyat biasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, rasa hati bercampur, antara bangga, senang, hingga sedih dan gundah-gulana. Sebagai penyaksi perjalanan bangsa besar ini, saya melihat banyak peristiwa besar penanda jejak negara ini.
Banyak yang membuat saya, yang tak penuh mengenyam pendidikan formal ini, bangga. Betapa para pemimpin masa lalu begitu gigih berkorban untuk rakyatnya. Tak heran jika penjajah kuat Belanda, yang telah bercokol hampir 350 tahun bisa diusir. Jepang, sang penguasa Asia di era 1940-an, pun luntah oleh semangat patriotik bangsa ini.
Sungguh anugerah besar dari Tuhan yang telah memberi saya waktu menyaksikan banyak peristiwa penting. Seperti perjanjian Renville (17 Februari 1948), Konferensi Meja Bundar (KMB – 23 Agustus hingga 2 November 1949), Peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan banyak lagi lainnya.
Awal berdirinya negara ini, rakyat Indonesia sungguh bangga menjadi “orang Indonesia”. Sikap bijak dan rela berkorban para pemimpinnya meneladankan semangat patriotik kepada rakyat dari Sabang hingga Merauke, menjaga kesatuan dan kebersatuan tanah tercinta. Mengusir penjajah dan separatisme.
Sejalan waktu, perubahan kekuasan terjadi. Era Orede Lama (Orla) beralih kepada Orde Baru (Orba) dengan Soeharto sebagai pimpinan tertingginya. 32 tahun tokoh itu memimpin. Banyak kemajuan yang ditorehkan, tapi tak sedikit pula kekeliruan dan “kemunduran” yang justru dihasilkan rezimnya.
Ketika reformasi tahun 1997 terjadi, banyak kalangan, termasuk saya, berharap akan banyak terjadi perubahan menuju Indonesia yang lebih baik, tentram dan aman. Tapi nyatanya, hingga detik ini, tak satupun harapan itu muncul dari ufuk pencerahannya. Hingga kini hasilnya tak kunjung nyata menyejahterakan, bahkan ironisnya menjadi lebih parah dari era-era sebelumnya. Negara menjadi kian carut marut.
Karena itu, saat ini Indonesia butuh lahirnya “Presiden Gila”. Yang bertugas memperbaiki kecarut-marutan itu, atau pemimpin yang mau meninggalkan kepentingan dan janji-janji manisnya, dan berbakti kepada negara seikhlas-ikhlasnya.
Sebab, bangganya rakyat Indonesia masa lalu adalah berkat para pemimpin yang mau berkorban segalanya demi bangsa ini. Bukan hanya harta benda, tapi juga jiwa raga.
“Presiden Gila” bukan presiden yang hanya bangga berkorban materi saja. Tapi pemimpin sungguhan yang memimpin rakyat. Bukan memimpin golongan atau lembaga tertentu saja.
Sebagai seorang warga negara, tak salah kiranya saya berharap dan memimpikan negara yang benar-benar bisa membuat seluruh rakyatnya bahagia. Gemar ripah loh jinawi. Bahagia jiwa dan raga. Tentunya dengan pemimpin yang ideal.
Inilah yang melatarbelakangi saya untuk menorehkan isi dan curahan hati menyikapi fenomena hidup bernegara yang saya hadapi hingga saat terakhir ini. Upaya ini hanya sebuah bagian dari kepedulian anak bangsa atas nasib pertiwi yang dicintainya. Sekaligus harapan sejati agar sebelum saya melayang-layang di akhirat, saya ingin melihat kesejahteraan rakyat di Indonesia terwujud.
Kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya asa ini, saya haturkan terimakasih.
******
71 tahun hidup sebagai rakyat biasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, rasa hati bercampur, antara bangga, senang, hingga sedih dan gundah-gulana. Sebagai penyaksi perjalanan bangsa besar ini, saya melihat banyak peristiwa besar penanda jejak negara ini.
Banyak yang membuat saya, yang tak penuh mengenyam pendidikan formal ini, bangga. Betapa para pemimpin masa lalu begitu gigih berkorban untuk rakyatnya. Tak heran jika penjajah kuat Belanda, yang telah bercokol hampir 350 tahun bisa diusir. Jepang, sang penguasa Asia di era 1940-an, pun luntah oleh semangat patriotik bangsa ini.
Sungguh anugerah besar dari Tuhan yang telah memberi saya waktu menyaksikan banyak peristiwa penting. Seperti perjanjian Renville (17 Februari 1948), Konferensi Meja Bundar (KMB – 23 Agustus hingga 2 November 1949), Peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan banyak lagi lainnya.
Awal berdirinya negara ini, rakyat Indonesia sungguh bangga menjadi “orang Indonesia”. Sikap bijak dan rela berkorban para pemimpinnya meneladankan semangat patriotik kepada rakyat dari Sabang hingga Merauke, menjaga kesatuan dan kebersatuan tanah tercinta. Mengusir penjajah dan separatisme.
Sejalan waktu, perubahan kekuasan terjadi. Era Orede Lama (Orla) beralih kepada Orde Baru (Orba) dengan Soeharto sebagai pimpinan tertingginya. 32 tahun tokoh itu memimpin. Banyak kemajuan yang ditorehkan, tapi tak sedikit pula kekeliruan dan “kemunduran” yang justru dihasilkan rezimnya.
Ketika reformasi tahun 1997 terjadi, banyak kalangan, termasuk saya, berharap akan banyak terjadi perubahan menuju Indonesia yang lebih baik, tentram dan aman. Tapi nyatanya, hingga detik ini, tak satupun harapan itu muncul dari ufuk pencerahannya. Hingga kini hasilnya tak kunjung nyata menyejahterakan, bahkan ironisnya menjadi lebih parah dari era-era sebelumnya. Negara menjadi kian carut marut.
Karena itu, saat ini Indonesia butuh lahirnya “Presiden Gila”. Yang bertugas memperbaiki kecarut-marutan itu, atau pemimpin yang mau meninggalkan kepentingan dan janji-janji manisnya, dan berbakti kepada negara seikhlas-ikhlasnya.
Sebab, bangganya rakyat Indonesia masa lalu adalah berkat para pemimpin yang mau berkorban segalanya demi bangsa ini. Bukan hanya harta benda, tapi juga jiwa raga.
“Presiden Gila” bukan presiden yang hanya bangga berkorban materi saja. Tapi pemimpin sungguhan yang memimpin rakyat. Bukan memimpin golongan atau lembaga tertentu saja.
Sebagai seorang warga negara, tak salah kiranya saya berharap dan memimpikan negara yang benar-benar bisa membuat seluruh rakyatnya bahagia. Gemar ripah loh jinawi. Bahagia jiwa dan raga. Tentunya dengan pemimpin yang ideal.
Inilah yang melatarbelakangi saya untuk menorehkan isi dan curahan hati menyikapi fenomena hidup bernegara yang saya hadapi hingga saat terakhir ini. Upaya ini hanya sebuah bagian dari kepedulian anak bangsa atas nasib pertiwi yang dicintainya. Sekaligus harapan sejati agar sebelum saya melayang-layang di akhirat, saya ingin melihat kesejahteraan rakyat di Indonesia terwujud.
Kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya asa ini, saya haturkan terimakasih.
******