Di
sebuah acara T.V. seorang redaktur senior dari sebuah harian terkenal bertanya
pada saya mengapa Islam begitu tidak demokratis? Pertanyaan itu mendorong saya
menulis artikel ini. Pertanyaan itu harus dijawab. Apakah slam tidak demokratis
karena berdasarkan watak ajaran yg terkandung di dalamnya? Mengapa tidak ada
negara Muslim yang memiliki sistem demokrasi? Hampir semua negara Muslim
dipimpin oleh raja-raja, sheikh, diktator militer atau sistem yang semi
demokratis. Ini merupakan pertanyaan penting, yang harus dijawab dg memuaskan.
Pertanyaan lebih penting dalam hal ini adalah: Apakah Islam bertanggung
jawab atas keadaan umat? Dapatkah sebuah agama menjadi demokratis atau tidak
demokratis? Ataukah para penganutnya yang membuatnya demikian?
Dalam pendapat penulis, agama hendaknya tidak dipahami sebagai demokratis atau tidak. Agama apapun berakar dari sebuah struktur sosial, walaupun tidak berarti ciptaan darinya. Sebuah agama memberikan sebuah visi terbentuknya sebuah masyarakat baru yg akan mentransformasikan masyarakat yg bersangkutan akan tetapi jarang berhasil secara total menghapus status quo. Berhasil atau gagalnya visi baru yg diberikan oleh sebuah agama tergantung pada seberapa kuat kepentingan yg mengontrol masyarakat di mana agama itu lahir. Semakin kuat kepentingan yg ada semakin sulit untuk merubah status quo. Hal itu terjadi bukan hanya karena kepentingan baru yg berkembang dalam masyarakat muncul berdasarkan pada visi baru. Tetapi juga karena vested interest baru juga berkembang di masyarakat Islam, seperti yg akan kita lihat dalam diskusi berikutnya. Ajaran Qur'an sangat mendukung cara dan berjalannya demokrasi. Nabi Muhammad sendiri diperintahkan oleh Allah untuk berkonsultasi dg para Sahabat dalam berbagai persoalan dunia (wa syawirhum yg bermakna bermusyawarahlah dengan mereka [para sahabat]).
Dalam pendapat penulis, agama hendaknya tidak dipahami sebagai demokratis atau tidak. Agama apapun berakar dari sebuah struktur sosial, walaupun tidak berarti ciptaan darinya. Sebuah agama memberikan sebuah visi terbentuknya sebuah masyarakat baru yg akan mentransformasikan masyarakat yg bersangkutan akan tetapi jarang berhasil secara total menghapus status quo. Berhasil atau gagalnya visi baru yg diberikan oleh sebuah agama tergantung pada seberapa kuat kepentingan yg mengontrol masyarakat di mana agama itu lahir. Semakin kuat kepentingan yg ada semakin sulit untuk merubah status quo. Hal itu terjadi bukan hanya karena kepentingan baru yg berkembang dalam masyarakat muncul berdasarkan pada visi baru. Tetapi juga karena vested interest baru juga berkembang di masyarakat Islam, seperti yg akan kita lihat dalam diskusi berikutnya. Ajaran Qur'an sangat mendukung cara dan berjalannya demokrasi. Nabi Muhammad sendiri diperintahkan oleh Allah untuk berkonsultasi dg para Sahabat dalam berbagai persoalan dunia (wa syawirhum yg bermakna bermusyawarahlah dengan mereka [para sahabat]).
Islam
lahir dalam sebuah masyarakat di mana tidak terdapat struktur politik formal
atau administrasi negara. Ia secara esensial merupakan sebuah masyarakat suku
(tribal) tanpa penguasa atau struktur negara formal. Tidak ada hukum tertulis,
hanya adat kesukuan. Islam tidak hanya memberikan masyarakat di situ sebuah
visi baru yg lebih manusiawi dan lebih menjamin kebebasan nurani tetapi
juga memberikan hukum-hukum detail baik tertulis maupun secara lisan. Nabi
Muhammad memberikan hukum melalui ucapan-ucapanya, di samping yg sudah
terkandung dalam Qur'an. Visi baru ini jauh dari atoritarian. Nabi sendiri esensinya
seorang demokrat sejati dalam sikap kesehariannya. Beliau tidak pernah
memaksakan kehendaknya pada yang lain kecuali pada hal-hal yg menyangkut agama.
Beliau bahkan meminta para pengikutnya untuk tidak banyak bertanya karena
jawaban Nabi nantinya akan bersifat mengikat. Nabi tidak mengijinkan siapapun
untuk bersujud di hadapannya atau bahkan cuma berdiri dg sikap hormat
ketika Nabi memasuki ruangan.
Nabi Muhammad menunjukkan sikap respek pada harga
diri manusi tanpa melihat status sosial seseorang. Perhatiannya adalah untuk
membentuk sebuah masyarakat tanpa konsep hirarki sosial. Pada masa itu
perhatian Nabi ini merupakan langkah revolusioner. Tidak ada masyarakat tanpa
adanya hirarki sosial pada waktu itu. Bahkandemokrasi modern-pun memiliki
hirarki sosialnya sendiri.
Demokrasi modern secara teoritis menyepakati
adanya hak-hak persamaan pada seluruh warga negara tetapi sejumlah warga pada
kenyataanya memiliki prevelese lebih dari yg lain. Visi Islam tidak mengakui
privelese semacam itu. Bahkan seorang budak kulit hitam dapat mengklaim
privelese yg sama sebagaimana Muslim yg lain. Bukanlah tanpa makna penunjukan
Nabi atas budak Bilal yg baru dimerdekakan menjadi muazzin (tukang adzan),
sebuah kehormatan yg dicemburui oleh banyak sahabat yg menikmati status tinggi
di masyarakat waktu itu.
Nabi Muhammad berbuat demikian untuk memberikan
contoh dan preseden positif. Masyarakat demokratis yg sebenarnya hendaknya
tidak hanyak menyepakati kesempatan yg sama pada warganya dan membuat mereka
sama statusnya di hadapan hukum tetapi lebih dari itu hendaknya melakukannya
dalam praktek.
Pada kenyataannya warga yg memiliki privelese lebih adalah
lebih memiliki persamaan daripada warga yg kurang menikmati privelese.Sementara
Islam mencoba membentuk sebuah masyarakat yg betul-betul berspirit demokratis,
Nabi melakukannya dalam kehidupan sehari-hari untuk memberi teladan pada yg
lain. Beliau sadar bahwa sejumlah orang akan menuntut privelese lebih dan Nabi
mencoba mengurangi keinginan semacam itu. Nabi memberikan perhatian tinggi pada
kelompok Ashab as-Suffa yg sangat miskin dan secara sosial berkelas marjinal
akan tetapi sangat berdedikasi dalam kepentingan Islam. Nabi sendiri tidak
pernah menempati posisi kekuasaan politis apapun. Nabi esensinya adalah guide
spiritual yg mendapatkan respek dan penghargaan tinggi.
Konsep Ummah-nya juga sangat inklusif. Nabi memasukkan
Yahudi, penyembah berhala dan Muslim di dalamnya. Beliau memberi mereka
kebebasan penuh untuk mengikuti dan menjalankan kepercayaan masing-masing tanpa
halangan. Ini juga merupakan pendekatan demokratik yg sangat modern.
Akan tetapi, negara-negara Muslim saat ini
memperlakukan non-Muslim sebagai warga kelas dua dan tidak memberikan hak-hak
yg sama. Masyarakat demokratis modern memberikan hak yg sama pada umat Islam di
manapun mereka berstatus sebagai minoritas. Tetapi negara2 Muslim, tidak
semuanya, tapi cukup banyak, tidak berbuat demikian. Ini bukanlah masalah balas
jasa (reciprocation) akan tetapi soal prinsip.
Apalagi Nabi sendiri telah memberikan contoh dalam hal
ini. Nabi tidak pernah memberikan isyarat preseden sekecil apapun adanya
perlakuan tidak adil terhadap non Muslim. Maulana Husain Ahmed Madani, ulama
besar dari Darul Ulum Deoband, India, mengutip dari hadits Nabi bahwa sebuah
komposit negara-bangsa sudah sesuai dg spirit ajaran islam.
Oleh karena itu, sunnah Nabi sangat mengilhami umat
Islam dalam hal ini. Sayangnya, feodalisme Islam merubah semuanya. Hirarki
sosial menjadi prinsip pokok organisasi masyarakat dan baik Muslim maupun non
Muslim menjadi subjek bukan warga negara yang menikmati persamaan hak. Kami
akan membahas hal ini kemudian. Institusi perbudakan juga kembali diaktifkan
kendatipun Islam telah memberi begitu banyak penekanan dalam mengemansipasi
para budak. Konsep ketuhanan Islam adalah menghapus perbudakan. Sedangkan
konsep status quo dari hirarki sosial politik yang kaku dipertahankan.
Nilai-nilai asingpun menjadi bagian dari masyarakat Islam dan dilegitimasi dg atas
nama Islam.
Sebuah
masyarakat baru memang dimulai dan muncul pada tahun-tahun pertama Islam. Akan
tetapi, proses kemunculan masyarakat Islam ini tidak bertahan lama. Dinasti
Umayyah merebut kekuasaan dan merubah masyarat yang berspirit demokrasi menjadi
sebuah hirarki feodal. Nabi Muhammad memiliki otoritas moral sangat besar
tetapi tidak pernah menjadikannya sebagai kekuasaan politik formal. Nabi
kemudian digantikan oleh empat Khulafa'ur'Rashidin (Arab: orang-orang yg
mendapat petunjuk) mendapat julukan demikian karena mereka berusaha mengikuti
visi Islam dan selalu berkonsultasi dg umat Islam sebelum mengambil keputusan
kebijakan penting. Kendatipun secara formal institusi khalifah tidaklah bisa
demokratis dalam artian masyarakat modern saat ini, tetapi ia berjiwa
demokratis selama tiga puluh tahun pertama masa pemerintahan empat khalifah
tsb.
Akan
tetapi, selama periode ini berbagai vested interest mulai muncul dan
menjerumuskan masyarakat baru itu ke dalam kekacauan politik dan kerusuhan
politik ini berakibat pada terjadinya pembunuhan tiga dari empat khalifah
(walaupun khalifah kedua juga terbunuh tetapi oleh seorang buruh budah karena
perselisihan uang gaji). Penyebab dari kekacauan politik ini sudah dibahas
secara mendalam oleh sarjana Mesir Dr. Taha Husain dalam bukunya Al-Fitnah
al-Kubra (Fitnah Besar. Dia menjelaskan secara detail bagaimana masyarakat
Islam terbagi menjadi berbagai kelompok, Quraish, non Quraish, Ansari, non
Ansari, Umayyah dan non Umayyah, Arab, non Arab, dan lain lain.
Kepentingan
ekonomis dan politis mereka bertentangan satu sama lain dan membantu
menciptakan krisis besar pada awal terbentuknya masyarakat Islam. Krisis inilah
yang tidak hanya berakibat pada perang sipil di mana lebih dari 100.000 Muslim
terbunuh tetapi juga pada hancurnya visi sebuah masyarakat demokratik yang adil
yg bernama Islam. Khalifah Ali mencoba sekuat tenaga untuk memperbaiki kembali
visi Islam ini tetapi tidak berhasil dan kekuasaan politik akhirnya berpindah
ke tangan Muawiyah, seorang penguasa yg penuh trik, yang merubah sistem
khilafah menjadi kekuasaan dinasti dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai
penggantinya.
Dalam konteks kondisi politis dan sosial yang kacau ini Umayyah berhasil merebut kekuasaan. Mereka memindah ibukota Islam ke Damaskus di Syria yang dulunya dikuasai oleh Empirium Rumawi Timur (Bizantin) dan mengadopsi segala sistemnya, yg sangat feodalistik. Masyarakat Islam yg sangat berjiwa demokratik semakin lama semakin menjadi feodal dan hirarkis. Mu'awiyah mengadopsi sistem kerajaan dan mulai duduk di singgasana mengenakan baju kebesaran mahal serta membangun istana untuk tempat tinggalnya yang dijaga oleh sejumlah pengawal ketika dia menjadi gubernur Syria selama periode khalifah Umar. Umar mengecamnya karena telah meniru cara-cara aristokrat Byzantin. Akan tetapi, dia beralasan waktu itu dg mengatakan bahwa di sini (Syria) tidak mungkin menjadi penguasa tanpa mengadopsi cara-cara Byzantin. Karena, menurut dia, rakyat terbiasa dg cara itu. Dg demikian dia telah meligitimasi gaya aristokrasi Rumawi yang sangat bertentangan dg cara Islam dan Sunnah Nabi.
Dalam konteks kondisi politis dan sosial yang kacau ini Umayyah berhasil merebut kekuasaan. Mereka memindah ibukota Islam ke Damaskus di Syria yang dulunya dikuasai oleh Empirium Rumawi Timur (Bizantin) dan mengadopsi segala sistemnya, yg sangat feodalistik. Masyarakat Islam yg sangat berjiwa demokratik semakin lama semakin menjadi feodal dan hirarkis. Mu'awiyah mengadopsi sistem kerajaan dan mulai duduk di singgasana mengenakan baju kebesaran mahal serta membangun istana untuk tempat tinggalnya yang dijaga oleh sejumlah pengawal ketika dia menjadi gubernur Syria selama periode khalifah Umar. Umar mengecamnya karena telah meniru cara-cara aristokrat Byzantin. Akan tetapi, dia beralasan waktu itu dg mengatakan bahwa di sini (Syria) tidak mungkin menjadi penguasa tanpa mengadopsi cara-cara Byzantin. Karena, menurut dia, rakyat terbiasa dg cara itu. Dg demikian dia telah meligitimasi gaya aristokrasi Rumawi yang sangat bertentangan dg cara Islam dan Sunnah Nabi.
Tantangan satu-satunya datang dari cucu Nabi yang menentang otoritas Yazid yg menjadi penguasa pertama dunia Islam dg prinsip-prinsip feodal dalam suksesi kekuasaan yg berlawanan dg sistem elektif sebagaimana empat khalifah pertama. Ketika Hasan mengambil alih sebagai khalifah kelima setelah pembunuhan Ali di Kufa, kekuasaannya mendapat pengesahan melalui bay'ah oleh tokoh-tokoh Muslim waktu itu. Tidak ada seorangpun yg ragu melakukannya. Tetapi konspirasi dimulai oleh Mu'awiyah untuk mengacaukan kekuasaan Hasan dan akhirnya Hasan sepakat untuk menyerahkan kekuasaannya dg persyaratan tertentu. Salah satunya adalah Mu'awiyah tidak akan menunjuk anaknya sebagai khalifah berikutnya dan menyerahkan masalah suksesi ke umat Islam untuk memutuskan. Mu'awiyah tampaknya sepakat pada persyaratan ini tetapi pada akhirnya tetap menunjuk anaknya Yazid dan di sinilah awal mula dari sistem yg oleh Maulana Maududi disebut dg mulukiyyat (kerajaan) dalam bukunya Khilafat Aur Mulukiyyat (Khilafah dan Kerajaan).
Akan tetapi, ketika Yazid naik tahta, Husain (adik dari Hasan) menolak kekuasaan Yazid melalui bay'ah dan memutuskan untuk menentang kekuasaannya. Terdapat konspirasi untuk membunuhnya di Madina oleh pasukan Yazid dan karena itu dia meninggalkan Medinah dan pergi ke Irak sebagai respons atas permintaan rakyat Kufah untuk memimpin mereka dalam memerangi kekuasaan Yazid yg tidak sah. Akan tetapi rakyat Kufah telah mengkhianatinya sebagaimana mereka telah mengkhianati saudaranya Hasan dan ayahnya Ali. Husain dikepung oleh pasukan Yazid di Karbala dan pasukan Yazid yg besar tidak seimbang dg para pendukung Husain yg sedikit yang, sebagaimana Husain sendiri, meninggal di Karbala. Dengan demikian revolusi Islam jatuh dalam bayang-bayang konter revolusi Umayyah. Nilai-nilai demokrasi dan keadilan Islam dikesampingkan dan sekarang dinasti dan penindasaan menguasai. Dinasti Umayyah memperoleh kekuasaan politik dan menjadi kelompok paling istimewa dibanding umat Islam yg lain. Sejak itu umat Islam tidak lagi sederajat dalam praktiknya, walaupun secara teori tetaplah demikian.
Demokrasi Islam sebagaimana yg berkembang pada masa
Nabi dan empat khalifah pertama tidak dapat bertahan lagi. Seluruh rezim yang
berkuasa baik di dunia Arab maupun di luar Arab berkarakter dinasti dan tidak
ada hubungannya dg prinsip pemilihan. Kultur politis Islam semakin lama semakin
feodalistik. Mungkin itu merupakan kebutuhan historis. Mengingat banyaknya
rezim feodal pada saat itu dan suatu usaha, bagaimanapun kuatnya political
will, untuk menciptakan sebuah kultur politis yg demokratik tidak akan berhasil
dalam kondisi dunia feodal semacam itu. Ia dapat berhasil di tanah Arab pada
masa Nabi karena dua sebab satu faktor spiritual dan dua faktor material.
Faktor spiritual adalah kejujuran dan kredibilitas Nabi (beliau dikenal sebagai
sadiq artinya yg jujur dan dapat dipercaya bahkan sebelum Nabi memproklamirkan
kenabian dan kerasulannya pada masyarakat Makkah). Komitmennya pada
terbentuknya sebuah masyarakat yg adil yg menjamin martabat dan harga diri
kemanuasiaan tidak diragukan lagi.
Faktor material adalah watak kesukuan (tribal) dari Semenanjung Arabia di mana tidak produksi agrikultura dan sistem kanal yg mengharuskan adanya sebuah kekuasaan yg terpusat dan apropiasi surplus dari kaum tani. Secara faktual baik di Madinah dan di Makkah tidak terdapat administrasi pemerintahan, tidak ada polisi, tentara, pengadilan atau birokrasi atau yg mirip dg itu. Akan tetapi ketika menyebar ke kawasan Rumawi Timur (Byzantine) dan Sasanid terdapatlah sebuah peradaban agrikultura yg kaya dengan kultur politis feodal. Dan dalam waktu tidak lama pusat perhatian islam berpindah ke kawasan yg kaya ini dan Ibukota politis didirikan di Damaskus dan Baghdad. Makkah dan Madinah menjadi kota-kota suci dan hanya memiliki signifikansi agama sedangkan signifikansi politis berpindah ke kawasan yg subur pertaniannya dg potensi pengumpulan penghasilan negara yg tinggi.
Oleh karena itu sistem khilafah menjadi sekedar simbolik sedangkan kekuasaan dinasti feodal menjadi substantif.Para penguasa Muslim secara simbolis memangku jabatan kekhalifahan tetapi sama sekali tidak mengikuti prinsif pemilihan sama sekali. Mereka juga tidak meminta pendapat kalangan Muslim, sebagaimana yg dilakukan oleh keempat Khalifah pertama, ketika mengambil keputusan-keputusan politis. Bahkan keputusan-keputusan yg tidak Islami mendapat pengesahan dari para Ulama yg mungkin dibawah tekanan atau bujukan dan apabila ulama ini menolak mereka akan mendapat hukuman berat. Inilah mengapa Imam Ghazali menganjurkan umat Islam untuk tidak memandang wajah para penguasa semacam itu.
Masyarakat Islam setelah itu tidak pernah lagi melihat kembalinya sistem segaimana dalam periode kekhalifahan awal kendatipun terdapat sejumlah usaha oleh segolongan kaum idealis. Masyarakat Islam betul-betul terfeodalisasi. Kendatipun para penguasa di dunia Islam sering bergaya sebagai khalifah tetapi sebenarnya mereka tidak lebih dari raja-raja dan imperium yakni penguasa absolut. Perkembangan politik ini juga memiliki pengaruh pada perkembangan syariah (fiqih) Islam dalam banyak hal. Para Ulama yg memberi interpretasi pada Quran dan Hadith berbuat demikian karena berada di bawah pengaruh nilai-nilai feodal. Banyak dari hukum-hukum yg dihasilkan bertentangan dg spirit Islam dan memberi justifikasi pada sistem hirarki feodal dan monarki. Sebagian kecil ulama yg melawan penguasa diisolasi dan dibuang. Sementara ulama yg berpihak pada kepentingan monarki sering disebut sebagai Ulama su' (ulama yg buruk) tetapi mereka mendapatkan kekuasaan politis.
Ulama
yg berintegritas dan berkarakter tidak dapat menyelamatkan struktur politik
Islam pada periode awal walaupun mereka memiliki memiliki otoritas moral lebih
tinggi. Dunia islam dikuasai oleh kekuasan monarki dan raja-raja yg korup dan
haus kekuasaan. Imperialisme Barat pada abad sembilan belas tidak banyak
membuat perubahan karena kekuatan imperialis semakin memperkuat penguasa Muslim
ini untuk kepentingan mereka sendiri. Masyarakat Islam betul-betul
terfeodalisasi karena selama kekuasaan imperialis tidak ada pemimpin massa
karismatik yg muncul ke permukaan di negara Muslim manapun. Bahkan Jamaluddin
Afghani, figur karismatik pada abad kesembilan belas, memiliki prioritas
berbeda. Dia lebih tertarik pada pan-Islamisme dan bahkan meminta bantuan dari
para monarki feodal semacam Utsmaniyah untuk mengusir kekuasaan imperialis
barat dari dunia Islam. Karena itu alih-alih berhasil, dia malah menjadi korban
konspirasi yg motori oleh penguasa Utsmaniyah.
Partai
Wafd dari Mesir menawarkan konsep demokrasi terbatas pada kekuasaan Inggris dan
dg adanya pergerakan demokrasi ini Mesir memiliki sistem yg berbau demokrasi
saat ini. Akan tetapi, Mesir juga masih jauh dari demokrasi yg sebenarnya.
Jamal Abdul Naser mempunyai visi tetapi kekuasaannya terlalu terpusat dalam
rangka membawa perubahan dan reform dan bahwa sentralisasi kekuasaan
mengalahkan tujuan semula. Penerusnya seperti Anwar Sadat tidak memiliki visi
itu juga dan bahkan menjadi lebih otoritarian. Seluruh dunia Arab kekurangan
pemimpin masal dalam kaliber apapun karena para penguasa otoritarian
menggunakan kebijakan yg sangat represif dan tidak membiarkan pemimpin semacam
itu muncul. Apa yg lebih mengganggu adalah bahwa para Ulama di negara-negara
Arab mendukung rezim yg berkuasa dan menggunakan Islam untuk melegitimasi
kekuasaan otoritarian. Pergerakan apapun yg berkaitan dg hak asasi manusia
(HAM) dikecam sebagai konspirasi Barat terhadap Islam kendatipun martabat
manusia dan kebebasan nurani sangat pokok dalam ajaran Islam. Iran secara
teratur mengadakan pemilu tetapi di sana terdapat juga para Ulama ortodoks yg
menguasai pengadilan dan tanpa pengadilan yg bebas demokrasi akan berdampak
nominal. Para pendukung Presiden Khatami yg reformis dihukum dan banyak media
dg orientasi reformis diberangus oleh pengadilan ortodoks di Iran. Mereka
mengalami masa-masa suram.
Malaysia juga mengadopsi demokrasi terbatas dan
Perdana Meneteri Mahathir Mohamad menganggap HAM sebagai sebuah konspirasi
barat. Tidak ada kebebasan demokrasi sejati di Malaysia. Malaysia merupakan
pemerintahan semi demokrasi dan semi otoritarian. Sedang Indonesia lama berada
di bawah kekuasaan militer dan saat ini sudah menjalani sistem demokrasi akan
tetapi sedang mengalami kekacauan politik. Indonesia membutuhkan beberapa waktu
lagi bagi demokrasi untuk stabil mengingat vested interest yg kuat sedang
berusaha untuk membentuk lagi kediktatorannya.
Oleh
karena itu kondisi ekonomi dan sosial, yang lebih bertanggung jawab atas
kurangnya demokrasi di dunia Islam dan bukan ajaran Islam. Akan tetapi, para
intelektual Muslim harus berefleksi secara serius atas pertanyaan negara-negara
Muslim belum bisa menampilkan demokrasi sejati kendatipun adanya klaim bahwa
Islam merupakan ajaran yg paling berspirit demokratis. Tanpa demokratisasi di
dunia Islam maka tidak akan ada perubahan berharga dapat diharapkan. Absennya
demokrasi berarti tunduknya umat Islam dan reformasi modern tidak akan mungkin
tanpa adanya pemerintahan yg demokratis.
Dan
pemerintahan demokratis tidak mungkin terjadi tanpa terjaminna kebebasan nurani
(conscience), yg tidak eksis di negara Muslim manapun. Independensi berpikir
sekalipun dalam hal-hal agama akan ditekan secara keras. Syariah Islam dituntut
untuk dilaksanakan secara mekanis yg sering tidak mengindahkan spirit sejati
keadilan dan martabat kemanusiaan. Ijtihad yg prinsip juga tidak dianjurkan dan
malah dipandang aneh oleh para Ulama dg mengatakan bahwa tidak ada seorangpun
yg memiliki kualifikasi mujtahid.
Syariah Islam dikompilasi dalam suatu kondisi sosial dan politik berbeda dan kebanyakan keputusan diambil oleh para Ulama pada kondisi sosio-politis mereka dan karena itu butuh direformulasi. Keputusan-keputusan yg diambil oleh Ulama atau fuqaha (jmk dari faqih: ahli fiqih) tidak dapat dianggap sebagai wahyu. Para pakar fiqih dan ahli hukum modern perlu bekerja sama untuk merubah hukum-hukum syariah terutama di bidang mu'amalat (hubungan interpersonal). Pondasi pokok dari demokrasi adalah, sebagaimana disebut di atas, kebebasan nurani dan kebebasan nurani tidak akan mungkin tanpa memikirkan kembali isu-isu mu'amalat yg juga termasuk hubungan antara dua jenis. Hukum syariah, sebagaimana yg ada sekarang, sangatlah bias terhadap wanita sedangkan persamaan gender merupakan bagian integral dari budaya demokrasi. Sejumlah negara Muslim tidak mengijinkan wanita untuk voting dg atas nama Islam.
Pendekatan
menyeluruh dari Quran adalah persamaan gender tetapi syariah yg ada
merefleksikan etos abad pertengahan dan wanita berada pada posisi yg terjepit.
Apabila demokrasi berdiri di negara-negara Muslim maka isu-isu kewanitaan akan
menjadi sangat sentral. Pergerakan wanita cukup kuat sampai detik ini di
negara-negara Muslim, yg memiliki sistem yg berbau demokrasi. Para sarjana
wanita dan aktifis hendak meninjau kembali isu-isu dalam syariah dan ingin
mengembangkan sebuah kultur baru yg adil gender di masyarakat Muslim.
Banyak
negara-negara Muslim memiliki populasi non Muslim yg substansial. Dalam
pemerintahan yg demokratis adalah sangat dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk
menjamin kebebasan beragama. Non Muslim hendaknya juga dijamin kesamaan hak-hak
politisnya. Minoritas Muslim menikmati hak-hak persamaan politis di sejumlah
negara non Muslim atau sekuler. Hal ini harus dilakukan juga pada kalangan non
Muslim di negara Muslim bukan demi balas budi akan tetapi atas dasar prinsip.
Akan tetapi kebanyakan di negara Muslim bahkan umat Islam-pun tidak dapat
menikmati hak-hak demokratis, apalagi non Muslim. Elektorat terpisah, apabila
itu ada di negara manapun, hendaknya dihapus. Karena pola ini akan menumbuhkan
praktek diskriminasi. Hendaknya dibentuk elektorat bersama baik untuk Muslim
maupun non Muslim.
Yang
terakhir, menghormati HAM adalah sangat perlu dalam sebuah kultur politik
demokratis. Tanpa budaya HAM tidak akan ada kultur demokratis sejati.
Intelektual Muslim hendaknya berjuang tanpa henti guna menjamin dihormatinya
HAM untuk semua warga negara di negara-negara Islam. Kultur HAM inilah yg akan
memperkokoh demokrasi dan menghapus kultur feodal yg hanya mengutamakan hak
sebagian kecil orang dan mengorbankan yg lain yg lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar