Minggu, 03 Maret 2013

Absennya Demokrasi di Dunia Islam


Di sebuah acara T.V. seorang redaktur senior dari sebuah harian terkenal bertanya pada saya mengapa Islam begitu tidak demokratis? Pertanyaan itu mendorong saya menulis artikel ini. Pertanyaan itu harus dijawab. Apakah slam tidak demokratis karena berdasarkan watak ajaran yg terkandung di dalamnya? Mengapa tidak ada negara Muslim yang memiliki sistem demokrasi? Hampir semua negara Muslim dipimpin oleh raja-raja, sheikh, diktator militer atau sistem yang semi demokratis. Ini merupakan pertanyaan penting, yang harus dijawab dg memuaskan. Pertanyaan lebih penting dalam hal ini adalah: Apakah Islam bertanggung  jawab atas keadaan umat? Dapatkah sebuah agama menjadi demokratis atau tidak demokratis? Ataukah para penganutnya yang membuatnya demikian?
         Dalam pendapat penulis, agama hendaknya tidak dipahami sebagai demokratis atau tidak. Agama apapun berakar dari sebuah struktur sosial, walaupun tidak berarti ciptaan darinya. Sebuah agama memberikan sebuah visi terbentuknya sebuah masyarakat baru yg akan mentransformasikan masyarakat yg bersangkutan akan tetapi jarang berhasil secara total menghapus status quo. Berhasil atau gagalnya visi baru yg diberikan oleh sebuah agama tergantung pada seberapa kuat kepentingan yg mengontrol masyarakat di mana agama itu lahir. Semakin kuat kepentingan yg ada semakin sulit untuk merubah status quo. Hal itu terjadi bukan hanya karena kepentingan baru yg berkembang dalam masyarakat muncul berdasarkan pada visi baru. Tetapi juga karena vested interest baru juga berkembang di masyarakat Islam, seperti yg akan kita lihat dalam diskusi berikutnya. Ajaran Qur'an sangat mendukung cara dan berjalannya demokrasi. Nabi Muhammad sendiri diperintahkan oleh Allah  untuk berkonsultasi dg para Sahabat dalam berbagai persoalan dunia (wa syawirhum yg bermakna bermusyawarahlah dengan mereka [para sahabat]).

Islam lahir dalam sebuah masyarakat di mana tidak terdapat struktur politik formal atau administrasi negara. Ia secara esensial merupakan sebuah masyarakat suku (tribal) tanpa penguasa atau struktur negara formal. Tidak ada hukum tertulis, hanya adat kesukuan. Islam tidak hanya memberikan masyarakat di situ sebuah visi baru yg lebih manusiawi dan lebih menjamin kebebasan nurani tetapi juga memberikan hukum-hukum detail baik tertulis maupun secara lisan. Nabi Muhammad memberikan  hukum melalui ucapan-ucapanya, di samping yg sudah terkandung dalam Qur'an. Visi baru ini jauh dari atoritarian. Nabi sendiri esensinya  seorang demokrat sejati dalam sikap kesehariannya. Beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya pada yang lain kecuali pada hal-hal yg menyangkut agama. Beliau bahkan meminta para pengikutnya untuk tidak banyak bertanya karena jawaban Nabi nantinya akan bersifat mengikat. Nabi tidak mengijinkan siapapun untuk bersujud di hadapannya atau bahkan  cuma berdiri dg sikap hormat ketika Nabi memasuki ruangan.
        Nabi Muhammad menunjukkan sikap respek pada harga diri manusi tanpa melihat status sosial seseorang. Perhatiannya adalah untuk membentuk sebuah masyarakat tanpa konsep hirarki sosial. Pada masa itu perhatian Nabi ini merupakan langkah revolusioner. Tidak ada masyarakat tanpa adanya hirarki sosial pada waktu itu. Bahkandemokrasi modern-pun memiliki hirarki sosialnya sendiri.
        Demokrasi modern secara teoritis menyepakati adanya hak-hak persamaan pada seluruh warga negara tetapi sejumlah warga pada kenyataanya memiliki prevelese lebih dari yg lain. Visi Islam tidak mengakui privelese semacam itu. Bahkan seorang budak kulit hitam dapat mengklaim privelese yg sama sebagaimana Muslim yg lain. Bukanlah tanpa makna penunjukan Nabi atas budak Bilal yg baru dimerdekakan menjadi muazzin (tukang adzan), sebuah kehormatan yg dicemburui oleh banyak sahabat yg menikmati status tinggi di masyarakat waktu itu.
        Nabi Muhammad berbuat demikian untuk memberikan contoh dan preseden positif. Masyarakat demokratis yg sebenarnya hendaknya tidak hanyak menyepakati kesempatan yg sama pada warganya dan membuat mereka sama statusnya di hadapan hukum tetapi lebih dari itu hendaknya melakukannya dalam praktek.
       Pada kenyataannya warga yg memiliki privelese lebih adalah lebih memiliki persamaan daripada warga yg kurang menikmati privelese.Sementara Islam mencoba membentuk sebuah masyarakat yg betul-betul berspirit demokratis, Nabi melakukannya dalam kehidupan sehari-hari untuk memberi teladan pada yg lain. Beliau sadar bahwa sejumlah orang akan menuntut privelese lebih dan Nabi mencoba mengurangi keinginan semacam itu. Nabi memberikan perhatian tinggi pada kelompok Ashab as-Suffa yg sangat miskin dan secara sosial berkelas marjinal akan tetapi sangat berdedikasi dalam kepentingan Islam. Nabi sendiri tidak pernah menempati posisi kekuasaan politis apapun. Nabi esensinya adalah guide spiritual yg mendapatkan respek dan penghargaan tinggi.
       Konsep Ummah-nya juga sangat inklusif. Nabi memasukkan Yahudi, penyembah berhala dan Muslim di dalamnya. Beliau memberi mereka kebebasan penuh untuk mengikuti dan menjalankan kepercayaan masing-masing tanpa halangan. Ini juga merupakan pendekatan demokratik yg sangat modern.
        Akan tetapi, negara-negara Muslim saat ini memperlakukan non-Muslim sebagai warga kelas dua dan tidak memberikan hak-hak yg sama. Masyarakat demokratis modern memberikan hak yg sama pada umat Islam di manapun mereka berstatus sebagai minoritas. Tetapi negara2 Muslim, tidak semuanya, tapi cukup banyak, tidak berbuat demikian. Ini bukanlah masalah balas jasa (reciprocation) akan tetapi soal prinsip.
        Apalagi Nabi sendiri telah memberikan contoh dalam hal ini. Nabi tidak pernah memberikan isyarat preseden sekecil apapun adanya perlakuan tidak adil terhadap non Muslim. Maulana Husain Ahmed Madani, ulama besar dari Darul Ulum Deoband, India, mengutip dari hadits Nabi bahwa sebuah komposit negara-bangsa sudah sesuai dg spirit ajaran islam. 
        Oleh karena itu, sunnah Nabi sangat mengilhami umat Islam dalam hal ini. Sayangnya, feodalisme Islam merubah semuanya. Hirarki sosial menjadi prinsip pokok organisasi masyarakat dan baik Muslim maupun non Muslim menjadi subjek bukan warga negara yang menikmati persamaan hak. Kami akan membahas hal ini kemudian. Institusi perbudakan juga kembali diaktifkan kendatipun Islam telah memberi begitu banyak penekanan dalam mengemansipasi para budak. Konsep ketuhanan Islam adalah menghapus perbudakan. Sedangkan konsep status quo dari hirarki sosial politik yang kaku dipertahankan. Nilai-nilai asingpun menjadi bagian dari masyarakat Islam dan dilegitimasi dg atas nama Islam.
Sebuah masyarakat baru memang dimulai dan muncul pada tahun-tahun pertama Islam. Akan tetapi, proses kemunculan masyarakat Islam ini tidak bertahan lama. Dinasti Umayyah merebut kekuasaan dan merubah masyarat yang berspirit demokrasi menjadi sebuah hirarki feodal. Nabi Muhammad memiliki otoritas moral sangat besar tetapi tidak pernah menjadikannya sebagai kekuasaan politik formal. Nabi kemudian digantikan oleh empat Khulafa'ur'Rashidin (Arab: orang-orang yg mendapat petunjuk) mendapat julukan demikian karena mereka berusaha mengikuti visi Islam dan selalu berkonsultasi dg umat Islam sebelum mengambil keputusan kebijakan penting. Kendatipun secara formal institusi khalifah tidaklah bisa demokratis dalam artian masyarakat modern saat ini, tetapi ia berjiwa demokratis selama tiga puluh tahun pertama masa pemerintahan empat khalifah tsb.
Akan tetapi, selama periode ini berbagai vested interest mulai muncul dan menjerumuskan masyarakat baru itu ke dalam kekacauan politik dan kerusuhan politik ini berakibat pada terjadinya pembunuhan tiga dari empat khalifah (walaupun khalifah kedua juga terbunuh tetapi oleh seorang buruh budah karena perselisihan uang gaji). Penyebab dari kekacauan politik ini sudah dibahas secara mendalam oleh sarjana Mesir Dr. Taha Husain dalam bukunya Al-Fitnah al-Kubra (Fitnah Besar. Dia menjelaskan secara detail bagaimana masyarakat Islam terbagi menjadi berbagai kelompok, Quraish, non Quraish, Ansari, non Ansari, Umayyah dan non Umayyah, Arab, non Arab, dan lain lain.
Kepentingan ekonomis dan politis mereka bertentangan satu sama lain dan membantu menciptakan krisis besar pada awal terbentuknya masyarakat Islam. Krisis inilah yang tidak hanya berakibat pada perang sipil di mana lebih dari 100.000 Muslim terbunuh tetapi juga pada hancurnya visi sebuah masyarakat demokratik yang adil yg bernama Islam. Khalifah Ali mencoba sekuat tenaga untuk memperbaiki kembali visi Islam ini tetapi tidak berhasil dan kekuasaan politik akhirnya berpindah ke tangan Muawiyah, seorang penguasa yg penuh trik, yang merubah sistem khilafah menjadi kekuasaan dinasti dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai penggantinya.
        Dalam konteks kondisi politis dan sosial yang kacau ini Umayyah berhasil merebut kekuasaan. Mereka memindah ibukota Islam ke Damaskus di Syria yang dulunya dikuasai oleh Empirium Rumawi Timur (Bizantin) dan mengadopsi segala sistemnya, yg sangat feodalistik. Masyarakat Islam yg sangat berjiwa demokratik semakin lama semakin menjadi feodal dan hirarkis. Mu'awiyah mengadopsi sistem kerajaan dan mulai duduk di singgasana mengenakan baju kebesaran mahal serta membangun istana untuk tempat tinggalnya yang dijaga oleh sejumlah pengawal ketika dia menjadi gubernur Syria selama periode khalifah Umar. Umar mengecamnya karena telah meniru cara-cara aristokrat Byzantin. Akan tetapi, dia beralasan waktu itu dg mengatakan bahwa di sini (Syria) tidak mungkin menjadi penguasa tanpa mengadopsi cara-cara Byzantin. Karena, menurut dia, rakyat terbiasa dg cara itu. Dg demikian dia telah meligitimasi gaya aristokrasi Rumawi yang sangat bertentangan dg cara Islam dan Sunnah Nabi.

        Tantangan satu-satunya datang dari cucu Nabi yang menentang otoritas Yazid yg menjadi penguasa pertama dunia Islam dg prinsip-prinsip feodal dalam suksesi kekuasaan yg berlawanan dg sistem elektif sebagaimana empat khalifah pertama. Ketika Hasan mengambil alih sebagai khalifah kelima setelah pembunuhan Ali di Kufa, kekuasaannya mendapat pengesahan melalui bay'ah oleh tokoh-tokoh Muslim waktu itu. Tidak ada seorangpun yg ragu melakukannya. Tetapi konspirasi dimulai oleh Mu'awiyah untuk mengacaukan kekuasaan Hasan dan akhirnya Hasan sepakat untuk menyerahkan kekuasaannya dg persyaratan tertentu. Salah satunya adalah Mu'awiyah tidak akan menunjuk anaknya sebagai khalifah berikutnya dan menyerahkan masalah suksesi ke umat Islam untuk memutuskan. Mu'awiyah tampaknya sepakat pada persyaratan ini tetapi pada akhirnya tetap menunjuk anaknya Yazid dan di sinilah awal mula dari sistem yg oleh Maulana Maududi disebut dg mulukiyyat (kerajaan) dalam bukunya Khilafat Aur Mulukiyyat (Khilafah dan Kerajaan).

        Akan tetapi, ketika Yazid naik tahta, Husain (adik dari Hasan) menolak kekuasaan Yazid melalui bay'ah dan memutuskan untuk menentang kekuasaannya. Terdapat konspirasi untuk membunuhnya di Madina oleh pasukan Yazid dan karena itu dia meninggalkan Medinah dan pergi ke Irak sebagai respons atas permintaan rakyat Kufah untuk memimpin mereka dalam memerangi kekuasaan Yazid yg tidak sah. Akan tetapi rakyat Kufah telah mengkhianatinya sebagaimana mereka telah mengkhianati saudaranya Hasan dan ayahnya Ali. Husain dikepung oleh pasukan Yazid di Karbala dan pasukan Yazid yg besar tidak seimbang dg para pendukung Husain yg sedikit yang, sebagaimana Husain sendiri, meninggal di Karbala. Dengan demikian revolusi Islam jatuh dalam bayang-bayang konter revolusi Umayyah. Nilai-nilai demokrasi dan keadilan Islam dikesampingkan dan sekarang dinasti dan penindasaan menguasai. Dinasti Umayyah memperoleh kekuasaan politik dan menjadi kelompok paling istimewa dibanding umat Islam yg lain. Sejak itu umat Islam tidak lagi sederajat dalam praktiknya, walaupun secara teori tetaplah demikian.   
        Demokrasi Islam sebagaimana yg berkembang pada masa Nabi dan empat khalifah pertama tidak dapat bertahan lagi. Seluruh rezim yang berkuasa baik di dunia Arab maupun di luar Arab berkarakter dinasti dan tidak ada hubungannya dg prinsip pemilihan. Kultur politis Islam semakin lama semakin feodalistik. Mungkin itu merupakan kebutuhan historis. Mengingat banyaknya rezim feodal pada saat itu dan suatu usaha, bagaimanapun kuatnya political will, untuk menciptakan sebuah kultur politis yg demokratik tidak akan berhasil dalam kondisi dunia feodal semacam itu. Ia dapat berhasil di tanah Arab pada masa Nabi karena dua sebab satu faktor spiritual dan dua faktor material. Faktor spiritual adalah kejujuran dan kredibilitas Nabi (beliau dikenal sebagai sadiq artinya yg jujur dan dapat dipercaya bahkan sebelum Nabi memproklamirkan kenabian dan kerasulannya pada masyarakat Makkah). Komitmennya pada terbentuknya sebuah masyarakat yg adil yg menjamin martabat dan harga diri kemanuasiaan tidak diragukan lagi.

        Faktor material adalah watak kesukuan (tribal) dari Semenanjung Arabia di mana tidak produksi agrikultura dan sistem kanal yg mengharuskan adanya sebuah kekuasaan yg terpusat dan apropiasi surplus dari kaum tani. Secara faktual baik di Madinah dan di Makkah tidak terdapat administrasi pemerintahan, tidak ada polisi, tentara, pengadilan atau birokrasi atau yg mirip dg itu. Akan tetapi ketika menyebar ke kawasan Rumawi Timur (Byzantine) dan Sasanid terdapatlah sebuah peradaban agrikultura yg kaya dengan kultur politis feodal. Dan dalam waktu tidak lama pusat perhatian islam berpindah ke kawasan yg kaya ini dan Ibukota politis didirikan di Damaskus dan Baghdad. Makkah dan Madinah menjadi kota-kota suci dan hanya memiliki signifikansi agama sedangkan signifikansi politis berpindah ke kawasan yg subur pertaniannya dg potensi pengumpulan penghasilan negara yg tinggi.
        Oleh karena itu sistem khilafah menjadi sekedar simbolik sedangkan kekuasaan dinasti feodal menjadi substantif.Para penguasa Muslim secara simbolis memangku jabatan kekhalifahan tetapi sama sekali tidak mengikuti prinsif pemilihan sama sekali. Mereka juga tidak meminta pendapat kalangan Muslim, sebagaimana yg dilakukan oleh keempat Khalifah pertama, ketika mengambil keputusan-keputusan politis. Bahkan keputusan-keputusan yg tidak Islami mendapat pengesahan dari para Ulama yg mungkin dibawah tekanan atau bujukan dan apabila ulama ini menolak mereka akan mendapat hukuman berat. Inilah mengapa Imam Ghazali menganjurkan umat Islam untuk tidak memandang wajah para penguasa semacam itu.

        Masyarakat Islam setelah itu tidak pernah lagi melihat kembalinya sistem segaimana dalam periode kekhalifahan awal kendatipun terdapat sejumlah usaha oleh segolongan kaum idealis. Masyarakat Islam betul-betul terfeodalisasi. Kendatipun para penguasa di dunia Islam sering bergaya sebagai khalifah tetapi sebenarnya mereka tidak lebih dari raja-raja dan imperium yakni penguasa absolut. Perkembangan politik ini juga memiliki pengaruh pada perkembangan syariah (fiqih) Islam dalam banyak hal. Para Ulama yg memberi interpretasi pada Quran dan Hadith berbuat demikian karena berada di bawah pengaruh nilai-nilai feodal. Banyak dari hukum-hukum yg dihasilkan bertentangan dg spirit Islam dan memberi justifikasi pada sistem hirarki feodal dan monarki. Sebagian kecil ulama yg melawan penguasa diisolasi dan dibuang. Sementara ulama yg berpihak pada kepentingan monarki sering disebut sebagai Ulama su' (ulama yg buruk) tetapi mereka mendapatkan kekuasaan politis.
Ulama yg berintegritas dan berkarakter tidak dapat menyelamatkan struktur politik Islam pada periode awal walaupun mereka memiliki memiliki otoritas moral lebih tinggi. Dunia islam dikuasai oleh kekuasan monarki dan raja-raja yg korup dan haus kekuasaan. Imperialisme Barat pada abad sembilan belas tidak banyak membuat perubahan karena kekuatan imperialis semakin memperkuat penguasa Muslim ini untuk kepentingan mereka sendiri. Masyarakat Islam betul-betul terfeodalisasi karena selama kekuasaan imperialis tidak ada pemimpin massa karismatik yg muncul ke permukaan di negara Muslim manapun. Bahkan Jamaluddin Afghani, figur karismatik pada abad kesembilan belas, memiliki prioritas berbeda. Dia lebih tertarik pada pan-Islamisme dan bahkan meminta bantuan dari para monarki feodal semacam Utsmaniyah untuk mengusir kekuasaan imperialis barat dari dunia Islam. Karena itu alih-alih berhasil, dia malah menjadi korban konspirasi yg motori oleh penguasa Utsmaniyah.
Partai Wafd dari Mesir menawarkan konsep demokrasi terbatas pada kekuasaan Inggris dan dg adanya pergerakan demokrasi ini Mesir memiliki sistem yg berbau demokrasi saat ini. Akan tetapi, Mesir juga masih jauh dari demokrasi yg sebenarnya. Jamal Abdul Naser mempunyai visi tetapi kekuasaannya terlalu terpusat dalam rangka membawa perubahan dan reform dan bahwa sentralisasi kekuasaan mengalahkan tujuan semula. Penerusnya seperti Anwar Sadat tidak memiliki visi itu juga dan bahkan menjadi lebih otoritarian. Seluruh dunia Arab kekurangan pemimpin masal dalam kaliber apapun karena para penguasa otoritarian menggunakan kebijakan yg sangat represif dan tidak membiarkan pemimpin semacam itu muncul. Apa yg lebih mengganggu adalah bahwa para Ulama di negara-negara Arab mendukung rezim yg berkuasa dan menggunakan Islam untuk melegitimasi kekuasaan otoritarian. Pergerakan apapun yg berkaitan dg hak asasi manusia (HAM) dikecam sebagai konspirasi Barat terhadap Islam kendatipun martabat manusia dan kebebasan nurani sangat pokok dalam ajaran Islam. Iran secara teratur mengadakan pemilu tetapi di sana terdapat juga para Ulama ortodoks yg menguasai pengadilan dan tanpa pengadilan yg bebas demokrasi akan berdampak nominal. Para pendukung Presiden Khatami yg reformis dihukum dan banyak media dg orientasi reformis diberangus oleh pengadilan ortodoks di Iran. Mereka mengalami masa-masa suram. 
        Malaysia juga mengadopsi demokrasi terbatas dan Perdana Meneteri Mahathir Mohamad menganggap HAM sebagai sebuah konspirasi barat. Tidak ada kebebasan demokrasi sejati di Malaysia. Malaysia merupakan pemerintahan semi demokrasi dan semi otoritarian. Sedang Indonesia lama berada di bawah kekuasaan militer dan saat ini sudah menjalani sistem demokrasi akan tetapi sedang mengalami kekacauan politik. Indonesia membutuhkan beberapa waktu lagi bagi demokrasi untuk stabil mengingat vested interest yg kuat sedang berusaha untuk membentuk lagi kediktatorannya.
Oleh karena itu kondisi ekonomi dan sosial, yang lebih bertanggung jawab atas kurangnya demokrasi di dunia Islam dan bukan ajaran Islam. Akan tetapi, para intelektual Muslim harus berefleksi secara serius atas pertanyaan negara-negara Muslim belum bisa menampilkan demokrasi sejati kendatipun adanya klaim bahwa Islam merupakan ajaran yg paling berspirit demokratis. Tanpa demokratisasi di dunia Islam maka tidak akan ada perubahan berharga dapat diharapkan. Absennya demokrasi berarti tunduknya umat Islam dan reformasi modern tidak akan mungkin tanpa adanya pemerintahan yg demokratis.
Dan pemerintahan demokratis tidak mungkin terjadi tanpa terjaminna kebebasan nurani (conscience), yg tidak eksis di negara Muslim manapun. Independensi berpikir sekalipun dalam hal-hal agama akan ditekan secara keras. Syariah Islam dituntut untuk dilaksanakan secara mekanis yg sering tidak mengindahkan spirit sejati keadilan dan martabat kemanusiaan. Ijtihad yg prinsip juga tidak dianjurkan dan malah dipandang aneh oleh para Ulama dg mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yg memiliki kualifikasi mujtahid.

        Syariah Islam dikompilasi dalam suatu kondisi sosial dan politik berbeda dan kebanyakan keputusan diambil oleh para Ulama pada kondisi sosio-politis mereka dan karena itu butuh direformulasi. Keputusan-keputusan yg diambil oleh Ulama atau fuqaha (jmk dari faqih: ahli fiqih) tidak dapat dianggap sebagai wahyu. Para pakar fiqih dan ahli hukum modern perlu bekerja sama untuk merubah hukum-hukum syariah terutama di bidang mu'amalat (hubungan interpersonal). Pondasi pokok dari demokrasi adalah, sebagaimana disebut di atas, kebebasan nurani dan kebebasan nurani tidak akan mungkin tanpa memikirkan kembali isu-isu mu'amalat yg juga termasuk hubungan antara dua jenis. Hukum syariah, sebagaimana yg ada sekarang, sangatlah bias terhadap wanita sedangkan persamaan gender merupakan bagian integral dari budaya demokrasi. Sejumlah negara Muslim tidak mengijinkan wanita untuk voting dg atas nama Islam.
Pendekatan menyeluruh dari Quran adalah persamaan gender tetapi syariah yg ada merefleksikan etos abad pertengahan dan wanita berada pada posisi yg terjepit. Apabila demokrasi berdiri di negara-negara Muslim maka isu-isu kewanitaan akan menjadi sangat sentral. Pergerakan wanita cukup kuat sampai detik ini di negara-negara Muslim, yg memiliki sistem yg berbau demokrasi. Para sarjana wanita dan aktifis hendak meninjau kembali isu-isu dalam syariah dan ingin mengembangkan sebuah kultur baru yg adil gender di masyarakat Muslim.
Banyak negara-negara Muslim memiliki populasi non Muslim yg substansial. Dalam pemerintahan yg demokratis adalah sangat dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk menjamin kebebasan beragama. Non Muslim hendaknya juga dijamin kesamaan hak-hak politisnya. Minoritas Muslim menikmati hak-hak persamaan politis di sejumlah negara non Muslim atau sekuler. Hal ini harus dilakukan juga pada kalangan non Muslim di negara Muslim bukan demi balas budi akan tetapi atas dasar prinsip. Akan tetapi kebanyakan di negara Muslim bahkan umat Islam-pun tidak dapat menikmati hak-hak demokratis, apalagi non Muslim. Elektorat terpisah, apabila itu ada di negara manapun, hendaknya dihapus. Karena pola ini akan menumbuhkan praktek diskriminasi. Hendaknya dibentuk elektorat bersama baik untuk Muslim maupun non Muslim.
Yang terakhir, menghormati HAM adalah sangat perlu dalam sebuah kultur politik demokratis. Tanpa budaya HAM tidak akan ada kultur demokratis sejati. Intelektual Muslim hendaknya berjuang tanpa henti guna menjamin dihormatinya HAM untuk semua warga negara di negara-negara Islam. Kultur HAM inilah yg akan memperkokoh demokrasi dan menghapus kultur feodal yg hanya mengutamakan hak sebagian kecil orang dan mengorbankan yg lain yg lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YouTube

Translate

Lencana Facebook

Fans Page Facebook

Video


Download video clip Cakra Khan Harus Terpisah