MAKALAH
GOVERNANCE ETHICS
OLEH :
ANWAR SADAT
20111040020
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan masalah besar yang dihadapi oleh sebagian besar
negara di dunia. Kasus korupsi melanda berbagai negara bagai endemik yang sulit
diberantas bahkan dalam pola reaksi kedua yaitu pembenaran, Klitgaard mengatakan
bahwa kebanyakan ilmuwan sosial mengatakan bahwa kita tidak boleh berbicara
terlampau banyak tentang korupsi atau, apabila kita mendiskusikannya, tidak
boleh mengutuknya. Dalih untuk tidak menangani korupsi menganggap bahwa suatu
suap, suatu ongkos untuk pelayanan, suatu pemberian secara analitis dikatakan
sama saja (Mauss, 1967).
Korupsi, misalnya yang berbentuk penyalahgunaan uang negara , yang
dilakukan secara kolektif oleh kalangan tertentu dengan berbagai macam dalih
misalnya studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya akan mengganggu
proses pembangunan akibat kesalahan alokasi anggaran dan defisit anggaran
akibat korupsi. Bahrin mencoba
menganalisis hubungan antara kualitas pribadi dengan akibat dari korupsi dalam
sebuah pohon analisis sebagai berikut (Bahrin,
2004):
Skema pemetaan
masalah oleh Bahrin tersebut di atas menggambrakn betapa korupsi memiliki
implikasi yang luas. Selo Soemardjan dalam pengantar buku Robert Klitgaard
menyebutkan bahwa korupsi menyebabkan high
cost economy yang menaikkan harga produk dan menurunkan daya saing bisnis
umum kita (Klitgaard, 2005, hal xiii)
Berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang
korupsi bukanlagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar
suatukebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara,Indonesia
selalu menempati posisi paling rendah.Perkembangan korupsi di Indonesia juga
mendorong pemberantasankorupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan
korupsi diIndonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesiadalam
perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini jugaditunjukkan
dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan
Mafia Hukum olehPresiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuan
keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana
selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia. Sehubungan dengan urgensi masalah korupsi
yang akan memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat maka
dibutuhkan langkah antisipasi dan penanganan. Indonesia memiliki berbagai macam strategi dalam pemberantasan
korupsi. Akan tetapi mengingat korupsi sebagai masalah yang memiliki akar
permasalahan sama maka pasti
menginginkan perbaikan dalam stetegi dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu
dibutuhkan sebuah analisis strategi terbaik dalam memberantas dan menangani
masalah korupsi di Indonesia sehingga dapat ditemukan kunci ampuh untuk memberantas korupsi.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan
masalah “Bagaimana strategi pemberantasan korupsi di Indonesia”?
C.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui strategi
pemberantasan korupsi di Indonesia.
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A.
Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
a.
Gambaran Umum
Indonesia
Indonesia merupakan
negara kesatuan (republik). Pemerintah Indonesia menganut sistem
presidensial, dimana pemerintah
Indonesia dikepalai oleh seorang presiden yang
dibantu beberapa menteri yang tergabung dalam suatu kabinet. Ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensial:
1.
Pemerintahan
Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
2.
Eksekutif
tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
3.
Kabinet
bertanggung jawab kepada presiden.
4.
Eksekutif dipilih melalui pemilu.
Sebelum tahun 2004, sesuai dengan
UUD 1945, presiden
dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Pada Pemilu 2004, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Dalam
kaitannya dengan pemerintahan daerah, pemerintah Indonesia
merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Kewenangan lainnya diserahkan kepada pemerintah
daerah.
b.
Keadaan Korupsi
di Indonesia
Masalah
korupsi yang melanda Indonesia menjadi masalah besar yang dihadapi Indonesia. Masalah korupsi di Indonesia tidak pernah
berhenti, selalu saja muncul masalah korupsi silih berganti yang menunjukkan
berkembangnya korupsi di Indonesia. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum,
melainkan sekedar suatu kebiasaan. Masyarakat sudah tidak aneh lagi ketika mendengar
banyaknya praktek korupsi di Indonesia, mulai dari praktek korupsi yang terjadi
dalam tatanan pemerintahan (sektor publik) maupun prakter korupsi yang terjadi
di dalam sektor swasta.
Maraknya
praktek korupsi di Indonesia tidak sedikit merugikan Indonesia. Korupsi menelan
uang rakyat hingga triliunan rupiah. Bisa dibayangkan betapa kejamnya para
koruptor yang melakukan tindak korupsi yang menghabiskan uang negara, dimana
seharusnya uang tersebut bisa diperuntukkan untuk subsidi pendidikan dan kesehatan
masyarakat Indonesia. Menurut
Worldwide Persepsi Korupsi peringkat negara yang diterbitkan oleh Transparency
International, pemberantasan korupsi di Indonesia pada tahun 2009 kemarin
menduduki peringkat 111, dengan angka sebesar 2,8. Posisi Indonesia
dalam urutan negara terkorup di dunia pada tahun 2000 misalnya, adalah juara
kedua di Asia.
Korupsi di Indonesia sudah muncul sejak era orde
lama, yang ditandai dengan korupsi yang dilakukan oleh Ruslan Abdulgani pada tahun 1951-1956. Pada era orde baru yaitu pada masa pemerintahan
Soeharto, praktek korupsi berkembang sangat pesat karena tidak ada satupun
pihak yang berani untuk menghentikan praktek korupsi tersebut. Begitu kuatnya
kekuasaan yang dimiliki oleh Soeharto menyebabkan praktek korupsi yang
dijalankan oleh keluarga besarnya yang merugikan uang negara menjadi luput dari
perhatian masyarakat. Begitu banyak alasan-alasan yang mereka lontarkan untuk
menutupi praktek korupsi yang mereka jalankan. Tetapi sejak Indonesia mengalami
krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 lalu, alasan-alasan ala orde baru
itu sudah tidak ada lagi gunanya. Fakta-fakta muncul memperkuat dugaan praktek
korupsi yang dilakukan pada era orde baru tersebut.
Di era
reformasi, praktik korupsi mengalami proses transformasi seiring dengan
pergeseran kekuasaan. Jika pada masa Orde Baru korupsi harus melalui “istana”,
era reformasi korupsi dilakukan banyak pelaku sehingga yang terjadi menyerupai
democratic corruption. Munculnya pusat kekuasaan baru di luar istana,
misalnya parlemen dan partai politik, memperluas praktik korupsi itu. Situasi
seperti ini meruntuhkan argumentasi bahwa korupsi berkembang subur di bawah
pemerintahan yang otoriter. Karena, yang terjadi pada Indonesia pasca-Orde Baru
justru sebaliknya. Liberalisasi politik ternyata juga mendorong liberalisasi
korupsi.
Pada
era reformasi, kasus korupsi berkembang di Indonesia. Kasus korupsi terakhir
yang masih sangat hangat diperbincangkan adalah korupsi yang menyeret nama
Gayus. Gayus Halomoan P Tambunan
merupakan pegawai Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan golongan III A yang disebut mantan Kepala Badan Reserse Kriminal
Komisaris Jenderal Susno Duadji terlibat dalam kasus pajak sebesar Rp 25
miliar. Besarnya angka nominal uang yang dikorupsi oleh Gayus belum pasti,
bahkan ada pihak yang menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh gayus
menyentuh angka 28 miliar.
Korupsi di Indonesia juga menjadi masalah bangsa ini.
Indonesia masih berada di kisaran negara-negara korup dengan indeks persepsi
korupsi 2,8, Salah satu kasus korupsi yang masih hangat dibicarakan adalah
munculnya kasus Gayus, yaitu seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
memiliki uang bermilyar rupiah di rekeningnya padahal logikanya, pegawai negeri
sipil setingkat dia hanya bergaji maksimal 12 juta setiap tahun. Berdasarkan
berbagai investigasi hingga 11/04/2010, Gayus diyakini telah menyuap beberapa
pegawai kejaksaan dalam menyelesaikan kasusnya ini. Model ini sering disebut
sebagai Gayuisme, yang dinggap sebagian besar orang bukan hal yang aneh lagi
karena memang Gayuisme ini sudah ada di berbagai sektor publik hanya saja tidak
ada atau belum ada tindakan serius untuk memberantasnya.
Kasus
ini mengemuka setelah Bareskrim Mabes
Polri menemukan aliran dana mencurigakan yang masuk ke rekening Gayus di
Bank Central Asia Bintaro, Kota Tangerang Selatan, sebesar Rp 170 juta pada 21
September 2007 dan Rp 200 juta pada 15 Agustus 2008. Total uang yang diterima
pegawai pajak ini dari PT Megah Citra Jaya Garmindo untuk mengurus pajak
perusahaan tersebut sebesar Rp 370 juta. Namun, setelah uang tersebut diterima
oleh Gayus, terdakwa tidak mengurus apa pun meskipun perusahaan tersebut
berkali-kali menghubungi terdakwa dan menanyakan pengurusan pajak dan uang yang
ditransfer.
Sejak
penyelidikan kejaksaan dan perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak pernah ditahan. Hal ini
menimbulkan kecurigaan, dimana Gayus dilindungi oleh pihak-pihak yang menikmati
korupsi yang dilakukan oleh Gayus ini. Mereka yang diduga menjadi
"aktor" makelar kasus (markus) dalam kasus Gayus ini mulai dikenai
tindakan. Pihak-pihak tersebut adalah kepolisian, Ditjen Pajak,
maupun kejaksaan. Di kepolisian, pihak yang diduga sebagai aktor markus dalam
kasus Gayus ini adalah Brigjen Pol Edmond Ilyas yang sudah resmi dinonaktifkan.
Selain itu, Mabes Polri juga menonaktifkan sekaligus menahan perwira menengah
di Direktorat II Ekonomi Khusus (Dir II Eksus) Bareskrim Polri, Kompol Arafat dan
AKP Sumartini yang diduga terlibat. Sedangkan di Ditjen Pajak, sepuluh atasan
Gayus dibebastugaskan. Atasan Gayus tersebut menjalani pemeriksaan. Sementara
itu, Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, Bapak Suyono, telah dimutasi. Hal ini
dikarenakan Suyono diduga terkait dengan vonis bebas atas terdakwa Gayus
Tambunan.
Banyaknya
pihak yang melindungi Gayus ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya penegakan
korupsi di Indonesia. Masih lemahnya hukum di Indonesia juga menjadi penyebab
masalah korupsi di Indonesia belum berakhir masih terus bermunculan silih
berganti. Perkembangan korupsi tersebut juga mendorong pemberantasan
korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan
korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat peringkat
Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Namun,
Indonesia sudah mencoba untuk menanggulangi masalah korupsi ini dengan
membentuk beberapa institusi dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi di Indonesia
saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
Ø
Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
Ø
Kepolisian
Ø
Kejaksaan
Ø
BPKP
Ø
Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW).
B.
Strategi
Pemberantasan Korupsi
a.
Institusi
Reformasi diawali dengan
semangat tinggi untuk memberantas korupsi. Semangat ini dapat dirujuk dengan
Ketetapan MPR Nomor XI/1998 sehingga diharapkan segera memberantas korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Dengan semangat ini pula dibentuk Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara dan kemudian terbentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Namun, semangat dalam pemberantasan korupsi ini selalu
menghadapi rintangan, baik dari luar maupun dari dalam KPK. Dari dalam KPK
yaitu banyak anggota KPK yang tersandung kasus konspirasi korupsi, sedangkan
ancaman dari luar datang dari pemerintah, polisi, maupun kejaksaan. Kemunculan
KPK merupakan langkah alternatif pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Pemerintah dan DPR hasil reformasi telah menunjukkan komitmen untuk
membentuk KPK berdasarkan mandat UU No 30/2002.
Komisi
Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
§ Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
§ Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
§ Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi;
§ Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
§ Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
KPK dibentuk pada masa
pemerintahan Megawati, tetapi baru berjalan pada masa pemerintahn Susilo
bambang Yudhoyono. Namun, dalam perjalanan periode kedua lima tahunan, pimpinan
KPK mulai tersandung dugaan tindak pidana. Untuk itu diperlukan pemulihan
terhadap kinerja KPK yaitu dengan cara membentuk Tim Lima orang yang memiliki
integritas moral dan kredibel yang diharapkan dapat memastikan tiga orang
terbaik yang terseleksi sehingga mengatasi kekuranglengkapan pimpinan KPK. Selain itu KPK harus melakukan konsolidasi
untuk menggerakkan kembali pemberantasan korupsi. Konsolidasi yang terarah
sesuai wewenang, fungsi, dan tugasnya dapat memulihkan kepercayaan publik atas
manfaat keberadaan KPK. Selanjutnya, struktur kekuasaan, kewenangan, dan fungsi
KPK harus dikuatkan dengan dukungan pemerintah. Meski dibutuhkan dukungan
politik, pemerintah harus tetap menghormati kewenangan dan fungsi KPK tanpa
mencampurinya dalam menyeret mereka yang diduga melakukan korupsi. Untuk
memulihkan keberadaan KPK dalam memberantas korupsi, dibutuhkan mandat yang
kokoh berdasar undang-undang. RUU Tindak Pidana Korupsi harus didukung untuk
memperkuat KPK. Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Tanpa
dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, kiranya sulit
mewujudkan cita-cita pemerintahan yang baik sebagai masa depan politik hukum
yang lebih baik.
b.
Hukum
Beberapa UU yang dikeluarkan
pemerintah sudah mengatur secara jelas mengenai tindak pidana korupsi.
Undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami
perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
korupsi, yakni :
1.
Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi,
2.
Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3.
Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi,
4.
Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-undang mengenai
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut diharapkan mampu memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah
dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang
sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
c.
Langkah-langkah
Strategi
Pemerintah sudah mengambil
tindakan dalam upayanya untuk memberantas korupsi. Untuk memberikan bukti bahwa
upaya dan keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi tidak sekadar
janji, tetapi sudah dapat langsung dilaksanakan yaitu menyelenggarakan
Roundtable Discussion Naskah Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 2010–2025
dan Rencana Aksi (Stranas PK) yang akan menghasilkan Stranas PK (strategi
nasional dan rencana aksi pemberantasan korupsi 2010-2025) yang kemudian bisa
diterapkan untuk seluruh instansi.
Stranas PK 2010-2025 merupakan
kelanjutan dari pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi
sebelumnya yang belum terselesaikan, sekaligus penyesuaian dengan Konvensi Anti
Korupsi 2003 PBB yang telah diratifikasi Indonesia. Visi Stranas PK 2010-2025
adalah terbangunnya tata pemerintahan yang bebas dari praktik-praktik korupsi
dengan daya dukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta sistem integritas
yang terkonsolidasi secara nasional. Visi itu kemudian dituangkan ke dalam
sejumlah misi antara lain membangun dan memantapkan sistem, prosedur,
mekanisme, dan kapasitas pencegahan korupsi yang terpadu di tingkat pusat dan
daerah. Visi dan misi itu dijabarkan ke dalam beberapa fokus strategi. Fokus Stratnas PK 2010-2025 :
1.
Strategi 1 : Melaksanakan upaya-upaya pencegahan
2.
Strategi 2 : Melaksanakan langkah-langkah strategis bidang
penindakan
3.
Strategi 3:Melaksanakan harmonisasi
dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi
4.
Startegi 4 : Melaksanakan penyelamatan aset hasil tindak
pidana korupsi
5.
Strategi5:Meningkatkan kerjasama internasional dalam rangka
pemberantasan korupsi
6.
Strategi 6 : Meningkatkan koordinasi dalam rangka pelaporan
pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.
Stranas diperlukan karena
dalam upaya pemberantasan korupsi ini pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,
harus ada keterlibatan lembaga/instansi lain baik itu di yudikatif atau di
legislatif. Stranas PK ini
akan menjadi bagian dari upaya memperkuat peningkatan kesejahteraan rakyat.
Artinya, pemberantasan korupsi harus menjadi langkah mainstream dalam seluruh
pelaksanaan pembangunan.
Pemberantasan korupsi di
Indonesia ternyata bersifat lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten
kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai
pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang
berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik
yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat
legitimasi yang cukup dan efektif, namun sayangnya political will masih
lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi
yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilakukan. Upaya
pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen
perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak
terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan
merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi
merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam
masyarakat.
Strategi pemberantasan
didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness dari
semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap
perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang wajar
terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai
perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan
penanganan secara hukum. Berkenaan dengan political will serta komitmen
yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah,
diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif;
(2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode
etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi.
Selain itu, strategi
pemberantasan korupsi yang “diagung-agungkan” adalah reformasi birokrasi, yaitu
membenahi dari dalam individu itu sendiri. Banyak pihak yang meyakini dengan
adanya reformasi birokrasi, maka birokrasi di Indonesia lambat laun akan sembuh
dari penyakit “korupsinya”. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas
wacana seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi birokrasi harus
menjadi pengungkit (leverage) dalam strategi pemberantasan korupsi,
karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih dan
bebas KKN.
C.
Peran partisipasi
masyarakat, partai politik, dan media massa dalam memberantas korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 41 menyebutkan, masyarakat dapat
berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Peran serta masyarakat itu diwujudkan dalam bentuk memiliki hak
mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, serta memperoleh
dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Masyarakat
juga punya hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Di samping itu,
punya hak pula untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.
Selain itu masyarakat juga berhak untuk
memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya, ketika diminta
hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai
saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli. Masyarakat juga mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Seluruh hak dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan berpegang teguh pada
asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. Pasal 42
menyebutkan, pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang
telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan
tindak pidana korupsi. Ketentuan pemberian penghargaan itu diatur dengan
peraturan pemerintah.
Partisipasi publik dalam mengontrol
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang menyimpang, bukan harus diletakkan pada
konteks kewajiban publik, tetapi harus dilihat pada konteks tanggung jawab
sosial publik. Dimana dalam konteks tanggung jawab sosial melalui adanya
kesadaran kritis yang dibentuk atas pemahaman, pengenalan dan pendalaman
terhadap sebuah realitas sosial. Kaitannya dalam upaya pemberantasan korupsi,
maka partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi tersebut tentu menjadi
relevan untuk beberapa hal. Pertama, secara filosofis, masyarakat sebagai
sebuah komunitas yang memiliki tata nilai, setiap komunitas berhak untuk
memperjuangkan hak-hak yang mereka miliki. Kedua, pada perspektif sosiologis,
peran serta masyarakat menjadi sebuah prasyarat dalam menjalankan fungsi
kontrol sosialnya (social control) dalam tata hidup bermasyarakat. Menjadikan
kontrol sosial sebagai sebuah tata nilai yang terlembagakan setidaknya menjadi
instrumen dalam meminimalisir lahirnya praktek a moralitas dalam masyarakat.
Selain peran masyarakat dalam memberantas
korupsi, media massa juga memiliki peranannya tersendiri dalam membantu
pemberantasan korupsi. Peran media tidak hanya memberikan informasi mengenai
penindakan terhadap pelaku korupsi, tetapi juga pencegahan korupsi. Peran
penting media massa di bidang pencegahan korupsi, antara lain, diwujudkan dalam
bentuk memberi informasi kepada masyarakat tentang makna korupsi. Tujuannya,
agar masyarakat mengetahui perbuatan yang termasuk korupsi dan tidak termasuk
korupsi. Melalui keterbukaan informasi
ini menyebabkan masyarakat mengetahui apakah mandat rakyat sudah dilaksanakan
dengan baik atau belum. Kekuasaan yang demikian besar harus dikontrol melalui
media massa.
Selain peran masyarakat dan media massa,
peran parpol juga besar dalam pemberantasan korupsi. Yaitu bagaimana parpol
tersebut menyiapkan kader yang memiliki moral yang baik, dimana moral yang baik
tersebut dapat membentengi mereka dari perbuatan tindak korupsi. Pendidikan
politik juga menjadi sangat penting dimana melalui pendidikan politik, para
birokrat menjadi lebih mengetahui tugas dan tanggung jawab yang diembannya.
Selain itu, makin banyaknya partai politik maka cenderung praktek korupsi
semakin marak karena banyaknya partai membutuhkan sumber keuangan yang besar.
Hal tersebut terlihat pada saat pemilu, dimana partai menyiapkan kampanye
mereka dan hal tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya
memancing terjadinya praktek korupsi yang dilakukan oleh parpol untuk membiayai
partai mereka.
D.
Analisis SWOT
Maraknya praktek korupsi di Indonesia
membawa pada upaya Indonesia memberantas korupsi. Pemerintah menyuarakan
pemberantasan korupsi kepada semua pihak, dan diharapkan semua pihak membantu
dalam pemberantasan korupsi mulai dari pemerintah, kepolisian, kejaksaan,
sampai pada masayarakat. Untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi,
pemerintah membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana KPK memiliki kewenangan untuk
menyelidiki kasus tindak korupsi. KPK telah menunjukkan kinerja yang optimum dalam pemberantasan kasus
korupsi terlihat dengan banyaknya kasus korupsi yang “dikuak” oleh KPK, salah
satunya kasus Artalitha yang
menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. KPK
harus tetap berdiri tegak untuk melawan korupsi di Indonesia. Walaupun timbul
fitnah-fitnah yang menyudutkan KPK, KPK harus tetap maju untuk memberantas
korupsi. Namun, masih terdapat keburukan dalam pemberantasan korupsi yaitu
sudah terlalu banyak masalah korupsi jadi pemberantasannya memerlukan waktu
yang lama. Masyarakat yang sudah lebih peka terhadap kasus korupsi di Indonesia
membuat masyarakat sudah tidak dapat “dibohongi” oleh penguasa. Masyarakat
sudah bisa menilai kinerja birokrasi di Indonesia. Ancaman yang muncul adalah
bahwa korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar di Indonesia, dimana pemberantasannya harus dilakukan dari
akar-akarnya
Intinya dalam upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia dibutuhkan hukum yang kuat. Karena jika hukum lemah, maka praktek korupsi akan terus menerus terjadi.
Penguatan hukum ini bukan hal yang mudah, banyak sekali yang harus dibenahi
termasuk di dalamnya peraturan-peraturan yang dibuat hendaklah tidak menjadi
“bumerang” dalam pemberantasan korupsi itu sendiri. Terlebih lagi seluruh
tatanan kepolisian maupun kejaksaan tidak luput dari perhatian, yaitu bagaimana
menciptakan kepolisian dan kejaksaan yang bersih sehingga proses pemberantasan
korupsi dapat terus dijalankan sehingga keadilan dapat ditegakkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Korupsi dapat menyangkut
penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan misal tarif dan kredit, sistem
irigasi dan kebijakan perumahan, penagakan hukum atau prosedur sederhana. Korupsi
di Indonesia adalah korupsi yang paling parah. Strategi pemberantasan korupsi
yang dilakukan di Indonesia dilakukan melalui pembentukan strategi nasioanl
untuk memberantas korupsi. Selain itu, Indonesia membentuk negara ekstra body,
yaitu KPK. Indonesia pun telah memiliki UU TIPIKOR, akan tetapi strategi
pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung kurang efektif jika dibandingkan
dengan negara Perancis dan Jerman. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa
kporupsi sudah dianggap sebagai sebuah upaya yang wajar di Indonesia. Tidak adanya panutan yang dapat memberikan
keteladanan dalam pemberantasan korupsi secara nasional. Indonesia masih menunggu tampilnya orang kuat atau “ benevolent strongman ”,
panutan yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam pemberantasan korupsi secara nasional.
B.
Saran
Tidak adanya strategi nasional yang dapat menjadi faktor pemersatu
kekuatan-kekuatan masyarakat untuk memberantas korupsi. hal yang masih dapat diharapkan terjadi di indonesia
adalah terbentuknya koalisi bersama
yang secara nyata dapat mempersatukan kekuatan unsur-unsur pemerintah, dunia usaha, asosiasi, NGO dan professional yang bergerak secara
sinergis, kompak terarah dan berkesinambungan dalam
bidang-bidang tertentu. ini yang akan dikenal sebagai konsep “Island Of Integrity”.
Seluruh
unsur itu ada di mastel kita berbicara
tentang peran strategis mastel
dan bukan tentang kelompok “pro-status quo”!… anda punya
semangat kebersamaan?, kepedulian?, tertantang untuk berperan? atau … anda memang termasuk … pemuja status quo ? atau …mudah-mudahan anda cuma sekedar bingung saja ! … ayo bergabung … cegah korupsi… dengan ICT !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar