Jumat, 08 Juni 2012

Governance Ethics



MAKALAH
GOVERNANCE ETHICS
OLEH :
ANWAR SADAT
20111040020

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan masalah besar yang dihadapi oleh sebagian besar negara di dunia. Kasus korupsi melanda berbagai negara bagai endemik yang sulit diberantas bahkan dalam pola reaksi kedua yaitu pembenaran, Klitgaard mengatakan bahwa kebanyakan ilmuwan sosial mengatakan bahwa kita tidak boleh berbicara terlampau banyak tentang korupsi atau, apabila kita mendiskusikannya, tidak boleh mengutuknya. Dalih untuk tidak menangani korupsi menganggap bahwa suatu suap, suatu ongkos untuk pelayanan, suatu pemberian secara analitis dikatakan sama saja (Mauss, 1967).
Korupsi, misalnya yang berbentuk penyalahgunaan uang negara , yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan tertentu dengan berbagai macam dalih misalnya studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya akan mengganggu proses pembangunan akibat kesalahan alokasi anggaran dan defisit anggaran akibat korupsi. Bahrin mencoba menganalisis hubungan antara kualitas pribadi dengan akibat dari korupsi dalam sebuah pohon analisis sebagai berikut (Bahrin, 2004):
Skema pemetaan masalah oleh Bahrin tersebut di atas menggambrakn betapa korupsi memiliki implikasi yang luas. Selo Soemardjan dalam pengantar buku Robert Klitgaard menyebutkan bahwa korupsi menyebabkan high cost economy yang menaikkan harga produk dan menurunkan daya saing bisnis umum kita (Klitgaard, 2005, hal xiii)

Berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukanlagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatukebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara,Indonesia selalu menempati posisi paling rendah.Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasankorupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi diIndonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesiadalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini jugaditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum olehPresiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia. Sehubungan dengan urgensi masalah korupsi yang akan memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat maka dibutuhkan langkah antisipasi dan penanganan. Indonesia memiliki berbagai macam strategi dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi mengingat korupsi sebagai masalah yang memiliki akar permasalahan  sama maka pasti menginginkan perbaikan dalam stetegi dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu dibutuhkan sebuah analisis strategi terbaik dalam memberantas dan menangani masalah korupsi di Indonesia sehingga dapat ditemukan kunci ampuh untuk memberantas korupsi.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan masalah “Bagaimana strategi pemberantasan korupsi di Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui strategi pemberantasan korupsi di Indonesia.

BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A.    Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
a.       Gambaran Umum Indonesia
Indonesia merupakan negara kesatuan (republik). Pemerintah Indonesia menganut sistem presidensial, dimana pemerintah Indonesia dikepalai oleh seorang presiden yang dibantu beberapa menteri yang tergabung dalam suatu kabinet. Ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensial:
1.      Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
2.      Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
3.      Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
4.      Eksekutif dipilih melalui pemilu.
Sebelum tahun 2004, sesuai dengan UUD 1945, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, pemerintah Indonesia merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Kewenangan lainnya diserahkan kepada pemerintah daerah.
b.       Keadaan Korupsi di Indonesia
Masalah korupsi yang melanda Indonesia menjadi masalah besar yang dihadapi Indonesia. Masalah korupsi di Indonesia tidak pernah berhenti, selalu saja muncul masalah korupsi silih berganti yang menunjukkan berkembangnya korupsi di Indonesia. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Masyarakat sudah tidak aneh lagi ketika mendengar banyaknya praktek korupsi di Indonesia, mulai dari praktek korupsi yang terjadi dalam tatanan pemerintahan (sektor publik) maupun prakter korupsi yang terjadi di dalam sektor swasta.
Maraknya praktek korupsi di Indonesia tidak sedikit merugikan Indonesia. Korupsi menelan uang rakyat hingga triliunan rupiah. Bisa dibayangkan betapa kejamnya para koruptor yang melakukan tindak korupsi yang menghabiskan uang negara, dimana seharusnya uang tersebut bisa diperuntukkan untuk subsidi pendidikan dan kesehatan masyarakat Indonesia. Menurut Worldwide Persepsi Korupsi peringkat negara yang diterbitkan oleh Transparency International, pemberantasan korupsi di Indonesia pada tahun 2009 kemarin menduduki peringkat 111, dengan angka sebesar 2,8. Posisi Indonesia dalam urutan negara terkorup di dunia pada tahun 2000 misalnya, adalah juara kedua di Asia.
Korupsi  di Indonesia sudah muncul sejak era orde lama, yang ditandai dengan korupsi yang dilakukan oleh Ruslan Abdulgani pada tahun 1951-1956. Pada era orde baru yaitu pada masa pemerintahan Soeharto, praktek korupsi berkembang sangat pesat karena tidak ada satupun pihak yang berani untuk menghentikan praktek korupsi tersebut. Begitu kuatnya kekuasaan yang dimiliki oleh Soeharto menyebabkan praktek korupsi yang dijalankan oleh keluarga besarnya yang merugikan uang negara menjadi luput dari perhatian masyarakat. Begitu banyak alasan-alasan yang mereka lontarkan untuk menutupi praktek korupsi yang mereka jalankan. Tetapi sejak Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 lalu, alasan-alasan ala orde baru itu sudah tidak ada lagi gunanya. Fakta-fakta muncul memperkuat dugaan praktek korupsi yang dilakukan pada era orde baru tersebut.
Di era reformasi, praktik korupsi mengalami proses transformasi seiring dengan pergeseran kekuasaan. Jika pada masa Orde Baru korupsi harus melalui “istana”, era reformasi korupsi dilakukan banyak pelaku sehingga yang terjadi menyerupai democratic corruption. Munculnya pusat kekuasaan baru di luar istana, misalnya parlemen dan partai politik, memperluas praktik korupsi itu. Situasi seperti ini meruntuhkan argumentasi bahwa korupsi berkembang subur di bawah pemerintahan yang otoriter. Karena, yang terjadi pada Indonesia pasca-Orde Baru justru sebaliknya. Liberalisasi politik ternyata juga mendorong liberalisasi korupsi.
Pada era reformasi, kasus korupsi berkembang di Indonesia. Kasus korupsi terakhir yang masih sangat hangat diperbincangkan adalah korupsi yang menyeret nama Gayus. Gayus Halomoan P Tambunan merupakan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan golongan III A yang disebut mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji terlibat dalam kasus pajak sebesar Rp 25 miliar. Besarnya angka nominal uang yang dikorupsi oleh Gayus belum pasti, bahkan ada pihak yang menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh gayus menyentuh angka 28 miliar.
Korupsi di Indonesia juga menjadi masalah bangsa ini. Indonesia masih berada di kisaran negara-negara korup dengan indeks persepsi korupsi 2,8, Salah satu kasus korupsi yang masih hangat dibicarakan adalah munculnya kasus Gayus, yaitu seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki uang bermilyar rupiah di rekeningnya padahal logikanya, pegawai negeri sipil setingkat dia hanya bergaji maksimal 12 juta setiap tahun. Berdasarkan berbagai investigasi hingga 11/04/2010, Gayus diyakini telah menyuap beberapa pegawai kejaksaan dalam menyelesaikan kasusnya ini. Model ini sering disebut sebagai Gayuisme, yang dinggap sebagian besar orang bukan hal yang aneh lagi karena memang Gayuisme ini sudah ada di berbagai sektor publik hanya saja tidak ada atau belum ada tindakan serius untuk memberantasnya.
Kasus ini mengemuka setelah Bareskrim Mabes Polri menemukan aliran dana mencurigakan yang masuk ke rekening Gayus di Bank Central Asia Bintaro, Kota Tangerang Selatan, sebesar Rp 170 juta pada 21 September 2007 dan Rp 200 juta pada 15 Agustus 2008. Total uang yang diterima pegawai pajak ini dari PT Megah Citra Jaya Garmindo untuk mengurus pajak perusahaan tersebut sebesar Rp 370 juta. Namun, setelah uang tersebut diterima oleh Gayus, terdakwa tidak mengurus apa pun meskipun perusahaan tersebut berkali-kali menghubungi terdakwa dan menanyakan pengurusan pajak dan uang yang ditransfer.
Sejak penyelidikan kejaksaan dan perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak pernah ditahan. Hal ini menimbulkan kecurigaan, dimana Gayus dilindungi oleh pihak-pihak yang menikmati korupsi yang dilakukan oleh Gayus ini. Mereka yang diduga menjadi "aktor" makelar kasus (markus) dalam kasus Gayus ini mulai dikenai tindakan.  Pihak-pihak tersebut adalah kepolisian, Ditjen Pajak, maupun kejaksaan. Di kepolisian, pihak yang diduga sebagai aktor markus dalam kasus Gayus ini adalah Brigjen Pol Edmond Ilyas yang sudah resmi dinonaktifkan. Selain itu, Mabes Polri juga menonaktifkan sekaligus menahan perwira menengah di Direktorat II Ekonomi Khusus (Dir II Eksus) Bareskrim Polri, Kompol Arafat dan AKP Sumartini yang diduga terlibat. Sedangkan di Ditjen Pajak, sepuluh atasan Gayus dibebastugaskan. Atasan Gayus tersebut menjalani pemeriksaan. Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, Bapak Suyono, telah dimutasi. Hal ini dikarenakan Suyono diduga terkait dengan vonis bebas atas terdakwa Gayus Tambunan. 
Banyaknya pihak yang melindungi Gayus ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya penegakan korupsi di Indonesia. Masih lemahnya hukum di Indonesia juga menjadi penyebab masalah korupsi di Indonesia belum berakhir masih terus bermunculan silih berganti. Perkembangan korupsi tersebut juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Namun, Indonesia sudah mencoba untuk menanggulangi masalah korupsi ini dengan membentuk beberapa institusi dalam pemberantasan korupsi.  Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
Ø  Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
Ø  Kepolisian
Ø  Kejaksaan
Ø  BPKP
Ø  Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW).

B.      Strategi Pemberantasan Korupsi
a.      Institusi
Reformasi diawali dengan semangat tinggi untuk memberantas korupsi. Semangat ini dapat dirujuk dengan Ketetapan MPR Nomor XI/1998 sehingga diharapkan segera memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan semangat ini pula dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan kemudian terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, semangat dalam pemberantasan korupsi ini selalu menghadapi rintangan, baik dari luar maupun dari dalam KPK. Dari dalam KPK yaitu banyak anggota KPK yang tersandung kasus konspirasi korupsi, sedangkan ancaman dari luar datang dari pemerintah, polisi, maupun kejaksaan. Kemunculan KPK merupakan langkah alternatif pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Pemerintah dan DPR hasil reformasi telah menunjukkan komitmen untuk membentuk KPK berdasarkan mandat UU No 30/2002.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
§ Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
§ Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
§ Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
§ Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
§ Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
KPK dibentuk pada masa pemerintahan Megawati, tetapi baru berjalan pada masa pemerintahn Susilo bambang Yudhoyono. Namun, dalam perjalanan periode kedua lima tahunan, pimpinan KPK mulai tersandung dugaan tindak pidana. Untuk itu diperlukan pemulihan terhadap kinerja KPK yaitu dengan cara membentuk Tim Lima orang yang memiliki integritas moral dan kredibel yang diharapkan dapat memastikan tiga orang terbaik yang terseleksi sehingga mengatasi kekuranglengkapan pimpinan KPK. Selain itu KPK harus melakukan konsolidasi untuk menggerakkan kembali pemberantasan korupsi. Konsolidasi yang terarah sesuai wewenang, fungsi, dan tugasnya dapat memulihkan kepercayaan publik atas manfaat keberadaan KPK. Selanjutnya, struktur kekuasaan, kewenangan, dan fungsi KPK harus dikuatkan dengan dukungan pemerintah. Meski dibutuhkan dukungan politik, pemerintah harus tetap menghormati kewenangan dan fungsi KPK tanpa mencampurinya dalam menyeret mereka yang diduga melakukan korupsi. Untuk memulihkan keberadaan KPK dalam memberantas korupsi, dibutuhkan mandat yang kokoh berdasar undang-undang. RUU Tindak Pidana Korupsi harus didukung untuk memperkuat KPK. Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, kiranya sulit mewujudkan cita-cita pemerintahan yang baik sebagai masa depan politik hukum yang lebih baik.
b.     Hukum
Beberapa UU yang dikeluarkan pemerintah sudah mengatur secara jelas mengenai tindak pidana korupsi. Undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1.    Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2.    Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3.    Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4.    Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
c.     Langkah-langkah Strategi
Pemerintah sudah mengambil tindakan dalam upayanya untuk memberantas korupsi. Untuk memberikan bukti bahwa upaya dan keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi tidak sekadar janji, tetapi sudah dapat langsung dilaksanakan yaitu menyelenggarakan Roundtable Discussion Naskah Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 2010–2025 dan Rencana Aksi (Stranas PK) yang akan menghasilkan Stranas PK (strategi nasional dan rencana aksi pemberantasan korupsi 2010-2025) yang kemudian bisa diterapkan untuk seluruh instansi.
Stranas PK 2010-2025 merupakan kelanjutan dari pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sebelumnya yang belum terselesaikan, sekaligus penyesuaian dengan Konvensi Anti Korupsi 2003 PBB yang telah diratifikasi Indonesia. Visi Stranas PK 2010-2025 adalah terbangunnya tata pemerintahan yang bebas dari praktik-praktik korupsi dengan daya dukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta sistem integritas yang terkonsolidasi secara nasional. Visi itu kemudian dituangkan ke dalam sejumlah misi antara lain membangun dan memantapkan sistem, prosedur, mekanisme, dan kapasitas pencegahan korupsi yang terpadu di tingkat pusat dan daerah. Visi dan misi itu dijabarkan ke dalam beberapa fokus strategi. Fokus Stratnas PK 2010-2025  :
1.      Strategi 1 : Melaksanakan upaya-upaya pencegahan
2.      Strategi 2 : Melaksanakan langkah-langkah strategis bidang penindakan
3.      Strategi 3:Melaksanakan harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi
4.      Startegi 4 : Melaksanakan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi
5.      Strategi5:Meningkatkan kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi
6.      Strategi 6 : Meningkatkan koordinasi dalam rangka pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.
Stranas diperlukan karena dalam upaya pemberantasan korupsi ini pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, harus ada keterlibatan lembaga/instansi lain baik itu di yudikatif atau di legislatif. Stranas PK ini akan menjadi bagian dari upaya memperkuat peningkatan kesejahteraan rakyat. Artinya, pemberantasan korupsi harus menjadi langkah mainstream dalam seluruh pelaksanaan pembangunan.
Pemberantasan korupsi di Indonesia ternyata bersifat lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif, namun sayangnya political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilakukan. Upaya pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat.
Strategi pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum. Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi.
Selain itu, strategi pemberantasan korupsi yang “diagung-agungkan” adalah reformasi birokrasi, yaitu membenahi dari dalam individu itu sendiri. Banyak pihak yang meyakini dengan adanya reformasi birokrasi, maka birokrasi di Indonesia lambat laun akan sembuh dari penyakit “korupsinya”. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas wacana seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi birokrasi harus menjadi pengungkit (leverage) dalam strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN.
C.    Peran partisipasi masyarakat, partai politik, dan media massa dalam memberantas korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 41 menyebutkan, masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk memiliki hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, serta memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Masyarakat juga punya hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Di samping itu, punya hak pula untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.
Selain itu masyarakat juga berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, ketika diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli. Masyarakat juga mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Seluruh hak dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. Pasal 42 menyebutkan, pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Ketentuan pemberian penghargaan itu diatur dengan peraturan pemerintah.
Partisipasi publik dalam mengontrol terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang menyimpang, bukan harus diletakkan pada konteks kewajiban publik, tetapi harus dilihat pada konteks tanggung jawab sosial publik. Dimana dalam konteks tanggung jawab sosial melalui adanya kesadaran kritis yang dibentuk atas pemahaman, pengenalan dan pendalaman terhadap sebuah realitas sosial. Kaitannya dalam upaya pemberantasan korupsi, maka partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi tersebut tentu menjadi relevan untuk beberapa hal. Pertama, secara filosofis, masyarakat sebagai sebuah komunitas yang memiliki tata nilai, setiap komunitas berhak untuk memperjuangkan hak-hak yang mereka miliki. Kedua, pada perspektif sosiologis, peran serta masyarakat menjadi sebuah prasyarat dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya (social control) dalam tata hidup bermasyarakat. Menjadikan kontrol sosial sebagai sebuah tata nilai yang terlembagakan setidaknya menjadi instrumen dalam meminimalisir lahirnya praktek a moralitas dalam masyarakat.
Selain peran masyarakat dalam memberantas korupsi, media massa juga memiliki peranannya tersendiri dalam membantu pemberantasan korupsi. Peran media tidak hanya memberikan informasi mengenai penindakan terhadap pelaku korupsi, tetapi juga pencegahan korupsi. Peran penting media massa di bidang pencegahan korupsi, antara lain, diwujudkan dalam bentuk memberi informasi kepada masyarakat tentang makna korupsi. Tujuannya, agar masyarakat mengetahui perbuatan yang termasuk korupsi dan tidak termasuk korupsi.  Melalui keterbukaan informasi ini menyebabkan masyarakat mengetahui apakah mandat rakyat sudah dilaksanakan dengan baik atau belum. Kekuasaan yang demikian besar harus dikontrol melalui media massa.
Selain peran masyarakat dan media massa, peran parpol juga besar dalam pemberantasan korupsi. Yaitu bagaimana parpol tersebut menyiapkan kader yang memiliki moral yang baik, dimana moral yang baik tersebut dapat membentengi mereka dari perbuatan tindak korupsi. Pendidikan politik juga menjadi sangat penting dimana melalui pendidikan politik, para birokrat menjadi lebih mengetahui tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Selain itu, makin banyaknya partai politik maka cenderung praktek korupsi semakin marak karena banyaknya partai membutuhkan sumber keuangan yang besar. Hal tersebut terlihat pada saat pemilu, dimana partai menyiapkan kampanye mereka dan hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya memancing terjadinya praktek korupsi yang dilakukan oleh parpol untuk membiayai partai mereka.
D.    Analisis SWOT
Maraknya praktek korupsi di Indonesia membawa pada upaya Indonesia memberantas korupsi. Pemerintah menyuarakan pemberantasan korupsi kepada semua pihak, dan diharapkan semua pihak membantu dalam pemberantasan korupsi mulai dari pemerintah, kepolisian, kejaksaan, sampai pada masayarakat. Untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana KPK memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus tindak korupsi. KPK telah menunjukkan kinerja yang optimum dalam pemberantasan kasus korupsi terlihat dengan banyaknya kasus korupsi yang “dikuak” oleh KPK, salah satunya kasus Artalitha yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. KPK harus tetap berdiri tegak untuk melawan korupsi di Indonesia. Walaupun timbul fitnah-fitnah yang menyudutkan KPK, KPK harus tetap maju untuk memberantas korupsi. Namun, masih terdapat keburukan dalam pemberantasan korupsi yaitu sudah terlalu banyak masalah korupsi jadi pemberantasannya memerlukan waktu yang lama. Masyarakat yang sudah lebih peka terhadap kasus korupsi di Indonesia membuat masyarakat sudah tidak dapat “dibohongi” oleh penguasa. Masyarakat sudah bisa menilai kinerja birokrasi di Indonesia. Ancaman yang muncul adalah bahwa korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar di Indonesia, dimana  pemberantasannya harus dilakukan dari akar-akarnya
Intinya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dibutuhkan hukum yang kuat. Karena jika hukum lemah, maka praktek korupsi akan terus menerus terjadi. Penguatan hukum ini bukan hal yang mudah, banyak sekali yang harus dibenahi termasuk di dalamnya peraturan-peraturan yang dibuat hendaklah tidak menjadi “bumerang” dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Terlebih lagi seluruh tatanan kepolisian maupun kejaksaan tidak luput dari perhatian, yaitu bagaimana menciptakan kepolisian dan kejaksaan yang bersih sehingga proses pemberantasan korupsi dapat terus dijalankan sehingga keadilan dapat ditegakkan.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
            Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan misal tarif dan kredit, sistem irigasi dan kebijakan perumahan, penagakan hukum atau prosedur sederhana. Korupsi di Indonesia adalah korupsi yang paling parah. Strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia dilakukan melalui pembentukan strategi nasioanl untuk memberantas korupsi. Selain itu, Indonesia membentuk negara ekstra body, yaitu KPK. Indonesia pun telah memiliki UU TIPIKOR, akan tetapi strategi pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung kurang efektif jika dibandingkan dengan negara Perancis dan Jerman. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kporupsi sudah dianggap sebagai sebuah upaya yang wajar di Indonesia. Tidak adanya panutan yang dapat memberikan keteladanan dalam pemberantasan korupsi secara nasional. Indonesia masih menunggu tampilnya orang kuat atau “ benevolent strongman ”, panutan yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam pemberantasan korupsi secara nasional.

B.     Saran
Tidak adanya strategi nasional yang dapat menjadi faktor pemersatu kekuatan-kekuatan masyarakat untuk memberantas korupsi. hal yang masih dapat diharapkan terjadi di indonesia adalah terbentuknya koalisi bersama yang secara nyata dapat mempersatukan kekuatan unsur-unsur pemerintah, dunia usaha, asosiasi, NGO dan professional yang bergerak secara sinergis, kompak   terarah dan berkesinambungan dalam bidang-bidang tertentu. ini yang akan dikenal sebagai konsep “Island Of Integrity”.
Seluruh unsur itu ada di mastel kita berbicara tentang peran strategis mastel dan bukan tentang kelompok pro-status quo!… anda punya semangat kebersamaan?, kepedulian?, tertantang untuk berperan? atau … anda memang termasuk … pemuja status quo ? atau …mudah-mudahan anda cuma sekedar bingung saja ! … ayo bergabung … cegah korupsi… dengan ICT !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YouTube

Translate

Lencana Facebook

Fans Page Facebook

Video


Download video clip Cakra Khan Harus Terpisah