Minggu, 03 Maret 2013

Absennya Demokrasi di Dunia Islam


Di sebuah acara T.V. seorang redaktur senior dari sebuah harian terkenal bertanya pada saya mengapa Islam begitu tidak demokratis? Pertanyaan itu mendorong saya menulis artikel ini. Pertanyaan itu harus dijawab. Apakah slam tidak demokratis karena berdasarkan watak ajaran yg terkandung di dalamnya? Mengapa tidak ada negara Muslim yang memiliki sistem demokrasi? Hampir semua negara Muslim dipimpin oleh raja-raja, sheikh, diktator militer atau sistem yang semi demokratis. Ini merupakan pertanyaan penting, yang harus dijawab dg memuaskan. Pertanyaan lebih penting dalam hal ini adalah: Apakah Islam bertanggung  jawab atas keadaan umat? Dapatkah sebuah agama menjadi demokratis atau tidak demokratis? Ataukah para penganutnya yang membuatnya demikian?
         Dalam pendapat penulis, agama hendaknya tidak dipahami sebagai demokratis atau tidak. Agama apapun berakar dari sebuah struktur sosial, walaupun tidak berarti ciptaan darinya. Sebuah agama memberikan sebuah visi terbentuknya sebuah masyarakat baru yg akan mentransformasikan masyarakat yg bersangkutan akan tetapi jarang berhasil secara total menghapus status quo. Berhasil atau gagalnya visi baru yg diberikan oleh sebuah agama tergantung pada seberapa kuat kepentingan yg mengontrol masyarakat di mana agama itu lahir. Semakin kuat kepentingan yg ada semakin sulit untuk merubah status quo. Hal itu terjadi bukan hanya karena kepentingan baru yg berkembang dalam masyarakat muncul berdasarkan pada visi baru. Tetapi juga karena vested interest baru juga berkembang di masyarakat Islam, seperti yg akan kita lihat dalam diskusi berikutnya. Ajaran Qur'an sangat mendukung cara dan berjalannya demokrasi. Nabi Muhammad sendiri diperintahkan oleh Allah  untuk berkonsultasi dg para Sahabat dalam berbagai persoalan dunia (wa syawirhum yg bermakna bermusyawarahlah dengan mereka [para sahabat]).

DEMOKRASI ISLAM DI MASA RASUL


Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyur sekaligus pensyarah buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan “politik kolektif” (as siyasah al jama’iyah).Sedangkan dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir.
Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad 20. Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles.
Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad (Saw.), termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syura), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.
Nabi Muhammad (Saw.) dan Sikap Demokratis, Buku-buku sejarah mencatat bahwa di luar otoritas keagamaan yang menjadi tugas utamanya, Nabi Muhammad (Saw.) merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya, hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.

YouTube

Translate

Lencana Facebook

Fans Page Facebook

Video


Download video clip Cakra Khan Harus Terpisah