PENDAHULUAN
71 tahun hidup sebagai rakyat biasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, rasa hati bercampur, antara bangga, senang, hingga sedih dan gundah-gulana. Sebagai penyaksi perjalanan bangsa besar ini, saya melihat banyak peristiwa besar penanda jejak negara ini.
Banyak yang membuat saya, yang tak penuh mengenyam pendidikan formal ini, bangga. Betapa para pemimpin masa lalu begitu gigih berkorban untuk rakyatnya. Tak heran jika penjajah kuat Belanda, yang telah bercokol hampir 350 tahun bisa diusir. Jepang, sang penguasa Asia di era 1940-an, pun luntah oleh semangat patriotik bangsa ini.
Sungguh anugerah besar dari Tuhan yang telah memberi saya waktu menyaksikan banyak peristiwa penting. Seperti perjanjian Renville (17 Februari 1948), Konferensi Meja Bundar (KMB – 23 Agustus hingga 2 November 1949), Peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan banyak lagi lainnya.
Awal berdirinya negara ini, rakyat Indonesia sungguh bangga menjadi “orang Indonesia”. Sikap bijak dan rela berkorban para pemimpinnya meneladankan semangat patriotik kepada rakyat dari Sabang hingga Merauke, menjaga kesatuan dan kebersatuan tanah tercinta. Mengusir penjajah dan separatisme.
Sejalan waktu, perubahan kekuasan terjadi. Era Orede Lama (Orla) beralih kepada Orde Baru (Orba) dengan Soeharto sebagai pimpinan tertingginya. 32 tahun tokoh itu memimpin. Banyak kemajuan yang ditorehkan, tapi tak sedikit pula kekeliruan dan “kemunduran” yang justru dihasilkan rezimnya.
Ketika reformasi tahun 1997 terjadi, banyak kalangan, termasuk saya, berharap akan banyak terjadi perubahan menuju Indonesia yang lebih baik, tentram dan aman. Tapi nyatanya, hingga detik ini, tak satupun harapan itu muncul dari ufuk pencerahannya. Hingga kini hasilnya tak kunjung nyata menyejahterakan, bahkan ironisnya menjadi lebih parah dari era-era sebelumnya. Negara menjadi kian carut marut.
Karena itu, saat ini Indonesia butuh lahirnya “Presiden Gila”. Yang bertugas memperbaiki kecarut-marutan itu, atau pemimpin yang mau meninggalkan kepentingan dan janji-janji manisnya, dan berbakti kepada negara seikhlas-ikhlasnya.
Sebab, bangganya rakyat Indonesia masa lalu adalah berkat para pemimpin yang mau berkorban segalanya demi bangsa ini. Bukan hanya harta benda, tapi juga jiwa raga.
“Presiden Gila” bukan presiden yang hanya bangga berkorban materi saja. Tapi pemimpin sungguhan yang memimpin rakyat. Bukan memimpin golongan atau lembaga tertentu saja.
Sebagai seorang warga negara, tak salah kiranya saya berharap dan memimpikan negara yang benar-benar bisa membuat seluruh rakyatnya bahagia. Gemar ripah loh jinawi. Bahagia jiwa dan raga. Tentunya dengan pemimpin yang ideal.
Inilah yang melatarbelakangi saya untuk menorehkan isi dan curahan hati menyikapi fenomena hidup bernegara yang saya hadapi hingga saat terakhir ini. Upaya ini hanya sebuah bagian dari kepedulian anak bangsa atas nasib pertiwi yang dicintainya. Sekaligus harapan sejati agar sebelum saya melayang-layang di akhirat, saya ingin melihat kesejahteraan rakyat di Indonesia terwujud.
Kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya asa ini, saya haturkan terimakasih.
******
BAGIAN KESATU
Banggaku kepada Indonesia
Bangsa Indonesia bukan bangsa kerdil. Torehan sejarah telah membuktikan bahwa bangsa ini begitu besar dan mampu menjadi ujung tombak dinamika dunia.
Sebelum merdeka, hampir 350 tahun negeri katulistiwa ini dijajah Belanda. Tapi selama itu pula bangsa ini kurang menyadari manfaat dan hasil penjajahan. Rasanya, tanpa penjajah, negeri ini tak bisa semaju seperti sekarang, karena perubahan “alami” yang dilakukan bangsa ini memang lamban.
Mungkin, andai tak ada penjajah, tak akan pernah ada akses jalan yang membelah pulau Jawa, dari Anyer hingga Panarukan. Atau mungkin tak akan pernah ada jalur kereta api yang membentang dari ujung Pulau Jawa ke ujung lainnya. Walau harus diakui, pendudukan penjajah, baik Belanda maupun Jepang mengorbankan banyak nyawa para pejuang, tapi jasa-jasa para penjajah yang membuka mata anak bangsa ini untuk lebih maju dari sebelumnya tak dapat ditampik.
Pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari panjangnya kurun penjajah bercokol di negeri ini, adalah kelambatan bangsa Indonesia untuk lekas berubah menuju kemajuan. Tapi apakah ini bertanda bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki potensi untuk maju?
Tidak. Bangsa ini sangat dan amat berpotensi untuk maju. Seperti dikemukakan di atas, torehan sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang mampu menjadi besar.
Bukti-bukti kebesaran ini pernah dicatat oleh rezim Orde Lama (Orla), yang menorehkan tinta emas di masa awal kelahirannya sebagai bangsa yang mandiri dan merdeka. Perjuangan yang gigih untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah, baik melalui fisik maupun diplomasi, menunjukkan kualitas bangsa ini yang teramat dahsyat untuk tidak melulu takluk dengan cengkraman asing.
Ketika Irian Barat dicaplok Belanda saat Agresi Militer Kedua, perlawanan bangsa Indonesia yang baru “melek” kekuatan fisik, militer dan sosialnya, berhasil menarik kembali pulau kaya raya itu ke pangkuan pertiwi melalui pengorbanan dan darah suci anak bangsanya.
Pada tanggal 19 Desember 1961, di Alun-alun Utara Yogyakarta, Presiden Soekarno memicu dilaksanakannya Operasi Trikora, atau disebut juga Pembebasan Irian Barat, untuk menggabungkan wilayah Papua bagian Barat ke tangan pertiwi. Setelah dua tahun menghadapi konflik hebat dari diplomasi hingga fisik dengan penjajah Belanda, Pemerintah Indonesia bersama rakyatnya berhasil meraih kembali wilayah kaya emas dan tembaga itu.
Walau memang ada peran Amerika Serikat yang cukup signifikan dalam proses peralihan pulau permata ini, tapi upaya putra-putra Indonesia mengambil alih tanah airnya sendiri lebih besar. Buktinya, setelah sukses mengusir Belanda dari Irian Barat, terbentuklah angkat perang Indonesia yang sangat kuat, bahkan paling kuat kawasan Asia Tenggara.
Begitu pula dalam upaya penyadaran kembali PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Organisasi perlawanan massa yang puncaknya terjadi pada 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan di Padang, Sumatra Barat ini, juga secara persuasif dapat dirangkulkan untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Sebelumnya, peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 pimpinan Musso dan Amir Sjarifuddin dapat juga ditumpas. Lalu, pergolakan Perdjuangan Semesta (Permesta) yang dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer di Makassar pada 2 Maret 1957 juga berhasil dikendalikan. Begitu pula pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DII/TII) pada 1962 yang menuntut didirikannya Negara Islam Indonesia, pimpinan Imam Kartosuwirjo berhasil diredam.
Terlihat, ketika baru merdeka, banyak sekali rongrongan, baik dari dalam maupun luar negeri yang harus dihadapi kepemimpinan nasional Indonesia yang masih ranum. Tapi semuanya bisa dihadapi dan dituntaskan.
Bangga dalam Kemandirian
Di masa awal kemerdekaan, sikap politik luar negeri Indonesia juga sungguh berdikari dengan jargon Bebas-Aktif. Indonesia mampu menjadi pemimpin Dunia Ketiga dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung. Sikap ini memperlihatkan tegasnya Indonesia untuk mempromosikan kerjasama ekonomi maupun kebudayaan Asia-Afrika melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara-negara imperialis lainnya.
Rakyat Indonesia yang hidup saat itu, sangat bangga dengan negaranya. Mereka berani meneriakkan slogan anti-Amerika yang ditelorkan Soekarno, “Go to hell with your aid,” (Persetan dengan bantuanmu!), untuk mengolok Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Slogan itu merupakan upaya penolakan atas berlanjutnya penjajahan model baru (neokolonialisme), yang berdalih bantuan pembangunan namun menjerat negara berkembang ke dalam hutang luar negeri yang tiada habis-habisnya.
Semangat KAA menjadi bibit solidaritas negara di Asia, Afrika, dan bahkan negara di luar benua tersebut untuk bekerjasama menyuarakan isu-isu perdamaian, kesejahteraan dan kedaulatan. Bebas dari pengaruh pertarungan blok Barat dan Timur. Hasilnya, pada tahun 1961, bersama Presiden Yugoslavia dan para pemimpin dunia lainnya, Soekarno menggagas terbentuknya gerakan Non-Blok. Gerakan ini juga merupakan bagian dari upaya negara-negara yang bersatu dalam wadah ini untuk melepas diri dari belenggu penjajahan, dengan membangun solidaritas yang kuat antarmereka.
Perjuangan melawan kemapanan kekuatan dunia (penjajah) itu, memang harus berbalas kesengsaraan ekonomi bangsa. Rakyat menjadi kesulitan sandang dan pangan. Mereka harus rela merasakan pahitnya kekurangan makanan. Tapi semua itu mereka anggap wajar dalam perjuangan. Dan mereka ikhlas berkorban demi bangsanya.
Di tahun 1960-an, saat usia muda sebagai negara baru dan pendapatan negara juga masih tipis, Indonesia telah mampu membuat banyak “gawe” besar. Walau harus sedikit berhutang kepada Cina, namun Indonesia tak perlu menggadaikan aset negaranya. Banyak gedung-gedung prestisius dibangun. Seperti gedung DPR-MPR (1965/1966), Hotel Indonesia (5 Agustus 1962), Monumen Nasional (Monas) pada 1961, Jembatan Semanggi (1962), Jembatan Ampera di Palembang (1964), Masjid Istiqlal (1961), dan lain-lain. Sungguh proyek-proyek yang sangat membanggakan rakyat kala itu.
Saking semangatnya dengan pengorbanan, di masa itu rakyat Indonesia tidak perlu diberi hadiah-hadiah untuk mengharumkan nama bangsanya. Regu bulutangkis mampu memboyong banyak piala bergengsi berturut-turut. Tim sepakbola di bawah komando Ramang, mampu menahan imbang raksasa sepakbola era itu, Uni Soviet.
Di era 1960-an, para ahli anggrek nasional juga telah mampu menciptakan spesies-spesies baru anggrek hasil persilangan. Sebutlah yang terkenal seperti anggrek yang dinamai Ho Chi Min, Nelimorli, Presiden, Sirikit, dan lain-lain. Semua prestasi tersebut dilakukan para pejuang negara dengan ikhlas, tanpa pamrih uang atau tanda jasa.
Untuk membalas budi dan pengorbanan rakyatnya, Soekarno (Bung Karno) menghadiahkan banyak monumen dan aktivitas yang dapat membuat rakyat bangga. Pusat olahraga megah seperti Senayan dibangun (1960-1962) dengan kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS, Asean Games juga digelar pada tahun yang sama (1962), dan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), suatu ajang olahraga tandingan Olimpiade diciptakan Bung Karno pada akhir tahun 1962. Padahal saat itu, hanya secuil negara di Asia yang mampu menyelenggarakan acara sebesar dan semeriah Asean Games.
Di daratan Sumatera, rakyat di pulau itu sangat bangga memiliki sebuah monumen yang sangat berharga dalam perjuangan bangsa, yaitu Jembatan Ampera. Pembangunannya dimulai pada April 1962, dengan biaya pembangunan yang diambil dari dana rampasan perang Jepang. Tapi bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara penjajah itu.
Pada awalnya, jembatan yang diresmikan pada 1965 ini dinamai Jembatan Bung Karno, sebagai bentuk penghargaan kepada Bung Karno yang sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi. Jembatan ini menjadi kebanggaan, karena merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara, sekaligus tercanggih di Tanah Air, sebab bagian tengahnya bisa terbuka dan tertutup untuk kepentingan lalu lalang pelayaran di bawahnya. Namun, pergolakan politik pada tahun 1966 menguatkan gerakan anti-Soekarno. Nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), yang hingga kini masih menggunakan tersebut.
Dalam aspek pariwisata dan untuk melahirkan kebanggaan nasional, Bung Karno membangun hotel-hotel megah simbol kemapanan negara. Seperti Hotel Indonesia (Jakarta), Hotel Ambarukmo (Yogyakarta), Hotel Samudera Beach (Pelabuhan Ratu, Jawa Barat) dan Hotel Bali Beach (Sanur, Bali) yang kesemuanya siap dioperasikan awal tahun 1962.
Pada tahun 1963, para jurnalis Indonesia juga berhasil menggalang kekuatan internasional dengan membentuk PWAA (Persatuan Wartawan Asia-Afrika) atau AAJA (Afro-Asian Journalists Association). Organisasi ini menjadi corong utama perjuangan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional mereka menghadapi imperialisme dan neo-kolonialisme. Kantor pusatnya berkedudukan di Jakarta, dengan anggota dari 11 negeri (5 Asia dan 5 Afrika), dan Indonesia menjadi leadernya.
Di tangan Bung Karno, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berani dan tegas, bahkan menjadi sosok yang menakutkan bagi negara-negara kolonial, seperti Amerika Serikat, Inggris, maupun Australia. Hal ini terlihat saat terjadi Konfrontasi Indonesia-Malaysia (tahun 1962-1966) yang meributkan masa depan pulau Kalimantan. Pada 27 Juli 1963, Bung Karno mencetuskan ide “Ganyang Malaysia”.
Konfrontasi ini terjadi akibat keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang Bung Karno yang menganggap Malaysia sebagai “boneka” Britania. Maka pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Bung Karno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya memperkuat pertahanan nasional dan membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia. TNI dibantu puluhan ribu pejuang sukarelawan yang patriotik berperang melawan serbuan Inggris terbesar di Indonesia itu.
Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia bereaksi sangat keras dan langsung menyatakan keluar dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Lalu Bung Karno mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif pengganti PBB yang dicita-citakan akan menjadi kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni Soviet dan Amerikat Serikat).
Rencananya Conefo akan menjadi suatu badan internasional yang akan mewakili kepentingan negara-negara yang baru muncul (Nefos) dan markas besarnya akan berada di Jakarta. Untuk keperluan tersebut dibangun kompkes Conefo, suatu kompleks gedung dekat Gelora Senayan (sekarang Gedung DPR/MPR), dengan bantuan antara lain dari Cina (RRC). Sayangnya, konferensi ini tidak terwujud diadakan karena meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S) disusul dengan kejatuhan Soekarno.
Tapi sudah menjadi bukti sejarah, setelah Indonesia merdeka, negeri jiran Malaysia banyak belajar kepada dan dari bangsa Indonesia. Ratusan guru terpelajar Indonesia diminta membantu meningkatkan mutu pendidikan di negara kerajaan itu. Sedihnya, malah di era sekarang, bangsa Indonesia yang butuh belajar dari Malaysia dalam berbagai sektor, utamanya pendidikan.
Bahkan yang menyedihkan, kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia dianggap masih jauh tertinggal dari negeri tetangga itu. Tak salah jika banyak orang yang cukup mampun secara ekonomi, memilih menyekolahkan anaknya di negeri itu. Bahkan tak sedikit yang merasa sangat bangga dapat belajar di negara itu, ketimbang belajar di dalam negeri, yang dianggap “sangat tertinggal” dalam banyak aspek.
Setelah enambelas tahun pascakematian pahlawan besar Bung Karno, barulah gelar Pahlawan Nasional kemudian disandangkan kepada proklamator ini pada 1986. Sungguh, kita telah menjadi bangsa carut marut yang tidak menghargai sejarah. Padahal, dalam kepemimpinan Bung Karno banyak diteladankan bagaimana cara membesarkan dan mengharumkan nama bangsa tanpa harus banyak berhutang kepada negara lain atau menggadaikan apapun. Aset dan sumberdaya alam tetap terjaga, tapi kharisma tetap terbangun. Tantangan kepemimpinan yang Bung Karno hadapi sangat berat, tapi ia membuktikan perjuangnya sangat bersih dari korupsi. Indonesia di tangan Soekarno menjadi Negara yang mampu “berdikari”, atau berdiri di atas kaki sendiri.
******
BAGIAN KEDUA
Korban Moral
Waktu terus berjalan. Di akhir era 1960-an, masa kepemimpinan Soekarno mengalami krisis. Banyak kalangan mulai meragukan pola kepemimpinan dan kebijakan-kebijakan sang proklamator itu. Terlebih kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikhawatirkan akan menarik Indonesia ke dalam arus ide-ide komunisme.
Gerakan 30 September yang dituding dilakoni oleh PKI, menjadi titik awal peralihan kekuasaan rezim Orde Lama kepada Orde Baru. Supersemar (Surat Perintah sebelas Maret), surat yang sangat dan teramat penting tapi entah ke mana wujudnya, menjadi acuan Soeharto untuk mengambil alih kebijakan-kebijakan strategis negara. Pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pun “mempensiunkan” Soekarno dari jabatannya, dan menggantinya dengan Soeharto, untuk masa jabatan yang kemudian terbilang sangat panjang untuk ukuran kepemimpinan sebuah negara.
Kekuasaan Soeharto yang didukung kuat militer terus menguat hingga berjalan hampir 32 tahun yang kemudian roboh oleh kekuatan arus rakyat (people power) reformasi.
Dengan isu menumpas PKI, para pendukung Soeharto membabat habis semua pendukung Soekarno. Korban pun banyak berjatuhan baik dari kalangan penguasa maupun akar rumput rakyat yang tak berdosa yang saling bunuh akibat curiga dan mencurigai. Dengan kekuasaan kuat ini, membuat Soeharto layaknya diktator baru yang ditakuti siapa saja, termasuk rakyatnya sendiri. Oposisi tidak ada yang berani menentang.
Memang di masa kepemimpinannya rakyat seolah aman, tapi tekanan kepada rakyat sangat kuat, dan menyembunyikan ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang mereka rasakan sesungguhnya.
Riak kecil kekecewaan rakyat terhadap diktatorisme Soeharto, pernah terjadi dalam peristiwa Malari. Malari atau Malapetaka Lima Belas Januari yang terjadi di bilangan wilayah Senen Jakarta itu adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Pemicunya, demontrasi antikunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka (14-17 Januari 1974) dan demonstrasi antimodal asing menyambut kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk.
Dari peristiwa yang memicu kerusuhan di Jakarta itu, Soeharto dan para kroninya seolah mendapat legitimasi untuk merangsekkan kekuatan militer ke dalam lingkungan kampus. Tujuannya, agar mobilitas dan aktivitas politik mahasiswa di, dari, dan dalam kampus dapat dikebiri dan tidak merongrong kekuasaannya lagi. Lalu ditelorkanlah program Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Kampus (NKKBKK) dengan tujuan mengekang gerakan-gerakan mahasiwa agar tidak mengganggu kepentingan pemerintah.
Kemakmuran Nisbi
Berbagai kekurangan di atas, rasanya tak perlu membuat kita melupakan jasa besar Soeharto sebagai tokoh pengembang Indonesia. Dan banyak kebaikan yang ia bangun dalam memakmurkan Indonesia selama kurun 32 tahun kekuasaannya.
Seperti program transmigrasi, Keluarga Berencana (KB) Mandiri, SD Inpres, Puskesmas, Posyandu, pencanangan sejuta gambut, Impres pendidikan dan kesehatan hingga ke desa-desa, kegiatan Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa (Kelompencapir) yang menggambarkan merakyatnya kepala negara dengan rakyatnya, dan banyak kegiatan menyejahterakan rakyat lainnya telah dilakukan.
Dalam upaya membanggakan rakyatnya, dibangunlah misalnya, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1972, sebagai monumen kebersatuan bangsa Indonesia, dan berbagai simbol kebersatuan lainnya. Harus diakui, kemakmuran mulai terasa di zaman itu, tapi banyak pula kesengsaraan yang disisakan. Utamanya, terus terbelenggunya kebebasan rakyat untuk mengekspresikan diri sebagai “orang Indonesia”.
Selama 32 tahun Soeharto menjalankan kepemimpinannya, kemudharatan sepertinya menjadi lebih banyak dari kemaslahatan yang dihasilkan karena dosa-dosa orang-orang sekitarnya yang melakukan banyak hal seenak diri mereka. Era pemerintahannya pun oleh banyak kalangan dianggap sebagai masa yang sia-sia bagi rakyat Indonesia. Karena, dalam paruh lebih dari seperempat abad itu, seharusnya sudah lebih banyak kemajuan yang diraih bangsa ini. Tapi nyatanya, kemakmuran tidak saja merata, dan kesenjangan kehidupan kian menggila.
Ini semua disebabkan karena dalam memimpin, rezim Soeharto hanya mementingkan pengembangan aspek materi, dan melupakan aspek sangat lain yang penting dalam pembangunan bangsa, yaitu moral.
Di era Soeharto, banyak terjadi pesta pora pinjaman ke luar negeri. Negara pun begitu mudah digadaikan kepada pihak asing. Hasil alam yang sangat besar, yang seharusnya dicicipi rakyat, malah bias ke tangan asing atau hanya dinikmati segelintir kroni dan orang yang loyal kepadanya. Jadi, tak banyak hasil nyata yang dicapai dalam masa kepemimpinan 32 tahun.
Kelemahan Soeharto menjalankan kekuasan negara dengan dukungan kroni dan kalangan aportunis yang hanya sekedar ABS (Asal Bapak Senang), menyisakan dampak mematikan hingga kini. Yaitu krisis moral bangsa Indonesia yang makin sulit dihapuskan. Kinerja negatif yang serba sesuka hati yang dilakukan para kroni Soeharto, telah menyisakan teladan sangat buruk kepada masyarakat. Khususnya teladan monopoli yang hanya menguntungkan kalangan tertentu saja. Seperti kasus mobil nasional Timor, monopoli cengkeh, dan lain sebagainya yang menyangkut hajat ekonomi bayak orang.
Di masa kepemimpinan Soeharto yang sedemikian represif, sepertinya tak banyak yang berani melakukan penolakan atau pembangkangan terhadap kebijakan maupun keputusan yang digulirkan pemerintah. Hanya beberapa kalangan yang memang memiliki basis sejarah dan ketokohan yang berani melakukannya.
Antara tahun 72-73, hanya Mohammad Hatta yang berani mengkritik Soeharto dengan mengatakan, “Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia.”
Sangat menyentil ucapan itu. Maklumlah sebagai negarawan besar, Hatta terkenal fasih membela ekonomi yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Dan memang, di era Soeharto yang dikuasai kegiatan monopoli oleh beberapa kalangan saja, membuat rakyat menjadi kian sengsara dan tersulitkan. Praktik korupsi menjadi sokongan untuk menjalankan berbagai kegiatan. Tak salah bila Hatta mengkritiknya.
Pada 5 Mei 1980, terbit “ungkapan keprihatinan” petisi 50 yang ditandatangai 50 tokoh terkemuka Indonesia. Di antara para tokoh itu terdapat nama mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Perdana Menteri Baharuddin Haraharap dan Mohammad Natsir, dan lain-lain. Mereka memprotes penggunaan Pancasila oleh Soeharto sebagai senjata menghadapi lawan-lawan politiknya.
Di masa jayanya, para kroni Soeharto memang sangat keras berjuang menjaga kekuasaannya. Hingga siapapun yang tidak sejalan dengan kebijakan mereka akan dipenjarakan. Apalagi yang menentangnya. Gubernur Bali yang pro Soekarno di masa awal era Orba, hilang tak ada berita hingga kini. Disinyalir, tokoh ini sengaja “dihilangkan” karena afiliasi pemikirannya kepada sang proklamator Indonesia.
Praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang merebak subur di era Soeharto, jelas telah merusak moral bangsa, dari tingkat rukun tetangga (RT) hingga penguasa tingkat tinggi. Tak ada uang, tak ada yang bisa dilanjutkan. Begitu jargon utama masa itu. Menodong uang bukan dari hasil usahanya sudah biasanya. Tanpa uang, jangan harap kita bisa menjalankan sebuah program atau kegiatan.
Intinya, kemampuan bangsa Indonesia di era Soeharto menjadi lumpuh. Negara digadaikan, kolusi merajalela, kekayaan negara pun dikeruk. 32 tahun, rasanya menjadi masa yang sangat tidak berimbang antara kemajuan yang digapai dengan pengorbanan negara. Kerugian materi dan imateri akibat praktik KKN, menjadikan negara ini lebih lumpuh.
Secara fisik, pembangunan berjalan, tapi jika dihitung-hitung, sangatlah lambat dibandingkan potensi dan eksploitasi yang telah dilakukan dari tanah tercinta ini. Analoginya, selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, seharusnya Jembatan Tomang sudah bisa dibangun 10 tingkat, bukan hanya empat tingkat seperti sekarang. Pembangunan memang ada, tapi tidak berimbang dengan pengorbanan dan minimnya hasil.
Kerugian teramat dan sangat besar yang diwariskan rezim ini adalah kehancuran moral anak bangsa. Tentu menjadi harga yang tak terkirakan bagi masa depan Indonesia. Dan warisan itu terus berjangkit hingga kini. Walau reformasi dan demokrasi telah mulai berjalan sekehendak rakyat, tapi karena warisan hancurnya moralitas, menjadikan segala perubahan yang ada di alam reformasi malah menambah carut marut kehidupan berbangsa.
******
BAGIAN KETIGA
Perubahan Kebablasan
Sesuai hukum alam, ada aksi, pasti ada reaksi. Jika ada sebuah bangunan, misalnya, yang kuat menahan 1 ton beban, maka untuk menjebol atau menghancurkannya, butuh beban yang lebih kuat. Begitulah reaksi yang terjadi saat penurunan Soeharto pada 1997 dari kekuasaan yang telah diampunya selama 32 tahun.
Kekuasan yang sebegitu kuat, lantah oleh arus tuntutan reformasi yang lebih kuat dari kekuasaan yang ada. Reaksi ketertekanan rakyat selama tiga puluhan tahun dijajah bangsa sendiri, terakumulasi mendobrak rezim yang terkenal kuat di dunia itu.
Kuatnya arus perubahan yang dituntut rakyat Indonesia terus bergulir hingga di masa reformasi sekalipun. Ketidakpuasan mereka kepada apa saja, selanjutnya membuat mereka tak mampu mengontrol diri setelah mendapatkan “kemerdekaan” di era reformasi. Keterbukaan yang ada, malah membuat mereka menjalaninya secara kebablasan yang cenderung anarki.
Warisan gaya kepemimpinan Soeharto yang mendidik rakyatnya menjadi materialistik, mendorong mereka mudah berebut segala hal demi kepentingan materi. Kegalauan akibat materialisme, membuat masyarakat “kosong” secara spiritual. Tokoh-tokoh agama yang diharap menjadi panutan dan tuntunan malah banyak yang menyimpang. Hasilnya, tumbuh subur nabi-nabi palsu, seperti Lia Aminuddin dengan komunitas Eden, Ahmad Mushoddeq sebagai Imam Mahdi dan Nabi setelah Muhammad, Satria Piningit Weteng Buwono pimpinan Agus Iman Solihin alias Agus Noto Soekarnuputro yang mengaku titisan Bung Karno dan sempat mengaku menjadi Tuhan pada tahun 2005 sampai 2006. Semua itu akibat mudahnya masyarakat untuk tertipu dengan hal-hal baru yang “menjanjikan”.
Negara sungguh telah menjadi “gila”. Tiada hari tanpa demonstrasi. Pencuri ayam dibakar hidup-hidup, tawuran antarkampung, desa, kampus, hingga sekolah terus terjadi. Masyarakat menjadi sangat cepat emosional. Dasarnya, karena kurangnya moralitas dan buruknya keteladanan dari para pemimpin.
Dalam konteks perebutan kekuasaan, kebiasaan menekan lawan hingga memaksa suka ditunjukkan massa. Azhari Noor, Ketua DPRD Medan pun mati teraniaya akibat tuntutan massa untuk merubah kebijakan pemekaran wilayah Tapanuli Selatan. Situasi negara kian “gila”. Demonstrasi yang rebak di mana-mana, tak mampu dihadapi pihak keamanan dengan tindakan tegas. Mereka lebih banyak menjadi penonton, dan hukum pun menjadi loyo. Ingin menindak keras, khawatir dituduh menyalahi HAM atau merusak citra aparat keamanan.
Di awal reformasi, lemahnya pemimpin, membuat Timor Timur melayang. Ambalat digugat, Sipadan dan Ligitan beralih kepemilikan, Australia negara pendatang itu juga berani mengakui para pelarian dari Indonesia dan peminta suaka yang suka mempermalukan negaranya sendiri. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan dari reformasi kebablasan ini adalah makin tidak puasnya rakyat kepada negara. Jika dibiarkan, bom waktu kelak mungkin bukan hanya akan meledak di Aceh yang akan kembali menuntut kemerdekaannya, tapi juga di daerah-daerah lain.
Di zaman “gila” negeri ini, rakyat kian sengsar. Listrik sebagai sarana terpenting penunjang kehidupan mereka, sering rusak dan dimatikan bergilir oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jalan-jalan raya tempat jutaan rakyat menumpu harapan hidup, makin banyak yang berlubang dan tak tersentuh untuk diperbaiki. Untuk menanam, petani juga harus antri pupuk. Mau bepergian naik kereta api, rakyat takut, karena hampir sering terjadi kereta api anjok layaknya kejadian bergilir di mana-mana.
Semuanya sekarang serba krisis. Krisis yang terasa seperti harus bergiliran. Bulan ini krisis listrik, bulan depan krisis BBM, setelah itu krisis LPG, lalu krisis lainnya dan lainnya. Selalu saja ada hal-hal yang membuat rakyat Indonesia kian tidak bisa membanggakan negeri sendiri. Negara menjadi kian carut-marut.
Reformasi yang seharusnya memperbaiki, ternyata malah melanjutkan, bahkan mengembang-biakkan, kecarut-marutan warisan Orba. Karena tidak puas kepada pemimpin, masyarakat menjadi mudah diprovokasi. Pengadilan sebagai institusi “suci” yang seharusnya menjadi induk keadilan, malah menjadi tercela karena ulah oknum-oknum pejabatnya. Mahkamah Agung (MA), benteng akhir hukum jebol oleh kebusukan aparatnya yang suka melakukan jual-beli perkara. Demokrasi pun berjalan tanpa arah.
Sekarang, Indonesia telah menjadi negara pengemis yang suka meminta-minta bantuan luar negeri untuk membangun diri sendiri. Rakyat sebagai pemilik negara lebih banyak menjadi subjek penindasan, mereka selalu menjadi sasaran untuk “digebuki”. Para tenaga kerja di luar negeri yang sebenarnya merupakan pahlawan devisa, tapi malah menjadi potret nyata yang memalukan negeri ini di muka publik mancanegara.
******
BAGIAN KEEMPAT
Mencari “Presiden Gila”
Untuk memperbaiki Indonesia yang tengah carut-marut ini, tidak mungkin dikerjakan sebagian demi sebagian. Tapi harus secara menyeluruh dan sekaligus. Untuk itulah harus ada “Presiden Gila”, dengan menteri-menteri yang setengah gila pula yang mampu bekerja. Bukan hanya berkomentar.
Mengapa harus “gila”? Sebab, memang kondisi seluruh aspek kehidupan negara dan bangsa Indonesia saat ini tengah “gila”, akibat tumpukan masalah yang tak lekas dan urung mendapatkan solusi. Maka, sudah waktunya hadir Presiden “gila” untuk membetulkan “kegilaan-kegilaan” yang ada itu.
Dan menjadi “Presiden Gila” yang ideal itu, tidak boleh lepas untuk memenuhi beberapa kriteria: Jujur, disiplin, bertanggungjawab, dan kesatria.
Jujur
Presiden “gila” harus jujur kepada rakyat dalam hal apa saja. Dalam berbicara ia harus tulus mengungkap apa adanya. Untuk membangun dan meneladankan kejujuran, Presiden “gila” harus menguasai senjata ampuh: Turba (turun ke bawah) dan Sidak (inspeksi mendadak). Tindakan ini perlu agar para bawahan (gubernur mapun menteri) dapat bersikap dan bekerja secara jujur, dengan melaporkan berbagai kekurangan nyata yang ada dalam masyarakat untuk diperbaiki. Dengan mengontrol langsung ke bawah, seperti ke pasar, mengontrol kebersihan umum, jalan rusak, dan lain-lain, Presiden “gila” akan mengetahui kejujuran seluruh aparat dan warganya. Hingga hasilnya, ia dapat menelorkan kebijakan yang tepat sasaran.
Alasan lainnya, bagi seorang presiden, modal uang melakukan apasaja, khususnya dalam penyelenggaraan negara, sudah ada. Ia hanya tinggal memerintahkan apa saja yang akan dikerjakan bawahannya. Dengan Turba yang benar-benar turun ke bawah, Presiden “gila” akan terhindar dari laporan yang baik-baik saja (ABS-Asal Bapak Senang) dari bawahan dan orang-orang kepercayaannya.
Pelaksanaan kejujuran harus tegas dan tidak perlu takut dengan benturan kewenangan. Seorang Presiden “gila” harus seperti “cacing kepanasan”, yang selalu “gerah” dengan kerja bawahannya yang tidak bagus. Dan untuk itu ia tak akan segan memecat bawahannya yang memang menyimpang, seperti melakukan korupsi anggaran, lalu menggantikannya dengan orang yang lebih baik dan jujur. Korupsi, salah satu hal terkait kejujuran, harus ditindak Presiden “gila” hingga akar-akarnya.
Presiden “gila” juga akan rajin hadir ke persidangan untuk memantau kerapihan dan kejujuran pekerjaan peradilan/mahkamah, yang sering suka memolorkan waktu atau menelantarkan kasus.
Kejujuran Presiden “gila” juga terkait dalam penggunaan fasilitas negara. Menjadi “Presiden Gila”, berarti harus sederhana dalam segala hal. Seperti tidak bermewah-mewah saat mengelola negara, dengan memotong anggaran rumahtangga kenegaraan seminim mungkin. Kesederhanaan hidup yang dicontohkan Presiden Iran Ahmadi Nejad maupun Ho Chi Min Presiden Cina tahun 60-an, dapat menjadi contoh bingkai kejujuran mereka dalam menggunakan fasilitas negara.
Ini penting agar para menterinya bisa meniru dan lebih “gila” dalam kesederhanaan. Ketika “Presiden Gila” mau melakukan kunjungan kerja tanpa dikawal senjata, pasti para menterinya akan menolak untuk dikawal sekalipun saat melintasi jalan raya. Mereka juga tidak akan bermewah-mewah hidup dan penampilan.
Disiplin
Maju-mundurnya sebuah negara, salah satu faktornya ditentukan oleh pemimpinnya. Tanpa kedisiplinan pemimpin, pengelolaan negara akan amburadul, karena selalu dipenuhi lawan sikap disiplin, yaitu korupsi. Dan teladan untuk maju, harus dimulai dari pemimpin yang disiplin, bebas dari korupsi dalam bentuk apapun.
Presiden “gila” akan disiplin terhadap segala hal dan aspek, serta tidak akan melakukan korupsi apapun, khususnya korupsi waktu. Karena, tradisi “jam karet” sudah sangat rekat dan biasa dengan budaya bangsa Indonesia, dan sudah sampai pada tahap membahayakan negara. Padahal, tidak ada negara maju di dunia ini yang masyarakatnya tidak displin terhadap waktu. Karena, tidak disiplin terhadap waktu, termasuk bagian korupsi yang hampir setara dengan korupsi uang. Dan korupsi dalam bentuk apapun, pasti akan menghambat kemajuan suatu bangsa.
Kedisiplinan Presiden “gila” akan membuatnya memiliki jadwal kenegaraan yang baku dan tidak mudah begitu saja ia batalkan. Dalam urusan dispilin keuangan, Presiden “gila” tidak akan bangga jika menggunakan fasilitas milik negara. Ia hanya mau menggunakan fasilitas negara dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, bukan pribadi.
Dan bukan hanya fasilitas negara, tapi “Presiden Gila” akan disiplin untuk tidak “pamer diri” dengan melakukan kunjungan-kunjungan ke luar negeri yang menghabiskan banyak dana rakyat. Figur model ini telah dicontohkan Presiden Cina di era 1960-an Moje Tung, yang disiplin tidak pernah mau melakukan lawatan ke luar negeri.
Bertanggungjawab
Banyak aspek dalam tanggungjawab yang harus dipikul “Presiden Gila”. Seperti dalam tugas yang akan ia jalankan secara bertanggungjawab. Tak ada baginya istilah “memolorkan pekerjaan”. Ia akan lekas menuntaskan berbagai tugas dengan baik, tanpa menunda atau bertindak seenaknya karena alasan dia pemegang kuasa.
“Presiden Gila” akan bertanggung jawab terhadap tugas utama pemerintah, yaitu menyediakan fasilitas umum sebagai penunjang nadi kehidupan masyarakat. Sebab, dengan adanya fasilitas umum yang memadai, akan ada banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat, yang selanjutnya dapat mendongkrak kemakmuran mereka.
Selain itu, tanggungjawab “Presiden Gila” terhadap jabatan, akan menuntunnya untuk tegas dalam mengambil keputusan. Ketika terjadi kisruh Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Depok dan Maluku Utara beberapa waktu lalu, pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri kaki tangan Presiden tak mampu bersikap tegas, hingga masalah itu kian berlarut-larut dan melahirkan ketidakpastian rakyat pemilih. Keputusan penting menuntaskan masalah, tak segera disikapi karena hambatan birokrasi dan kepentingan politik. Kejadian ini merupakan contoh pemimpin yang melakukan korupsi tanggungjawab.
Menjadi “Presiden Gila” jelas harus tegas. Seperti yang diteladankan Jenderal Sutanto, Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang mampu memberantas judi. Dengan ketegasannya, penyakit masyarakat itu yang dulunya marak bisa hilang perlahan. Kalau dulu semua orang bisa bebas berjudi, sekarang mereka harus “ngumpet-ngumpet” melakukannya.
Bertanggungjwab terhadap jabatan, berarti berkomitmen nyata menuntaskan masalah sampai ke akar-akarnya. Dalam kasus jebolnya Situ Gintung beberapa bulan lalu (27 Maret 2009), terlihat lemahnya pemimpin yang engan bertanggungjawab. Mereka saling tuding dan melempar masalah. Presiden “gila” akan tegas bersikap terhadap bawahannya yang suka menolak tanggungjawab.
Ketika sebuah sekolah ambruk. “Presiden Gila” harus mengecek sendiri dan menggali sebab mengapa sekolah itu ambruk. Apakah karena ketiadaan anggaran? Jika anggaran sudah ada, mengapa belum diterima? Kalau ada yang salah, pecat saja, ganti dengan yang lebih baik dan bertanggujawab.
Bertanggungjawab, berarti seorang “Presiden Gila” berani menanggung segala resiko kebijakan, keputusan dan hasil kerjanya. Jika “Presiden Gila” dianggap sudah tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, ia akan bertanggungjawab untuk memilih “tahu diri” mengundurkan diri.
“Presiden Gila” juga akan bertanggungjawab terhadap anggaran negara agar tidak diboroskan. Ia akan melakukan penghematan di segala bidang. Demi penghematan anggaran, misalnya, “Presiden Gila” akan menyatukan duta besar-duta besar yang saat ini banyak bertebaran di seantero dnia, tanpa jelas keuntungannya bagi negara.
Kesatria
Sifat kesatria, menjadi sifat utama yang harus dimiliki “Presiden Gila”. Karena sikap ini membutuhkan keberanian dan kebesaran hati. Jika berbuat tidak sesuai wewenang atau menyalahgunakannya, ia rela memilih mengundurkan diri. Seperti satrianya para pemimpin Jepang yang mau mengundurkan diri karena malu kedapatan berbuat tidak sesuai wewenang atau menyalahgunakan kekuasaan. Termasuk dalam kategori ini, malu untuk memakai fasilitas negara demi urusan pribadi atau pribadi.
Banyak hal bisa dipelajari dari tradisi kesatriaan masyarakat Jepang dan Korea Selatan. Di Jepang, ada tradisi harakiri, yaitu “sadar diri” seseorang untuk menanggung beban rasa malu dirinya atas sebuah kegagalan dengan kerelaan membunuh dirinya sendiri. Di Korea Selatan, tradisi malu sudah sangat lumrah. Beberapa waktu lalu, Menteri Perhubungan negara itu dengan satria mengundurkan diri karena terjadi tabrakan kereta api yang merupakan tanggungjawabnya untuk dicegah.
Adakah pemimpin “gila” semacam ini di negara kita? Jangankan untuk mengundurkan diri, mengakui dirinya keliru mengeluarkan kebijakan saja nyaris tak pernah ada yang mau. Yang ada bukan malu atas kesalahan, tapi justru malu mengakui dirinya bersalah. Karenanya, harus ada “Presiden Gila” yang kelak akan melahirkan para pemimpin di bawahnya yang juga “gila” mau mengakui kesalahan.
Aji Mumpung
Indonesia sungguh butuh “Presiden Gila”. Yaitu pemimpin yang sungguh-sungguh memiliki moral, dan berani berkorban mengabdi kepada rakyat. Ia juga harus memiliki sikap “aji mumpung”.
Tapi, bukan “aji mumpung” berkuasa, lantas seenaknya menggunakan fasilitas negara atau wewenang kekuasaan untuk kenikmatan, kenyamanan atau memperkaya diri. “Presiden Gila” harus menjadi “aji mumpung” berbuat banyak untuk mensejahterakan rakyat.
Mumpung menjadi presiden, berantas korupsi yang banyak. Mumpung berkuasa, mengertilah keadaan rakyatnya semaksimum mungkin. Karena, untuk menduduki kursi presiden bukan hal mudah. Dan seorang presiden adalah bibit anak bangsa terbaik hasil seleski dari sekian juta orang. Itu pun hanya satu yang terpilih dalam periode tertentu.
“Presiden Gila” harus sederhana dan sungguh-sungguh. Protokoler memang dibutuhkan untuk menjaga keselamatan diri presiden, tapi jangan berlebihan. Kalau kunjungan ke luar negeri, bawalah rombongan secukupnya untuk menghemat biaya.
“Presiden Gila” tidak hanya mengunjungi petani saat panen raya tiba. Saat pacekliklah, justru presiden harus mendatangi rakyat yang tengah kesusahan itu. Lalu mengoreksi mengapa terjadi paceklik, apakah pupuknya yang kurang baik, atau aliran irigasinya rusak. Karena sungguh aneh, negara yang seharusnya punya pupuk melimpah, tapi petani masih saja susah.
Menjadi pemimpin dengan kriteria “Presiden Gila” di atas, rasanya tidak butuh kepada sosok pemimpin yang pintar. Tengoklah Nabi Muhammad SAW yang buta huruf tapi mampu memimpin umatnya hingga mendunia. Beliau sukses memimpin, karena kebaikan, moral dan kejujuran. Dengan bekal itu beliau mampu memimpin secara bertanggungjawab, disiplin, bersikap satria.
Sosok “Presiden Gila” seperti di atas, rasanya tidak membutuhkan figur orang pintar. Andai diklasifikasi, prosentase kepribadian yang harus dimiliki seorang “Presiden Gila”, idealnya memiliki akhlak yang bagus dengan komposisi 60 persen, lalu kesederhanaan penampilannya 15 persen, dan ilmu atau kepintaran cukuplah 25 persen. Seperti Presiden Cina Mo Je Tung yang sukses di masa lalu menyatukan rakyat Cina, padahal ia berpendidikan rendah.
Sebab, ketinggian ilmu tak menjamin kemampuan seorang pemimpin menjadi “Presiden Gila”. Tengoklah Lemhanas yang dibentuk untuk menggodok pemimpin-pemimpin nasional dengan anggaran sedemikan besar, tapi tetap saja gagal menghasilkan pemimpin berkualitas. Itu karena mereka terlalu pintar namun miskin moralnya.
Untuk menuju perubahan Indonesia yang cepat dan ideal, butuh pemimpin yang mampu menjalankan amanah secara “gila”, dengan senjata mematikannya: Turba (turun ke bawah), Sidak (inspeksi mendadak), dan Pecat.
“Presiden Gila” tak akan ragu menggunakan tiga senjata tersebut. Dengan Turba, segala masalah inti dan nyata yang masyarakat alami, dapat segera diketahui. Dengan Sidak, berbagai kekurangan dan kekeliruan kebijakan dapat segera dievaluasi. Dengan Pecat, perbaikan kinerja SDM (sumber daya manusia) pemerintahan akan terjamin kapabilitas dan kualitasnya.
*****
BAGIAN KELIMA
Menanti Pemimpin Bermoral
Pascareformasi, Indonesia nyaris terasa berbeda dalam banyak hal, dari kehidupan politik hingga sosial kemasyarakat. Tapi sayangnya, masalah juga kian bertumpuk mengganjal. Negara yang dulu dikenal manis senyum, kini terbuka sudah “kedok” keliaran dan kebobrokannya. Kejahatan, ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan terasa di mana-mana.
Semula, saat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin bangsa dari hasil pemilihan langsung dan demokratis, masyarakat berharap sosok segar ini bisa menciptakan perubahan bangsa. Tapi sayang, begitu naik, yang terjadi justru mengecewakan rakyat. Puncaknya ketika SBY melangsungkan pesta perkawinan anaknya di Istana Bogor, dengan dana yang dilansir media sekitar 5 miliar rupiah. Sungguh, itu sangat menyakitkan hati rakyat. Terlebih saat itu rakyat tengah banyak mengalami kesusahan.
Di mata rakyat, nilai SBY yang dipilih rakyat itu hancur. Ia telah menjadi contoh buruk bagi bangsa ini, karena menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Padahal, ia seorang muslim, yang seharusnya berkaca dari teladan pemimpin muslim masa lalu yang telah mencontohkan kearifan berkuasa. Umar ibn Abdul Aziz, salah seorang Khalifah bijak Bani Umayyah, adalah tokoh panutan itu.
Alkisah, suatu malam, Umar ibn Abdul Aziz tengah lembur bekerja. Tiba-tiba ia didatangi anaknya yang ingin membicarakan sesuatu. Umar bertanya, “Apa yang ingin kamu bicarakan? Masalah negara (pemerintah) atau masalah pribadi (keluarga)?” Sang anak menjawab, “Masalah keluarga, Ayah.” Seketika itu pula lampu dipadamkan Umar, lantas ia ambil dan nyalakan sebuah lampu tempel.
Sang anak bertanya, “Kenapa lampunya diganti, Ayah? Bukankah lampu tadi cukup terang?” Sambil tersenyum Umar menjawab, “Anakku, jika yang dibicarakan masalah keluarga, lampu inilah yang kita punya. Karena lampu tadi milik negara, dan minyaknya dibiayai negara yang juga uang rakyat. Kalau Ayah menggunakan lampu milik negara, berarti ayah sudah menzhalimi rakyat. Ayah takut dan malu kepada Allah. Karena Allah pasti tahu perbuatan kita.”
Tengoklah, betapa arif dan bijaksana Umar ibn Abdul Aziz yang tidak rela menggunakan fasilitas kecil milik negara. Apalagi fasilitas besarnya.
Ketika SBY sudah menggunakan fasilitas negara yang begitu besar, maka tak heran jika ada anggota DPRD, misalnya, yang “membesarkan” dirinya dengan minta dikawal iring-iringan ketika melintas di jalan raya. Sungguh tambah menyakitkan rakyat yang sudah lelah antri terkena macet di jalan, malah dihambat oleh iring-iringan mobil pejabat dan pengawalnya.
****
Rakyat Indonesia sebenarnya adalah bangsa besar yang mampu membuat hal-hal yang besar pula. Saat Soekarno memimpin, ia bisa berbuat banyak hal besar untuk rakyatnya. Rakyat pun bangga dipimpinnya. Kala itu, rakyat Indonesia bisa berbangga Borobudur mampu masuk dalam jajaran tujuh keajaiban dunia.
Tapi kini, jangankan Borobudur, listrik saja terasa susah untuk dinikmati. Garuda Indonesia, pelayanan penerbangan yang menjadi citra bangsa ini, gagal diurus. Begitu pula Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD), yang bergerak di bidang transportasi khususnya tranportasi darat di ibukota yang tinggal menunggu ajalnya. Hingga tahun 2008, hanya tersisa 52 armada, dan itupun tidak memenuhi persyaratan, dan kerap mengalami kerusakan.
Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) yang pernah berperan aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan agresi Belanda di Jawa, dengan tugas utama menyelenggarakan pengangkutan darat dengan bus, truk, dan angkutan bermotor lainnya, juga tak jelas kegunaannya kini.
Semua kehancuran ini bukan gara-gara swastanisasi. Tapi semuanya berpangkal pada telah rusaknya moral para pemimpin. Sebagian diciptakan oleh Orde Baru dan kroni-kroninya, lalu berkepanjangan hingga kini. Pasacareformasi, situasi negara tambah rusak, akhirnya yang makin sengsara adalah rakyat.
Sungguh ironis, Garuda Indonesia, sayap citra bangsa Indonesia hanya bisa terbang sampai Tokyo, Singapura, dan Australia. Ke Eropa sudah dilarang, apalagi Amerika Serikat. Malu sekali jika dibanding Singapura, negara kecil, atau Malaysia negara serumpun sebesar pulau Sumatera. Sayap penerbangan mereka bisa melayani seluruh dunia. Begitulah lumpuh sayap-sayap negara ini, menjadi cermin lumpuhnya bangsa.
Saat Garuda Indonesia mendapat warning hingga larangan terbang ke Eropa, Indonesia tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempengaruhi, apalagi mencegahnya. Gagalnya diplomasi dan lain-lain seperti ini sudah menjadi kebiasaan bangsa kita. Karena biasa mengalami kegagalan yang terus menerus, akhirnya kita terbiasa mencari kambing hitam. Kambing hitam andalan klasiknya adalah karena “350 tahun dijajah Belanda”. Bangsa ini tidak maju dan mentalnya rusak, karena dijajah Belanda. Begitu ungkapan akhirnya.
Padahal, sedari kemerdekaan, kita semua sudah menjadi manusia sempurna. Buktinya, setelah merdeka, banyak tokoh-tokoh berkualitas negeri mampu terlahir. Seperti Bung Karno, Syahrir, Bung Hatta, Natsir, dan lainnya. Berarti, bukan karena Belanda kita gagal, tapi karena memang diri kita sendiri yang kurang mampu memberdayakan diri. Bahkan, andai tidak dijajah Belanda, mungkin kita masih terbelakang. Kita tak punya jalan raya, jembatan atau sekolah-sekolah. Anyer-Panarukan juga mungkin tak pernah ada.
Kambing hitam lainnya yang suka kita ucapkan saat mengalami kesusahan adalah, “Sudah takdirnya.” Sudah salah, takdir pula disalahkan. Ketika Pemilu, kita diminta berdoa agar mencoblos yang benar, atau memilih dengan hati nurani, dan meminta petunjuk Allah SWT supaya memilih yang benar. Tapi selepas Pemilu, hasil yang terpilih buruk, pemimpin yang terpilih juga buruk, kita pun menganggap petunjuk Allah yang buruk. Bangsa ini sungguh pintar mencari kambing hitam.
Modal Dasar
Bangsa sebesar Indonesia, sebenarnya sudah memiliki dasar (basis) persatuan yang relatif kuat. Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908), lalu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan adanya konsep Bhineka Tunggal Ika maupun Pancasila, serta Proklamasi Kemerdekaan 1945, menjadi bukti kemampuan bangsa ini bersatu padu. Itulah salah satu modal dasar bangsa ini untuk maju. Tetapi akibat buruknya perilaku pemerintah, akhirnya banyak separatisme muncul.
Orde Baru sesungguhnya sudah banyak memberi pijakan dasar kemajuan bangsa ini menghadapi persaingan global. Program Transmgirasi, Keluarga Berencana (KB), SD Inpres, Puskesmas, Posyandu, dan banyak kegiatan menyejahterakan rakyat lainnya telah dilakukan. Sayang upaya ini tergerus zaman tuntutan perubahan.
Tapi, sejalan perubahan kekuasaan, pijakan itu kian bias. Ide-ide muluk malah sekarang banyak muncul menyertai peralihan kekuasaan, baik dalam Pilkada, Pemilu maupun Pilpres. Ide-ide tidak karuan, seperti ekonomi kerakyatan, pendidikan gratis, dan bualan-bualan manis menyejahterakan murah diumbar. Tak jelas keberlanjutan dan arahnya.
Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang kreatif. Krisis moneter 1997 dan ekonomi global 2009 menjadi bukti bagaimana rakyat bisa mencari kerja sendiri, bertahan menghadapi gejolak kehidupannya. Untuk bertahan hidup, mereka tidak perlu disuruh-suruh pemerintah. Mereka mampu menciptakan pekerjaan sendiri.
Begitu ada aturan three in one, sebagai contoh, orang-orang miskin sangat kreatif menjadi jokinya. Mereka mencari pekerjaan langsung. Hingga urusan pekerjaan negatif pun mampu mereka lakukan. Pemerintah hanya perlu menyediakan fasilitas umum penunjang kemandirian rakyat dan pembangunan fisiknya. Dengan fasilitas ini, rakyat akan lebih kreatif membangun pekerjaaan sendiri.
Yang perlu diawasi dalam urusan pekerjaaanya justru pegawai negeri sipil (PNS), yang berdasarkan data Kementerian Aparatur Negara, pada tahun 2008 telah mencapai 3,8 juta orang. Untuk mempekerjakan mereka, berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2009, negara harus yang mengocek kas sebesar Rp 143,8 triliun. Jelas, mereka inilah yang merupakan pilar kinerja pemerintah. Sebab, ketika para PNS tidak mampu bekerja maksimal dan baik, maka pengadaan fasilitas untuk kemandirian rakyat dan pembangunan fisik pun akan terkendalai. Dana triliunan rupiah juga akan mubazir.
Karenanya, sungguh kita membutuhkan “Presiden Gila”.
*****
PENUTUP
Di era globalisasi saat ini, rasanya perjuangan dunia sudah berubah. Bukan lagi perjuangan fisik beradu kekuatan, tapi perjuangan menuju kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Agar dapat bertahan dan mampu bersaing dalam kompetisi yang sangat ketat di era ini, Indonesia harus berdikari dan tidak lantas menutup diri. Tapi harus tetap mengimbanginya dengan moral yang tinggi. Sebab jika tidak, bangsa Indonesia akan jatuh ke dalam jurang dampak globalisasi yang menyeret bangsa ini kepada pola hidup materialistik yang menyesatkan.
Pengalaman sejarah yang telah bangsa Indonesia toreh dalam kejayaan dulu, jangan membuaikan dan hanya menjadi euforia masa lalu. Sebab kini, Indonesia harus lekas bangkit mengejar ketertinggalan, kemajuan dan persaingan di dunia dengan visi ke depan.
Salah satu kiatnya, adalah dengan membeli teknologi, bukan menguasakannya kepada pihak asing. Mengundang unsur asing ke negeri ini, bukan untuk mengalihkan kepengurusan aset negara yang kemudian seperti menjualnya kepada mereka. Tapi, kita harus membeli jasa dan tenaga mereka, untuk dimanfaatkan sepenuhnya demi kemakmuran rakyat dan negara.
Dari pemilihan presiden (Pilpres) mendatang, rakyat akar rumput (grassroot) sangat mengharap terjadinya perbaikan yang segera. Itu bisa dilaksanakan jika presiden yang kelak terpilih memiliki “jiwa” yang tulus ingin memajukan negara ini, bukan hanya mengeruk kenyamanan saja.
Demokrasi yang kini telah terbuka, harus menjadi demokrasi yang dewasa. Bukan demokrasi yang penuh anarkisme dan kekerasan. Karenanya, harus ada ketegasan hukum. Para pelaku demonstasi anarkis harus dihukum. Provokatornya juga harus dilacak dan ditindak tegas.
Sudah saatnya bangsa Indonesia mendapatkan pemimpin yang benar-benar amanah dan berbakti sepenuhnya memajukan bangsa ini. Pelajar masa lalu bisa memicu kemajuan masa mendatang. Semoga!
*****
71 tahun hidup sebagai rakyat biasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, rasa hati bercampur, antara bangga, senang, hingga sedih dan gundah-gulana. Sebagai penyaksi perjalanan bangsa besar ini, saya melihat banyak peristiwa besar penanda jejak negara ini.
Banyak yang membuat saya, yang tak penuh mengenyam pendidikan formal ini, bangga. Betapa para pemimpin masa lalu begitu gigih berkorban untuk rakyatnya. Tak heran jika penjajah kuat Belanda, yang telah bercokol hampir 350 tahun bisa diusir. Jepang, sang penguasa Asia di era 1940-an, pun luntah oleh semangat patriotik bangsa ini.
Sungguh anugerah besar dari Tuhan yang telah memberi saya waktu menyaksikan banyak peristiwa penting. Seperti perjanjian Renville (17 Februari 1948), Konferensi Meja Bundar (KMB – 23 Agustus hingga 2 November 1949), Peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan banyak lagi lainnya.
Awal berdirinya negara ini, rakyat Indonesia sungguh bangga menjadi “orang Indonesia”. Sikap bijak dan rela berkorban para pemimpinnya meneladankan semangat patriotik kepada rakyat dari Sabang hingga Merauke, menjaga kesatuan dan kebersatuan tanah tercinta. Mengusir penjajah dan separatisme.
Sejalan waktu, perubahan kekuasan terjadi. Era Orede Lama (Orla) beralih kepada Orde Baru (Orba) dengan Soeharto sebagai pimpinan tertingginya. 32 tahun tokoh itu memimpin. Banyak kemajuan yang ditorehkan, tapi tak sedikit pula kekeliruan dan “kemunduran” yang justru dihasilkan rezimnya.
Ketika reformasi tahun 1997 terjadi, banyak kalangan, termasuk saya, berharap akan banyak terjadi perubahan menuju Indonesia yang lebih baik, tentram dan aman. Tapi nyatanya, hingga detik ini, tak satupun harapan itu muncul dari ufuk pencerahannya. Hingga kini hasilnya tak kunjung nyata menyejahterakan, bahkan ironisnya menjadi lebih parah dari era-era sebelumnya. Negara menjadi kian carut marut.
Karena itu, saat ini Indonesia butuh lahirnya “Presiden Gila”. Yang bertugas memperbaiki kecarut-marutan itu, atau pemimpin yang mau meninggalkan kepentingan dan janji-janji manisnya, dan berbakti kepada negara seikhlas-ikhlasnya.
Sebab, bangganya rakyat Indonesia masa lalu adalah berkat para pemimpin yang mau berkorban segalanya demi bangsa ini. Bukan hanya harta benda, tapi juga jiwa raga.
“Presiden Gila” bukan presiden yang hanya bangga berkorban materi saja. Tapi pemimpin sungguhan yang memimpin rakyat. Bukan memimpin golongan atau lembaga tertentu saja.
Sebagai seorang warga negara, tak salah kiranya saya berharap dan memimpikan negara yang benar-benar bisa membuat seluruh rakyatnya bahagia. Gemar ripah loh jinawi. Bahagia jiwa dan raga. Tentunya dengan pemimpin yang ideal.
Inilah yang melatarbelakangi saya untuk menorehkan isi dan curahan hati menyikapi fenomena hidup bernegara yang saya hadapi hingga saat terakhir ini. Upaya ini hanya sebuah bagian dari kepedulian anak bangsa atas nasib pertiwi yang dicintainya. Sekaligus harapan sejati agar sebelum saya melayang-layang di akhirat, saya ingin melihat kesejahteraan rakyat di Indonesia terwujud.
Kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya asa ini, saya haturkan terimakasih.
******
BAGIAN KESATU
Banggaku kepada Indonesia
Bangsa Indonesia bukan bangsa kerdil. Torehan sejarah telah membuktikan bahwa bangsa ini begitu besar dan mampu menjadi ujung tombak dinamika dunia.
Sebelum merdeka, hampir 350 tahun negeri katulistiwa ini dijajah Belanda. Tapi selama itu pula bangsa ini kurang menyadari manfaat dan hasil penjajahan. Rasanya, tanpa penjajah, negeri ini tak bisa semaju seperti sekarang, karena perubahan “alami” yang dilakukan bangsa ini memang lamban.
Mungkin, andai tak ada penjajah, tak akan pernah ada akses jalan yang membelah pulau Jawa, dari Anyer hingga Panarukan. Atau mungkin tak akan pernah ada jalur kereta api yang membentang dari ujung Pulau Jawa ke ujung lainnya. Walau harus diakui, pendudukan penjajah, baik Belanda maupun Jepang mengorbankan banyak nyawa para pejuang, tapi jasa-jasa para penjajah yang membuka mata anak bangsa ini untuk lebih maju dari sebelumnya tak dapat ditampik.
Pelajaran paling berharga yang bisa dipetik dari panjangnya kurun penjajah bercokol di negeri ini, adalah kelambatan bangsa Indonesia untuk lekas berubah menuju kemajuan. Tapi apakah ini bertanda bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki potensi untuk maju?
Tidak. Bangsa ini sangat dan amat berpotensi untuk maju. Seperti dikemukakan di atas, torehan sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang mampu menjadi besar.
Bukti-bukti kebesaran ini pernah dicatat oleh rezim Orde Lama (Orla), yang menorehkan tinta emas di masa awal kelahirannya sebagai bangsa yang mandiri dan merdeka. Perjuangan yang gigih untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah, baik melalui fisik maupun diplomasi, menunjukkan kualitas bangsa ini yang teramat dahsyat untuk tidak melulu takluk dengan cengkraman asing.
Ketika Irian Barat dicaplok Belanda saat Agresi Militer Kedua, perlawanan bangsa Indonesia yang baru “melek” kekuatan fisik, militer dan sosialnya, berhasil menarik kembali pulau kaya raya itu ke pangkuan pertiwi melalui pengorbanan dan darah suci anak bangsanya.
Pada tanggal 19 Desember 1961, di Alun-alun Utara Yogyakarta, Presiden Soekarno memicu dilaksanakannya Operasi Trikora, atau disebut juga Pembebasan Irian Barat, untuk menggabungkan wilayah Papua bagian Barat ke tangan pertiwi. Setelah dua tahun menghadapi konflik hebat dari diplomasi hingga fisik dengan penjajah Belanda, Pemerintah Indonesia bersama rakyatnya berhasil meraih kembali wilayah kaya emas dan tembaga itu.
Walau memang ada peran Amerika Serikat yang cukup signifikan dalam proses peralihan pulau permata ini, tapi upaya putra-putra Indonesia mengambil alih tanah airnya sendiri lebih besar. Buktinya, setelah sukses mengusir Belanda dari Irian Barat, terbentuklah angkat perang Indonesia yang sangat kuat, bahkan paling kuat kawasan Asia Tenggara.
Begitu pula dalam upaya penyadaran kembali PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Organisasi perlawanan massa yang puncaknya terjadi pada 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan di Padang, Sumatra Barat ini, juga secara persuasif dapat dirangkulkan untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Sebelumnya, peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 pimpinan Musso dan Amir Sjarifuddin dapat juga ditumpas. Lalu, pergolakan Perdjuangan Semesta (Permesta) yang dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer di Makassar pada 2 Maret 1957 juga berhasil dikendalikan. Begitu pula pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DII/TII) pada 1962 yang menuntut didirikannya Negara Islam Indonesia, pimpinan Imam Kartosuwirjo berhasil diredam.
Terlihat, ketika baru merdeka, banyak sekali rongrongan, baik dari dalam maupun luar negeri yang harus dihadapi kepemimpinan nasional Indonesia yang masih ranum. Tapi semuanya bisa dihadapi dan dituntaskan.
Bangga dalam Kemandirian
Di masa awal kemerdekaan, sikap politik luar negeri Indonesia juga sungguh berdikari dengan jargon Bebas-Aktif. Indonesia mampu menjadi pemimpin Dunia Ketiga dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung. Sikap ini memperlihatkan tegasnya Indonesia untuk mempromosikan kerjasama ekonomi maupun kebudayaan Asia-Afrika melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara-negara imperialis lainnya.
Rakyat Indonesia yang hidup saat itu, sangat bangga dengan negaranya. Mereka berani meneriakkan slogan anti-Amerika yang ditelorkan Soekarno, “Go to hell with your aid,” (Persetan dengan bantuanmu!), untuk mengolok Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Slogan itu merupakan upaya penolakan atas berlanjutnya penjajahan model baru (neokolonialisme), yang berdalih bantuan pembangunan namun menjerat negara berkembang ke dalam hutang luar negeri yang tiada habis-habisnya.
Semangat KAA menjadi bibit solidaritas negara di Asia, Afrika, dan bahkan negara di luar benua tersebut untuk bekerjasama menyuarakan isu-isu perdamaian, kesejahteraan dan kedaulatan. Bebas dari pengaruh pertarungan blok Barat dan Timur. Hasilnya, pada tahun 1961, bersama Presiden Yugoslavia dan para pemimpin dunia lainnya, Soekarno menggagas terbentuknya gerakan Non-Blok. Gerakan ini juga merupakan bagian dari upaya negara-negara yang bersatu dalam wadah ini untuk melepas diri dari belenggu penjajahan, dengan membangun solidaritas yang kuat antarmereka.
Perjuangan melawan kemapanan kekuatan dunia (penjajah) itu, memang harus berbalas kesengsaraan ekonomi bangsa. Rakyat menjadi kesulitan sandang dan pangan. Mereka harus rela merasakan pahitnya kekurangan makanan. Tapi semua itu mereka anggap wajar dalam perjuangan. Dan mereka ikhlas berkorban demi bangsanya.
Di tahun 1960-an, saat usia muda sebagai negara baru dan pendapatan negara juga masih tipis, Indonesia telah mampu membuat banyak “gawe” besar. Walau harus sedikit berhutang kepada Cina, namun Indonesia tak perlu menggadaikan aset negaranya. Banyak gedung-gedung prestisius dibangun. Seperti gedung DPR-MPR (1965/1966), Hotel Indonesia (5 Agustus 1962), Monumen Nasional (Monas) pada 1961, Jembatan Semanggi (1962), Jembatan Ampera di Palembang (1964), Masjid Istiqlal (1961), dan lain-lain. Sungguh proyek-proyek yang sangat membanggakan rakyat kala itu.
Saking semangatnya dengan pengorbanan, di masa itu rakyat Indonesia tidak perlu diberi hadiah-hadiah untuk mengharumkan nama bangsanya. Regu bulutangkis mampu memboyong banyak piala bergengsi berturut-turut. Tim sepakbola di bawah komando Ramang, mampu menahan imbang raksasa sepakbola era itu, Uni Soviet.
Di era 1960-an, para ahli anggrek nasional juga telah mampu menciptakan spesies-spesies baru anggrek hasil persilangan. Sebutlah yang terkenal seperti anggrek yang dinamai Ho Chi Min, Nelimorli, Presiden, Sirikit, dan lain-lain. Semua prestasi tersebut dilakukan para pejuang negara dengan ikhlas, tanpa pamrih uang atau tanda jasa.
Untuk membalas budi dan pengorbanan rakyatnya, Soekarno (Bung Karno) menghadiahkan banyak monumen dan aktivitas yang dapat membuat rakyat bangga. Pusat olahraga megah seperti Senayan dibangun (1960-1962) dengan kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS, Asean Games juga digelar pada tahun yang sama (1962), dan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), suatu ajang olahraga tandingan Olimpiade diciptakan Bung Karno pada akhir tahun 1962. Padahal saat itu, hanya secuil negara di Asia yang mampu menyelenggarakan acara sebesar dan semeriah Asean Games.
Di daratan Sumatera, rakyat di pulau itu sangat bangga memiliki sebuah monumen yang sangat berharga dalam perjuangan bangsa, yaitu Jembatan Ampera. Pembangunannya dimulai pada April 1962, dengan biaya pembangunan yang diambil dari dana rampasan perang Jepang. Tapi bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara penjajah itu.
Pada awalnya, jembatan yang diresmikan pada 1965 ini dinamai Jembatan Bung Karno, sebagai bentuk penghargaan kepada Bung Karno yang sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi. Jembatan ini menjadi kebanggaan, karena merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara, sekaligus tercanggih di Tanah Air, sebab bagian tengahnya bisa terbuka dan tertutup untuk kepentingan lalu lalang pelayaran di bawahnya. Namun, pergolakan politik pada tahun 1966 menguatkan gerakan anti-Soekarno. Nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), yang hingga kini masih menggunakan tersebut.
Dalam aspek pariwisata dan untuk melahirkan kebanggaan nasional, Bung Karno membangun hotel-hotel megah simbol kemapanan negara. Seperti Hotel Indonesia (Jakarta), Hotel Ambarukmo (Yogyakarta), Hotel Samudera Beach (Pelabuhan Ratu, Jawa Barat) dan Hotel Bali Beach (Sanur, Bali) yang kesemuanya siap dioperasikan awal tahun 1962.
Pada tahun 1963, para jurnalis Indonesia juga berhasil menggalang kekuatan internasional dengan membentuk PWAA (Persatuan Wartawan Asia-Afrika) atau AAJA (Afro-Asian Journalists Association). Organisasi ini menjadi corong utama perjuangan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional mereka menghadapi imperialisme dan neo-kolonialisme. Kantor pusatnya berkedudukan di Jakarta, dengan anggota dari 11 negeri (5 Asia dan 5 Afrika), dan Indonesia menjadi leadernya.
Di tangan Bung Karno, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berani dan tegas, bahkan menjadi sosok yang menakutkan bagi negara-negara kolonial, seperti Amerika Serikat, Inggris, maupun Australia. Hal ini terlihat saat terjadi Konfrontasi Indonesia-Malaysia (tahun 1962-1966) yang meributkan masa depan pulau Kalimantan. Pada 27 Juli 1963, Bung Karno mencetuskan ide “Ganyang Malaysia”.
Konfrontasi ini terjadi akibat keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang Bung Karno yang menganggap Malaysia sebagai “boneka” Britania. Maka pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Bung Karno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya memperkuat pertahanan nasional dan membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia. TNI dibantu puluhan ribu pejuang sukarelawan yang patriotik berperang melawan serbuan Inggris terbesar di Indonesia itu.
Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia bereaksi sangat keras dan langsung menyatakan keluar dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Lalu Bung Karno mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif pengganti PBB yang dicita-citakan akan menjadi kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni Soviet dan Amerikat Serikat).
Rencananya Conefo akan menjadi suatu badan internasional yang akan mewakili kepentingan negara-negara yang baru muncul (Nefos) dan markas besarnya akan berada di Jakarta. Untuk keperluan tersebut dibangun kompkes Conefo, suatu kompleks gedung dekat Gelora Senayan (sekarang Gedung DPR/MPR), dengan bantuan antara lain dari Cina (RRC). Sayangnya, konferensi ini tidak terwujud diadakan karena meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S) disusul dengan kejatuhan Soekarno.
Tapi sudah menjadi bukti sejarah, setelah Indonesia merdeka, negeri jiran Malaysia banyak belajar kepada dan dari bangsa Indonesia. Ratusan guru terpelajar Indonesia diminta membantu meningkatkan mutu pendidikan di negara kerajaan itu. Sedihnya, malah di era sekarang, bangsa Indonesia yang butuh belajar dari Malaysia dalam berbagai sektor, utamanya pendidikan.
Bahkan yang menyedihkan, kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia dianggap masih jauh tertinggal dari negeri tetangga itu. Tak salah jika banyak orang yang cukup mampun secara ekonomi, memilih menyekolahkan anaknya di negeri itu. Bahkan tak sedikit yang merasa sangat bangga dapat belajar di negara itu, ketimbang belajar di dalam negeri, yang dianggap “sangat tertinggal” dalam banyak aspek.
Setelah enambelas tahun pascakematian pahlawan besar Bung Karno, barulah gelar Pahlawan Nasional kemudian disandangkan kepada proklamator ini pada 1986. Sungguh, kita telah menjadi bangsa carut marut yang tidak menghargai sejarah. Padahal, dalam kepemimpinan Bung Karno banyak diteladankan bagaimana cara membesarkan dan mengharumkan nama bangsa tanpa harus banyak berhutang kepada negara lain atau menggadaikan apapun. Aset dan sumberdaya alam tetap terjaga, tapi kharisma tetap terbangun. Tantangan kepemimpinan yang Bung Karno hadapi sangat berat, tapi ia membuktikan perjuangnya sangat bersih dari korupsi. Indonesia di tangan Soekarno menjadi Negara yang mampu “berdikari”, atau berdiri di atas kaki sendiri.
******
BAGIAN KEDUA
Korban Moral
Waktu terus berjalan. Di akhir era 1960-an, masa kepemimpinan Soekarno mengalami krisis. Banyak kalangan mulai meragukan pola kepemimpinan dan kebijakan-kebijakan sang proklamator itu. Terlebih kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikhawatirkan akan menarik Indonesia ke dalam arus ide-ide komunisme.
Gerakan 30 September yang dituding dilakoni oleh PKI, menjadi titik awal peralihan kekuasaan rezim Orde Lama kepada Orde Baru. Supersemar (Surat Perintah sebelas Maret), surat yang sangat dan teramat penting tapi entah ke mana wujudnya, menjadi acuan Soeharto untuk mengambil alih kebijakan-kebijakan strategis negara. Pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pun “mempensiunkan” Soekarno dari jabatannya, dan menggantinya dengan Soeharto, untuk masa jabatan yang kemudian terbilang sangat panjang untuk ukuran kepemimpinan sebuah negara.
Kekuasaan Soeharto yang didukung kuat militer terus menguat hingga berjalan hampir 32 tahun yang kemudian roboh oleh kekuatan arus rakyat (people power) reformasi.
Dengan isu menumpas PKI, para pendukung Soeharto membabat habis semua pendukung Soekarno. Korban pun banyak berjatuhan baik dari kalangan penguasa maupun akar rumput rakyat yang tak berdosa yang saling bunuh akibat curiga dan mencurigai. Dengan kekuasaan kuat ini, membuat Soeharto layaknya diktator baru yang ditakuti siapa saja, termasuk rakyatnya sendiri. Oposisi tidak ada yang berani menentang.
Memang di masa kepemimpinannya rakyat seolah aman, tapi tekanan kepada rakyat sangat kuat, dan menyembunyikan ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang mereka rasakan sesungguhnya.
Riak kecil kekecewaan rakyat terhadap diktatorisme Soeharto, pernah terjadi dalam peristiwa Malari. Malari atau Malapetaka Lima Belas Januari yang terjadi di bilangan wilayah Senen Jakarta itu adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Pemicunya, demontrasi antikunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka (14-17 Januari 1974) dan demonstrasi antimodal asing menyambut kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk.
Dari peristiwa yang memicu kerusuhan di Jakarta itu, Soeharto dan para kroninya seolah mendapat legitimasi untuk merangsekkan kekuatan militer ke dalam lingkungan kampus. Tujuannya, agar mobilitas dan aktivitas politik mahasiswa di, dari, dan dalam kampus dapat dikebiri dan tidak merongrong kekuasaannya lagi. Lalu ditelorkanlah program Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Kampus (NKKBKK) dengan tujuan mengekang gerakan-gerakan mahasiwa agar tidak mengganggu kepentingan pemerintah.
Kemakmuran Nisbi
Berbagai kekurangan di atas, rasanya tak perlu membuat kita melupakan jasa besar Soeharto sebagai tokoh pengembang Indonesia. Dan banyak kebaikan yang ia bangun dalam memakmurkan Indonesia selama kurun 32 tahun kekuasaannya.
Seperti program transmigrasi, Keluarga Berencana (KB) Mandiri, SD Inpres, Puskesmas, Posyandu, pencanangan sejuta gambut, Impres pendidikan dan kesehatan hingga ke desa-desa, kegiatan Kelompok Pendengar Pembaca dan Pemirsa (Kelompencapir) yang menggambarkan merakyatnya kepala negara dengan rakyatnya, dan banyak kegiatan menyejahterakan rakyat lainnya telah dilakukan.
Dalam upaya membanggakan rakyatnya, dibangunlah misalnya, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1972, sebagai monumen kebersatuan bangsa Indonesia, dan berbagai simbol kebersatuan lainnya. Harus diakui, kemakmuran mulai terasa di zaman itu, tapi banyak pula kesengsaraan yang disisakan. Utamanya, terus terbelenggunya kebebasan rakyat untuk mengekspresikan diri sebagai “orang Indonesia”.
Selama 32 tahun Soeharto menjalankan kepemimpinannya, kemudharatan sepertinya menjadi lebih banyak dari kemaslahatan yang dihasilkan karena dosa-dosa orang-orang sekitarnya yang melakukan banyak hal seenak diri mereka. Era pemerintahannya pun oleh banyak kalangan dianggap sebagai masa yang sia-sia bagi rakyat Indonesia. Karena, dalam paruh lebih dari seperempat abad itu, seharusnya sudah lebih banyak kemajuan yang diraih bangsa ini. Tapi nyatanya, kemakmuran tidak saja merata, dan kesenjangan kehidupan kian menggila.
Ini semua disebabkan karena dalam memimpin, rezim Soeharto hanya mementingkan pengembangan aspek materi, dan melupakan aspek sangat lain yang penting dalam pembangunan bangsa, yaitu moral.
Di era Soeharto, banyak terjadi pesta pora pinjaman ke luar negeri. Negara pun begitu mudah digadaikan kepada pihak asing. Hasil alam yang sangat besar, yang seharusnya dicicipi rakyat, malah bias ke tangan asing atau hanya dinikmati segelintir kroni dan orang yang loyal kepadanya. Jadi, tak banyak hasil nyata yang dicapai dalam masa kepemimpinan 32 tahun.
Kelemahan Soeharto menjalankan kekuasan negara dengan dukungan kroni dan kalangan aportunis yang hanya sekedar ABS (Asal Bapak Senang), menyisakan dampak mematikan hingga kini. Yaitu krisis moral bangsa Indonesia yang makin sulit dihapuskan. Kinerja negatif yang serba sesuka hati yang dilakukan para kroni Soeharto, telah menyisakan teladan sangat buruk kepada masyarakat. Khususnya teladan monopoli yang hanya menguntungkan kalangan tertentu saja. Seperti kasus mobil nasional Timor, monopoli cengkeh, dan lain sebagainya yang menyangkut hajat ekonomi bayak orang.
Di masa kepemimpinan Soeharto yang sedemikian represif, sepertinya tak banyak yang berani melakukan penolakan atau pembangkangan terhadap kebijakan maupun keputusan yang digulirkan pemerintah. Hanya beberapa kalangan yang memang memiliki basis sejarah dan ketokohan yang berani melakukannya.
Antara tahun 72-73, hanya Mohammad Hatta yang berani mengkritik Soeharto dengan mengatakan, “Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia.”
Sangat menyentil ucapan itu. Maklumlah sebagai negarawan besar, Hatta terkenal fasih membela ekonomi yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Dan memang, di era Soeharto yang dikuasai kegiatan monopoli oleh beberapa kalangan saja, membuat rakyat menjadi kian sengsara dan tersulitkan. Praktik korupsi menjadi sokongan untuk menjalankan berbagai kegiatan. Tak salah bila Hatta mengkritiknya.
Pada 5 Mei 1980, terbit “ungkapan keprihatinan” petisi 50 yang ditandatangai 50 tokoh terkemuka Indonesia. Di antara para tokoh itu terdapat nama mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Perdana Menteri Baharuddin Haraharap dan Mohammad Natsir, dan lain-lain. Mereka memprotes penggunaan Pancasila oleh Soeharto sebagai senjata menghadapi lawan-lawan politiknya.
Di masa jayanya, para kroni Soeharto memang sangat keras berjuang menjaga kekuasaannya. Hingga siapapun yang tidak sejalan dengan kebijakan mereka akan dipenjarakan. Apalagi yang menentangnya. Gubernur Bali yang pro Soekarno di masa awal era Orba, hilang tak ada berita hingga kini. Disinyalir, tokoh ini sengaja “dihilangkan” karena afiliasi pemikirannya kepada sang proklamator Indonesia.
Praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang merebak subur di era Soeharto, jelas telah merusak moral bangsa, dari tingkat rukun tetangga (RT) hingga penguasa tingkat tinggi. Tak ada uang, tak ada yang bisa dilanjutkan. Begitu jargon utama masa itu. Menodong uang bukan dari hasil usahanya sudah biasanya. Tanpa uang, jangan harap kita bisa menjalankan sebuah program atau kegiatan.
Intinya, kemampuan bangsa Indonesia di era Soeharto menjadi lumpuh. Negara digadaikan, kolusi merajalela, kekayaan negara pun dikeruk. 32 tahun, rasanya menjadi masa yang sangat tidak berimbang antara kemajuan yang digapai dengan pengorbanan negara. Kerugian materi dan imateri akibat praktik KKN, menjadikan negara ini lebih lumpuh.
Secara fisik, pembangunan berjalan, tapi jika dihitung-hitung, sangatlah lambat dibandingkan potensi dan eksploitasi yang telah dilakukan dari tanah tercinta ini. Analoginya, selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, seharusnya Jembatan Tomang sudah bisa dibangun 10 tingkat, bukan hanya empat tingkat seperti sekarang. Pembangunan memang ada, tapi tidak berimbang dengan pengorbanan dan minimnya hasil.
Kerugian teramat dan sangat besar yang diwariskan rezim ini adalah kehancuran moral anak bangsa. Tentu menjadi harga yang tak terkirakan bagi masa depan Indonesia. Dan warisan itu terus berjangkit hingga kini. Walau reformasi dan demokrasi telah mulai berjalan sekehendak rakyat, tapi karena warisan hancurnya moralitas, menjadikan segala perubahan yang ada di alam reformasi malah menambah carut marut kehidupan berbangsa.
******
BAGIAN KETIGA
Perubahan Kebablasan
Sesuai hukum alam, ada aksi, pasti ada reaksi. Jika ada sebuah bangunan, misalnya, yang kuat menahan 1 ton beban, maka untuk menjebol atau menghancurkannya, butuh beban yang lebih kuat. Begitulah reaksi yang terjadi saat penurunan Soeharto pada 1997 dari kekuasaan yang telah diampunya selama 32 tahun.
Kekuasan yang sebegitu kuat, lantah oleh arus tuntutan reformasi yang lebih kuat dari kekuasaan yang ada. Reaksi ketertekanan rakyat selama tiga puluhan tahun dijajah bangsa sendiri, terakumulasi mendobrak rezim yang terkenal kuat di dunia itu.
Kuatnya arus perubahan yang dituntut rakyat Indonesia terus bergulir hingga di masa reformasi sekalipun. Ketidakpuasan mereka kepada apa saja, selanjutnya membuat mereka tak mampu mengontrol diri setelah mendapatkan “kemerdekaan” di era reformasi. Keterbukaan yang ada, malah membuat mereka menjalaninya secara kebablasan yang cenderung anarki.
Warisan gaya kepemimpinan Soeharto yang mendidik rakyatnya menjadi materialistik, mendorong mereka mudah berebut segala hal demi kepentingan materi. Kegalauan akibat materialisme, membuat masyarakat “kosong” secara spiritual. Tokoh-tokoh agama yang diharap menjadi panutan dan tuntunan malah banyak yang menyimpang. Hasilnya, tumbuh subur nabi-nabi palsu, seperti Lia Aminuddin dengan komunitas Eden, Ahmad Mushoddeq sebagai Imam Mahdi dan Nabi setelah Muhammad, Satria Piningit Weteng Buwono pimpinan Agus Iman Solihin alias Agus Noto Soekarnuputro yang mengaku titisan Bung Karno dan sempat mengaku menjadi Tuhan pada tahun 2005 sampai 2006. Semua itu akibat mudahnya masyarakat untuk tertipu dengan hal-hal baru yang “menjanjikan”.
Negara sungguh telah menjadi “gila”. Tiada hari tanpa demonstrasi. Pencuri ayam dibakar hidup-hidup, tawuran antarkampung, desa, kampus, hingga sekolah terus terjadi. Masyarakat menjadi sangat cepat emosional. Dasarnya, karena kurangnya moralitas dan buruknya keteladanan dari para pemimpin.
Dalam konteks perebutan kekuasaan, kebiasaan menekan lawan hingga memaksa suka ditunjukkan massa. Azhari Noor, Ketua DPRD Medan pun mati teraniaya akibat tuntutan massa untuk merubah kebijakan pemekaran wilayah Tapanuli Selatan. Situasi negara kian “gila”. Demonstrasi yang rebak di mana-mana, tak mampu dihadapi pihak keamanan dengan tindakan tegas. Mereka lebih banyak menjadi penonton, dan hukum pun menjadi loyo. Ingin menindak keras, khawatir dituduh menyalahi HAM atau merusak citra aparat keamanan.
Di awal reformasi, lemahnya pemimpin, membuat Timor Timur melayang. Ambalat digugat, Sipadan dan Ligitan beralih kepemilikan, Australia negara pendatang itu juga berani mengakui para pelarian dari Indonesia dan peminta suaka yang suka mempermalukan negaranya sendiri. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan dari reformasi kebablasan ini adalah makin tidak puasnya rakyat kepada negara. Jika dibiarkan, bom waktu kelak mungkin bukan hanya akan meledak di Aceh yang akan kembali menuntut kemerdekaannya, tapi juga di daerah-daerah lain.
Di zaman “gila” negeri ini, rakyat kian sengsar. Listrik sebagai sarana terpenting penunjang kehidupan mereka, sering rusak dan dimatikan bergilir oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jalan-jalan raya tempat jutaan rakyat menumpu harapan hidup, makin banyak yang berlubang dan tak tersentuh untuk diperbaiki. Untuk menanam, petani juga harus antri pupuk. Mau bepergian naik kereta api, rakyat takut, karena hampir sering terjadi kereta api anjok layaknya kejadian bergilir di mana-mana.
Semuanya sekarang serba krisis. Krisis yang terasa seperti harus bergiliran. Bulan ini krisis listrik, bulan depan krisis BBM, setelah itu krisis LPG, lalu krisis lainnya dan lainnya. Selalu saja ada hal-hal yang membuat rakyat Indonesia kian tidak bisa membanggakan negeri sendiri. Negara menjadi kian carut-marut.
Reformasi yang seharusnya memperbaiki, ternyata malah melanjutkan, bahkan mengembang-biakkan, kecarut-marutan warisan Orba. Karena tidak puas kepada pemimpin, masyarakat menjadi mudah diprovokasi. Pengadilan sebagai institusi “suci” yang seharusnya menjadi induk keadilan, malah menjadi tercela karena ulah oknum-oknum pejabatnya. Mahkamah Agung (MA), benteng akhir hukum jebol oleh kebusukan aparatnya yang suka melakukan jual-beli perkara. Demokrasi pun berjalan tanpa arah.
Sekarang, Indonesia telah menjadi negara pengemis yang suka meminta-minta bantuan luar negeri untuk membangun diri sendiri. Rakyat sebagai pemilik negara lebih banyak menjadi subjek penindasan, mereka selalu menjadi sasaran untuk “digebuki”. Para tenaga kerja di luar negeri yang sebenarnya merupakan pahlawan devisa, tapi malah menjadi potret nyata yang memalukan negeri ini di muka publik mancanegara.
******
BAGIAN KEEMPAT
Mencari “Presiden Gila”
Untuk memperbaiki Indonesia yang tengah carut-marut ini, tidak mungkin dikerjakan sebagian demi sebagian. Tapi harus secara menyeluruh dan sekaligus. Untuk itulah harus ada “Presiden Gila”, dengan menteri-menteri yang setengah gila pula yang mampu bekerja. Bukan hanya berkomentar.
Mengapa harus “gila”? Sebab, memang kondisi seluruh aspek kehidupan negara dan bangsa Indonesia saat ini tengah “gila”, akibat tumpukan masalah yang tak lekas dan urung mendapatkan solusi. Maka, sudah waktunya hadir Presiden “gila” untuk membetulkan “kegilaan-kegilaan” yang ada itu.
Dan menjadi “Presiden Gila” yang ideal itu, tidak boleh lepas untuk memenuhi beberapa kriteria: Jujur, disiplin, bertanggungjawab, dan kesatria.
Jujur
Presiden “gila” harus jujur kepada rakyat dalam hal apa saja. Dalam berbicara ia harus tulus mengungkap apa adanya. Untuk membangun dan meneladankan kejujuran, Presiden “gila” harus menguasai senjata ampuh: Turba (turun ke bawah) dan Sidak (inspeksi mendadak). Tindakan ini perlu agar para bawahan (gubernur mapun menteri) dapat bersikap dan bekerja secara jujur, dengan melaporkan berbagai kekurangan nyata yang ada dalam masyarakat untuk diperbaiki. Dengan mengontrol langsung ke bawah, seperti ke pasar, mengontrol kebersihan umum, jalan rusak, dan lain-lain, Presiden “gila” akan mengetahui kejujuran seluruh aparat dan warganya. Hingga hasilnya, ia dapat menelorkan kebijakan yang tepat sasaran.
Alasan lainnya, bagi seorang presiden, modal uang melakukan apasaja, khususnya dalam penyelenggaraan negara, sudah ada. Ia hanya tinggal memerintahkan apa saja yang akan dikerjakan bawahannya. Dengan Turba yang benar-benar turun ke bawah, Presiden “gila” akan terhindar dari laporan yang baik-baik saja (ABS-Asal Bapak Senang) dari bawahan dan orang-orang kepercayaannya.
Pelaksanaan kejujuran harus tegas dan tidak perlu takut dengan benturan kewenangan. Seorang Presiden “gila” harus seperti “cacing kepanasan”, yang selalu “gerah” dengan kerja bawahannya yang tidak bagus. Dan untuk itu ia tak akan segan memecat bawahannya yang memang menyimpang, seperti melakukan korupsi anggaran, lalu menggantikannya dengan orang yang lebih baik dan jujur. Korupsi, salah satu hal terkait kejujuran, harus ditindak Presiden “gila” hingga akar-akarnya.
Presiden “gila” juga akan rajin hadir ke persidangan untuk memantau kerapihan dan kejujuran pekerjaan peradilan/mahkamah, yang sering suka memolorkan waktu atau menelantarkan kasus.
Kejujuran Presiden “gila” juga terkait dalam penggunaan fasilitas negara. Menjadi “Presiden Gila”, berarti harus sederhana dalam segala hal. Seperti tidak bermewah-mewah saat mengelola negara, dengan memotong anggaran rumahtangga kenegaraan seminim mungkin. Kesederhanaan hidup yang dicontohkan Presiden Iran Ahmadi Nejad maupun Ho Chi Min Presiden Cina tahun 60-an, dapat menjadi contoh bingkai kejujuran mereka dalam menggunakan fasilitas negara.
Ini penting agar para menterinya bisa meniru dan lebih “gila” dalam kesederhanaan. Ketika “Presiden Gila” mau melakukan kunjungan kerja tanpa dikawal senjata, pasti para menterinya akan menolak untuk dikawal sekalipun saat melintasi jalan raya. Mereka juga tidak akan bermewah-mewah hidup dan penampilan.
Disiplin
Maju-mundurnya sebuah negara, salah satu faktornya ditentukan oleh pemimpinnya. Tanpa kedisiplinan pemimpin, pengelolaan negara akan amburadul, karena selalu dipenuhi lawan sikap disiplin, yaitu korupsi. Dan teladan untuk maju, harus dimulai dari pemimpin yang disiplin, bebas dari korupsi dalam bentuk apapun.
Presiden “gila” akan disiplin terhadap segala hal dan aspek, serta tidak akan melakukan korupsi apapun, khususnya korupsi waktu. Karena, tradisi “jam karet” sudah sangat rekat dan biasa dengan budaya bangsa Indonesia, dan sudah sampai pada tahap membahayakan negara. Padahal, tidak ada negara maju di dunia ini yang masyarakatnya tidak displin terhadap waktu. Karena, tidak disiplin terhadap waktu, termasuk bagian korupsi yang hampir setara dengan korupsi uang. Dan korupsi dalam bentuk apapun, pasti akan menghambat kemajuan suatu bangsa.
Kedisiplinan Presiden “gila” akan membuatnya memiliki jadwal kenegaraan yang baku dan tidak mudah begitu saja ia batalkan. Dalam urusan dispilin keuangan, Presiden “gila” tidak akan bangga jika menggunakan fasilitas milik negara. Ia hanya mau menggunakan fasilitas negara dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, bukan pribadi.
Dan bukan hanya fasilitas negara, tapi “Presiden Gila” akan disiplin untuk tidak “pamer diri” dengan melakukan kunjungan-kunjungan ke luar negeri yang menghabiskan banyak dana rakyat. Figur model ini telah dicontohkan Presiden Cina di era 1960-an Moje Tung, yang disiplin tidak pernah mau melakukan lawatan ke luar negeri.
Bertanggungjawab
Banyak aspek dalam tanggungjawab yang harus dipikul “Presiden Gila”. Seperti dalam tugas yang akan ia jalankan secara bertanggungjawab. Tak ada baginya istilah “memolorkan pekerjaan”. Ia akan lekas menuntaskan berbagai tugas dengan baik, tanpa menunda atau bertindak seenaknya karena alasan dia pemegang kuasa.
“Presiden Gila” akan bertanggung jawab terhadap tugas utama pemerintah, yaitu menyediakan fasilitas umum sebagai penunjang nadi kehidupan masyarakat. Sebab, dengan adanya fasilitas umum yang memadai, akan ada banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat, yang selanjutnya dapat mendongkrak kemakmuran mereka.
Selain itu, tanggungjawab “Presiden Gila” terhadap jabatan, akan menuntunnya untuk tegas dalam mengambil keputusan. Ketika terjadi kisruh Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Depok dan Maluku Utara beberapa waktu lalu, pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri kaki tangan Presiden tak mampu bersikap tegas, hingga masalah itu kian berlarut-larut dan melahirkan ketidakpastian rakyat pemilih. Keputusan penting menuntaskan masalah, tak segera disikapi karena hambatan birokrasi dan kepentingan politik. Kejadian ini merupakan contoh pemimpin yang melakukan korupsi tanggungjawab.
Menjadi “Presiden Gila” jelas harus tegas. Seperti yang diteladankan Jenderal Sutanto, Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang mampu memberantas judi. Dengan ketegasannya, penyakit masyarakat itu yang dulunya marak bisa hilang perlahan. Kalau dulu semua orang bisa bebas berjudi, sekarang mereka harus “ngumpet-ngumpet” melakukannya.
Bertanggungjwab terhadap jabatan, berarti berkomitmen nyata menuntaskan masalah sampai ke akar-akarnya. Dalam kasus jebolnya Situ Gintung beberapa bulan lalu (27 Maret 2009), terlihat lemahnya pemimpin yang engan bertanggungjawab. Mereka saling tuding dan melempar masalah. Presiden “gila” akan tegas bersikap terhadap bawahannya yang suka menolak tanggungjawab.
Ketika sebuah sekolah ambruk. “Presiden Gila” harus mengecek sendiri dan menggali sebab mengapa sekolah itu ambruk. Apakah karena ketiadaan anggaran? Jika anggaran sudah ada, mengapa belum diterima? Kalau ada yang salah, pecat saja, ganti dengan yang lebih baik dan bertanggujawab.
Bertanggungjawab, berarti seorang “Presiden Gila” berani menanggung segala resiko kebijakan, keputusan dan hasil kerjanya. Jika “Presiden Gila” dianggap sudah tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, ia akan bertanggungjawab untuk memilih “tahu diri” mengundurkan diri.
“Presiden Gila” juga akan bertanggungjawab terhadap anggaran negara agar tidak diboroskan. Ia akan melakukan penghematan di segala bidang. Demi penghematan anggaran, misalnya, “Presiden Gila” akan menyatukan duta besar-duta besar yang saat ini banyak bertebaran di seantero dnia, tanpa jelas keuntungannya bagi negara.
Kesatria
Sifat kesatria, menjadi sifat utama yang harus dimiliki “Presiden Gila”. Karena sikap ini membutuhkan keberanian dan kebesaran hati. Jika berbuat tidak sesuai wewenang atau menyalahgunakannya, ia rela memilih mengundurkan diri. Seperti satrianya para pemimpin Jepang yang mau mengundurkan diri karena malu kedapatan berbuat tidak sesuai wewenang atau menyalahgunakan kekuasaan. Termasuk dalam kategori ini, malu untuk memakai fasilitas negara demi urusan pribadi atau pribadi.
Banyak hal bisa dipelajari dari tradisi kesatriaan masyarakat Jepang dan Korea Selatan. Di Jepang, ada tradisi harakiri, yaitu “sadar diri” seseorang untuk menanggung beban rasa malu dirinya atas sebuah kegagalan dengan kerelaan membunuh dirinya sendiri. Di Korea Selatan, tradisi malu sudah sangat lumrah. Beberapa waktu lalu, Menteri Perhubungan negara itu dengan satria mengundurkan diri karena terjadi tabrakan kereta api yang merupakan tanggungjawabnya untuk dicegah.
Adakah pemimpin “gila” semacam ini di negara kita? Jangankan untuk mengundurkan diri, mengakui dirinya keliru mengeluarkan kebijakan saja nyaris tak pernah ada yang mau. Yang ada bukan malu atas kesalahan, tapi justru malu mengakui dirinya bersalah. Karenanya, harus ada “Presiden Gila” yang kelak akan melahirkan para pemimpin di bawahnya yang juga “gila” mau mengakui kesalahan.
Aji Mumpung
Indonesia sungguh butuh “Presiden Gila”. Yaitu pemimpin yang sungguh-sungguh memiliki moral, dan berani berkorban mengabdi kepada rakyat. Ia juga harus memiliki sikap “aji mumpung”.
Tapi, bukan “aji mumpung” berkuasa, lantas seenaknya menggunakan fasilitas negara atau wewenang kekuasaan untuk kenikmatan, kenyamanan atau memperkaya diri. “Presiden Gila” harus menjadi “aji mumpung” berbuat banyak untuk mensejahterakan rakyat.
Mumpung menjadi presiden, berantas korupsi yang banyak. Mumpung berkuasa, mengertilah keadaan rakyatnya semaksimum mungkin. Karena, untuk menduduki kursi presiden bukan hal mudah. Dan seorang presiden adalah bibit anak bangsa terbaik hasil seleski dari sekian juta orang. Itu pun hanya satu yang terpilih dalam periode tertentu.
“Presiden Gila” harus sederhana dan sungguh-sungguh. Protokoler memang dibutuhkan untuk menjaga keselamatan diri presiden, tapi jangan berlebihan. Kalau kunjungan ke luar negeri, bawalah rombongan secukupnya untuk menghemat biaya.
“Presiden Gila” tidak hanya mengunjungi petani saat panen raya tiba. Saat pacekliklah, justru presiden harus mendatangi rakyat yang tengah kesusahan itu. Lalu mengoreksi mengapa terjadi paceklik, apakah pupuknya yang kurang baik, atau aliran irigasinya rusak. Karena sungguh aneh, negara yang seharusnya punya pupuk melimpah, tapi petani masih saja susah.
Menjadi pemimpin dengan kriteria “Presiden Gila” di atas, rasanya tidak butuh kepada sosok pemimpin yang pintar. Tengoklah Nabi Muhammad SAW yang buta huruf tapi mampu memimpin umatnya hingga mendunia. Beliau sukses memimpin, karena kebaikan, moral dan kejujuran. Dengan bekal itu beliau mampu memimpin secara bertanggungjawab, disiplin, bersikap satria.
Sosok “Presiden Gila” seperti di atas, rasanya tidak membutuhkan figur orang pintar. Andai diklasifikasi, prosentase kepribadian yang harus dimiliki seorang “Presiden Gila”, idealnya memiliki akhlak yang bagus dengan komposisi 60 persen, lalu kesederhanaan penampilannya 15 persen, dan ilmu atau kepintaran cukuplah 25 persen. Seperti Presiden Cina Mo Je Tung yang sukses di masa lalu menyatukan rakyat Cina, padahal ia berpendidikan rendah.
Sebab, ketinggian ilmu tak menjamin kemampuan seorang pemimpin menjadi “Presiden Gila”. Tengoklah Lemhanas yang dibentuk untuk menggodok pemimpin-pemimpin nasional dengan anggaran sedemikan besar, tapi tetap saja gagal menghasilkan pemimpin berkualitas. Itu karena mereka terlalu pintar namun miskin moralnya.
Untuk menuju perubahan Indonesia yang cepat dan ideal, butuh pemimpin yang mampu menjalankan amanah secara “gila”, dengan senjata mematikannya: Turba (turun ke bawah), Sidak (inspeksi mendadak), dan Pecat.
“Presiden Gila” tak akan ragu menggunakan tiga senjata tersebut. Dengan Turba, segala masalah inti dan nyata yang masyarakat alami, dapat segera diketahui. Dengan Sidak, berbagai kekurangan dan kekeliruan kebijakan dapat segera dievaluasi. Dengan Pecat, perbaikan kinerja SDM (sumber daya manusia) pemerintahan akan terjamin kapabilitas dan kualitasnya.
*****
BAGIAN KELIMA
Menanti Pemimpin Bermoral
Pascareformasi, Indonesia nyaris terasa berbeda dalam banyak hal, dari kehidupan politik hingga sosial kemasyarakat. Tapi sayangnya, masalah juga kian bertumpuk mengganjal. Negara yang dulu dikenal manis senyum, kini terbuka sudah “kedok” keliaran dan kebobrokannya. Kejahatan, ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan terasa di mana-mana.
Semula, saat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin bangsa dari hasil pemilihan langsung dan demokratis, masyarakat berharap sosok segar ini bisa menciptakan perubahan bangsa. Tapi sayang, begitu naik, yang terjadi justru mengecewakan rakyat. Puncaknya ketika SBY melangsungkan pesta perkawinan anaknya di Istana Bogor, dengan dana yang dilansir media sekitar 5 miliar rupiah. Sungguh, itu sangat menyakitkan hati rakyat. Terlebih saat itu rakyat tengah banyak mengalami kesusahan.
Di mata rakyat, nilai SBY yang dipilih rakyat itu hancur. Ia telah menjadi contoh buruk bagi bangsa ini, karena menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Padahal, ia seorang muslim, yang seharusnya berkaca dari teladan pemimpin muslim masa lalu yang telah mencontohkan kearifan berkuasa. Umar ibn Abdul Aziz, salah seorang Khalifah bijak Bani Umayyah, adalah tokoh panutan itu.
Alkisah, suatu malam, Umar ibn Abdul Aziz tengah lembur bekerja. Tiba-tiba ia didatangi anaknya yang ingin membicarakan sesuatu. Umar bertanya, “Apa yang ingin kamu bicarakan? Masalah negara (pemerintah) atau masalah pribadi (keluarga)?” Sang anak menjawab, “Masalah keluarga, Ayah.” Seketika itu pula lampu dipadamkan Umar, lantas ia ambil dan nyalakan sebuah lampu tempel.
Sang anak bertanya, “Kenapa lampunya diganti, Ayah? Bukankah lampu tadi cukup terang?” Sambil tersenyum Umar menjawab, “Anakku, jika yang dibicarakan masalah keluarga, lampu inilah yang kita punya. Karena lampu tadi milik negara, dan minyaknya dibiayai negara yang juga uang rakyat. Kalau Ayah menggunakan lampu milik negara, berarti ayah sudah menzhalimi rakyat. Ayah takut dan malu kepada Allah. Karena Allah pasti tahu perbuatan kita.”
Tengoklah, betapa arif dan bijaksana Umar ibn Abdul Aziz yang tidak rela menggunakan fasilitas kecil milik negara. Apalagi fasilitas besarnya.
Ketika SBY sudah menggunakan fasilitas negara yang begitu besar, maka tak heran jika ada anggota DPRD, misalnya, yang “membesarkan” dirinya dengan minta dikawal iring-iringan ketika melintas di jalan raya. Sungguh tambah menyakitkan rakyat yang sudah lelah antri terkena macet di jalan, malah dihambat oleh iring-iringan mobil pejabat dan pengawalnya.
****
Rakyat Indonesia sebenarnya adalah bangsa besar yang mampu membuat hal-hal yang besar pula. Saat Soekarno memimpin, ia bisa berbuat banyak hal besar untuk rakyatnya. Rakyat pun bangga dipimpinnya. Kala itu, rakyat Indonesia bisa berbangga Borobudur mampu masuk dalam jajaran tujuh keajaiban dunia.
Tapi kini, jangankan Borobudur, listrik saja terasa susah untuk dinikmati. Garuda Indonesia, pelayanan penerbangan yang menjadi citra bangsa ini, gagal diurus. Begitu pula Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD), yang bergerak di bidang transportasi khususnya tranportasi darat di ibukota yang tinggal menunggu ajalnya. Hingga tahun 2008, hanya tersisa 52 armada, dan itupun tidak memenuhi persyaratan, dan kerap mengalami kerusakan.
Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) yang pernah berperan aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan agresi Belanda di Jawa, dengan tugas utama menyelenggarakan pengangkutan darat dengan bus, truk, dan angkutan bermotor lainnya, juga tak jelas kegunaannya kini.
Semua kehancuran ini bukan gara-gara swastanisasi. Tapi semuanya berpangkal pada telah rusaknya moral para pemimpin. Sebagian diciptakan oleh Orde Baru dan kroni-kroninya, lalu berkepanjangan hingga kini. Pasacareformasi, situasi negara tambah rusak, akhirnya yang makin sengsara adalah rakyat.
Sungguh ironis, Garuda Indonesia, sayap citra bangsa Indonesia hanya bisa terbang sampai Tokyo, Singapura, dan Australia. Ke Eropa sudah dilarang, apalagi Amerika Serikat. Malu sekali jika dibanding Singapura, negara kecil, atau Malaysia negara serumpun sebesar pulau Sumatera. Sayap penerbangan mereka bisa melayani seluruh dunia. Begitulah lumpuh sayap-sayap negara ini, menjadi cermin lumpuhnya bangsa.
Saat Garuda Indonesia mendapat warning hingga larangan terbang ke Eropa, Indonesia tidak memiliki kekuatan apapun untuk mempengaruhi, apalagi mencegahnya. Gagalnya diplomasi dan lain-lain seperti ini sudah menjadi kebiasaan bangsa kita. Karena biasa mengalami kegagalan yang terus menerus, akhirnya kita terbiasa mencari kambing hitam. Kambing hitam andalan klasiknya adalah karena “350 tahun dijajah Belanda”. Bangsa ini tidak maju dan mentalnya rusak, karena dijajah Belanda. Begitu ungkapan akhirnya.
Padahal, sedari kemerdekaan, kita semua sudah menjadi manusia sempurna. Buktinya, setelah merdeka, banyak tokoh-tokoh berkualitas negeri mampu terlahir. Seperti Bung Karno, Syahrir, Bung Hatta, Natsir, dan lainnya. Berarti, bukan karena Belanda kita gagal, tapi karena memang diri kita sendiri yang kurang mampu memberdayakan diri. Bahkan, andai tidak dijajah Belanda, mungkin kita masih terbelakang. Kita tak punya jalan raya, jembatan atau sekolah-sekolah. Anyer-Panarukan juga mungkin tak pernah ada.
Kambing hitam lainnya yang suka kita ucapkan saat mengalami kesusahan adalah, “Sudah takdirnya.” Sudah salah, takdir pula disalahkan. Ketika Pemilu, kita diminta berdoa agar mencoblos yang benar, atau memilih dengan hati nurani, dan meminta petunjuk Allah SWT supaya memilih yang benar. Tapi selepas Pemilu, hasil yang terpilih buruk, pemimpin yang terpilih juga buruk, kita pun menganggap petunjuk Allah yang buruk. Bangsa ini sungguh pintar mencari kambing hitam.
Modal Dasar
Bangsa sebesar Indonesia, sebenarnya sudah memiliki dasar (basis) persatuan yang relatif kuat. Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908), lalu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan adanya konsep Bhineka Tunggal Ika maupun Pancasila, serta Proklamasi Kemerdekaan 1945, menjadi bukti kemampuan bangsa ini bersatu padu. Itulah salah satu modal dasar bangsa ini untuk maju. Tetapi akibat buruknya perilaku pemerintah, akhirnya banyak separatisme muncul.
Orde Baru sesungguhnya sudah banyak memberi pijakan dasar kemajuan bangsa ini menghadapi persaingan global. Program Transmgirasi, Keluarga Berencana (KB), SD Inpres, Puskesmas, Posyandu, dan banyak kegiatan menyejahterakan rakyat lainnya telah dilakukan. Sayang upaya ini tergerus zaman tuntutan perubahan.
Tapi, sejalan perubahan kekuasaan, pijakan itu kian bias. Ide-ide muluk malah sekarang banyak muncul menyertai peralihan kekuasaan, baik dalam Pilkada, Pemilu maupun Pilpres. Ide-ide tidak karuan, seperti ekonomi kerakyatan, pendidikan gratis, dan bualan-bualan manis menyejahterakan murah diumbar. Tak jelas keberlanjutan dan arahnya.
Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang kreatif. Krisis moneter 1997 dan ekonomi global 2009 menjadi bukti bagaimana rakyat bisa mencari kerja sendiri, bertahan menghadapi gejolak kehidupannya. Untuk bertahan hidup, mereka tidak perlu disuruh-suruh pemerintah. Mereka mampu menciptakan pekerjaan sendiri.
Begitu ada aturan three in one, sebagai contoh, orang-orang miskin sangat kreatif menjadi jokinya. Mereka mencari pekerjaan langsung. Hingga urusan pekerjaan negatif pun mampu mereka lakukan. Pemerintah hanya perlu menyediakan fasilitas umum penunjang kemandirian rakyat dan pembangunan fisiknya. Dengan fasilitas ini, rakyat akan lebih kreatif membangun pekerjaaan sendiri.
Yang perlu diawasi dalam urusan pekerjaaanya justru pegawai negeri sipil (PNS), yang berdasarkan data Kementerian Aparatur Negara, pada tahun 2008 telah mencapai 3,8 juta orang. Untuk mempekerjakan mereka, berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2009, negara harus yang mengocek kas sebesar Rp 143,8 triliun. Jelas, mereka inilah yang merupakan pilar kinerja pemerintah. Sebab, ketika para PNS tidak mampu bekerja maksimal dan baik, maka pengadaan fasilitas untuk kemandirian rakyat dan pembangunan fisik pun akan terkendalai. Dana triliunan rupiah juga akan mubazir.
Karenanya, sungguh kita membutuhkan “Presiden Gila”.
*****
PENUTUP
Di era globalisasi saat ini, rasanya perjuangan dunia sudah berubah. Bukan lagi perjuangan fisik beradu kekuatan, tapi perjuangan menuju kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Agar dapat bertahan dan mampu bersaing dalam kompetisi yang sangat ketat di era ini, Indonesia harus berdikari dan tidak lantas menutup diri. Tapi harus tetap mengimbanginya dengan moral yang tinggi. Sebab jika tidak, bangsa Indonesia akan jatuh ke dalam jurang dampak globalisasi yang menyeret bangsa ini kepada pola hidup materialistik yang menyesatkan.
Pengalaman sejarah yang telah bangsa Indonesia toreh dalam kejayaan dulu, jangan membuaikan dan hanya menjadi euforia masa lalu. Sebab kini, Indonesia harus lekas bangkit mengejar ketertinggalan, kemajuan dan persaingan di dunia dengan visi ke depan.
Salah satu kiatnya, adalah dengan membeli teknologi, bukan menguasakannya kepada pihak asing. Mengundang unsur asing ke negeri ini, bukan untuk mengalihkan kepengurusan aset negara yang kemudian seperti menjualnya kepada mereka. Tapi, kita harus membeli jasa dan tenaga mereka, untuk dimanfaatkan sepenuhnya demi kemakmuran rakyat dan negara.
Dari pemilihan presiden (Pilpres) mendatang, rakyat akar rumput (grassroot) sangat mengharap terjadinya perbaikan yang segera. Itu bisa dilaksanakan jika presiden yang kelak terpilih memiliki “jiwa” yang tulus ingin memajukan negara ini, bukan hanya mengeruk kenyamanan saja.
Demokrasi yang kini telah terbuka, harus menjadi demokrasi yang dewasa. Bukan demokrasi yang penuh anarkisme dan kekerasan. Karenanya, harus ada ketegasan hukum. Para pelaku demonstasi anarkis harus dihukum. Provokatornya juga harus dilacak dan ditindak tegas.
Sudah saatnya bangsa Indonesia mendapatkan pemimpin yang benar-benar amanah dan berbakti sepenuhnya memajukan bangsa ini. Pelajar masa lalu bisa memicu kemajuan masa mendatang. Semoga!
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar