Minggu, 03 Maret 2013

DEMOKRASI ISLAM DI MASA RASUL


Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyur sekaligus pensyarah buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan “politik kolektif” (as siyasah al jama’iyah).Sedangkan dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir.
Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad 20. Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles.
Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad (Saw.), termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syura), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.
Nabi Muhammad (Saw.) dan Sikap Demokratis, Buku-buku sejarah mencatat bahwa di luar otoritas keagamaan yang menjadi tugas utamanya, Nabi Muhammad (Saw.) merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya, hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.
Sikap demokratis Nabi Muhammad (Saw.) ini barangkali merupakan sikap demokratis pertama di Semenanjung Arabia, di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang paternalistik, masih menjunjung tinggi status-status sosial klan, dan non-egaliter.
Beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad (Saw.) merupakan seorang demokrat adalah:
Ketika Nabi Muhammad (Saw.) diminta suku-suku Arab menjadi penguasa sipil (non-agama) di luar status beliau sebagai pemegang otoritas agama, beliau mengambil pernyataan setia orang-orang yang ingin tunduk dalam kekuasaan beliau sebagai tekhnik memperoleh legitimasi kekuasaan. Pernyataan setia ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai “Bai’at Aqabah I & II”. Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Pernyataan kerelaan itu dinyatakan dalam bentuk “pernyataan setia” atau bai’at.
Setelah Nabi Muhammad (Saw.) bermigrasi ke Madinah, beliau mengangkat budak kulit hitam Ethiopia yang bernama Bilal menjadi pengumandang panggilan shalat (azan). Posisi ini merupakan sebuah kedudukan prestisius bagi seorang budak kulit hitam dalam belantara kabilah-kabilah Arab yang terhormat. Ketika beliau membentuk negara pertama kali dalam Islam, yaitu negara Madinah yang multi agama. Beliau tidak menggunakan Al Quran sebagai konstitusi negara Madinah. Karena Al Quran hanya berlaku bagi orang-orang yang mempercayainya, yaitu kaum muslimin. Beliau menyusun “Piagam Madinah” berdasarkan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi sebagai konstitusi negara Madinah. Pada masa negara Madinah ini pula beliau mengenalkan konsep “bangsa” (al ummah) sebagai satu kesatuan warga negara Madinah tanpa membedakan asal-usul suku.
Nabi Muhammad (Saw.) mendirikan negara Madinah ini berdasarkan kontrak sosial (al ‘aqd al ijtima’i) antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi, Kristen, dan kaum Arab pagan yang berdiam di Madinah. Piagam Madinah berisi prinsip-prinsip interaksi yang baik antarpemeluk agama; saling membantu menghadapi musuh yang menyerang negara Madinah, menegakkan keadilan dan membela orang yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama. Sewaktu Perang Badar, perang pertama kali dalam sejarah Islam antara kaum muslimin dengan orang-orang Arab pagan, Nabi Muhammad (Saw.) menanggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat sahabatnya dalam menyusun strategi perang yang jitu.

Perjalanan Demokrasi dalam Masyarakat Islam Pasca Nabi Muhammad (Saw.). Sepeninggal Nabi Muhammad (Saw.) nilai-nilai demokratis yang beliau ajarkan mulai pudar. Hal ini terjadi akibat pertentangan dan persaingan kekuasaan yang menghebat. Pada peralihan kekuasaan setelah wafatnya beliau ke tangan penggantinya Abu Bakar proses demokrasi, dapat berjalan baik meski agak alot. Karena setiap kabilah Arab merasa berhak memegang tampuk kepemimpinan. Di balai pertemuan Bani Saadah di Madinah, Abu Bakar terpilih dengan dukungan mayoritas melalui bai’at atas kepemimpinannya.
Berdasarkan pengalaman peralihan kekuasaan pada masanya yang alot, maka Abu Bakar menunjuk penggantinya secara langsung sebelum ia wafat untuk memegang tampuk khalifah.Abu Bakar digantikan Umar bin Khattab. Takut terjadi kericuhan dan kealotan dalam peralihan kekuasaan selanjutnya, Umar menunjuk enam orang untuk bermusyawarah menetapkan penggantinya. Pergantian kekuasaan setelah Umar berjalan lancar, dan terpilihlah Utsman bin Affan, meski ada rasa ketidakpuasan di antara orang-orang yang ditunjuk hingga menimbulkan friksi-friksi tajam. Setelah Utsman terbunuh akibat ketidakpuasan daerah-daerah, peralihan kekuasaan menjadi semakin berdarah-darah. Pemilihan penggantinya Ali bin Abi Talib jauh dari tata cara yang sempurna.
Pada masa ini, sikap politik ummat Islam terbagi menjadi empat. Dua kekuatan besar menjadi mainstream yaitu: pendukung Ali dan pendukung khalifah terbunuh Utsman bin Affan yang diwakili oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.Pandangan politik pendukung Ali selanjutnya terlembaga menjadi sebuah ideologi dan sekte agama, yaitu Syi’ah.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang anti kelompok pertama dan kedua, kelompok ini menamakan diri Khawarij. Khawarij berusaha melakukan pembunuhan politik terhadap tokoh-tokoh kelompok pertama dan kedua, karena beranggapan bahwa mereka adalah biang keladi perpecahan ummat. Selanjutnya kelompok keempat adalah orang-orang yang tidak mengambil peran dalam konflik politik ini. Mereka menghindar sambil menyerahkan permasalahan ini kepada Allah untuk diselesaikan pada Hari Pembalasan, kelompok ini bernama Murji’ah.
Munculnya empat golongan ini terjadi pada akhir masa kekuasaan para sahabat dekat Nabi Muhammad (Saw.). Dalam sejarah Islam pemerintahan empat sahabat dekat beliau merupakan rujukan kedua, sebagai bentuk pemerintahan ideal pasca pemerintahan Nabi Muhammad (Saw.).
Antara Sistem Demokrasi dan Sistem Khilafah ( Pemerintahan Islam )

Oleh: Aris Kurniawan
Sistem pemerintahan yang diterapkan dalam suatu negara memiliki perbedaan boleh latar belakang negara yang berbeda. Penggunaan sistem pemerintahan dalam suatu negara terkadang merupakan suatu proses trial dan juga termasuk didalamnya persaingan untuk mendapatkan pengaruh, kekuasaan, dan faktor kepentingan.
Sistem pemerintahan Islam yang ada pada masa awal perkembangan Islam (Masa Nabi Muhammad) dapat menciptakan masyarakat yang berkeadaban yang pada mulanya berpola pikir jahiliyyah. Nabi Muhammad Saw berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat di bantah(Unguestionable Leader) bagi negara Islam yang baru lahir pada masa itu. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip Agama (Islam) seperti: Memimpin shalat, menyampaikan berabagai khotbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus duta keluar negeri untuk membentuk angkatan perang, dan membagikan rampasan perang secara adil dan bijaksana. Dalam masa pemerintahannya, beliau membentuk piagam Madinah yang dianggap sebagai dokumen HAM, yang berisi tentang persaudaraan dengan ikatan iman yang bersifat ideologis dan landasan bagi prinsip saling menghormati dan menghargai di antara muslim dan yang bukan muslim.
Pada masa Khulafaurrasyidin yang berlangsung selama 30 tahun, pemerintahan Islam sudah mulai mengalami berbagai perubahan yang menimbulkan berbagai konflik yang mulai tampak tajam pada masa Kholifah ke 3( Usman Bin Affan ra). Pada masa itu muncullah bermacam ideologis
seperti Favoritisme dan Nepotisme yang di lakukan oleh sekelompok pejabat pemerintahan, yang pada akhir nya mengakibatkan terbunuhnya Utsman itu sendiri. Pada masa Ali pemerintahan Islam mengalami gejolak yang lebih dahsyat. Saat itu muncul berbagai ragam faksi politik, yang membentuk spectrum pemikiran politik Islam, yaitu kaum Khawarij, Syiah, dan Sunni. Yang setiap kelompok ini mempunyai pemikiran yang saling bersebarangan dan kaum-kaum tersebut dan membentuk ideologinya masing-masing. Pada masa-masa berikutnya system pemerintahan Islam lebih cenderung ke sistem warisan yang di mulai ketika masa Muawiyah pada pemerintahan Dinasti Umayah.
Indonesia hingga saat  masih ini menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan kepemerintahannya. Demokrasi dianggap efektif bagi perkembangan Indonesia karena pada masa sebelumnya, beberapa macam sistem pernah diaplikasikan di Negara ini. Sistem demokrasi di Indonesia mengandung nilai-nilai keislaman karena sebagian besar penduduk dan pemimpin berasal dari umat Islam. Keadaan ini dapat juga disebut pemerintahan islami atau sistem pemerintahan yang mengakomodasi nilai-nilai keislaman. Dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia, dibentuk daerah-daerah otonom untuk menjalankan proses demokrasi, agar dapat memperkecil tekanan pemerintahan, meningkatkan kebebasan politik dan tingkat kesejahteraan manusia.
Menurut Robet A. Dahl: “Otonom akan menimbulkan peluang-peluang untuk melancarkan destruksi. Setiap daerah otonom dapat berpeluang untuk mengabadikan ketidakadilan, melestarikan egoisme sempit dan juga untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri”. Sehingga menurutnya setiap daerah otonom harus memiliki kualitas dan pengawasan tertentu.
Selain itu, pada sistem demokrasi di Negeri ini yang menggunakan pemilu dengan sistem multipartai, dalam pemilihan wakil-wakil rakyat saja masih terdapat banyak kekurangan, seperti operasional yang besar tapi tidak efektif, sebagai contoh adalah lambatnya perhitungan suara dan kondisi IT yang amburadul, padahal biaya IT sangatlah besar,  sehingga mensinyalir ada unsur KKN. Dilihat dari tendernya saja, pengadaan IT pemilu tidak melalui lelang, tetapi melalui penunjukan langsung. Ini menjadi tanggung jawab bagi para pemimpin dan yang dipimpin (rakyat), dan juga kita sebagai mahasiswa sebagai generasi masa depan. Kita harus bisa membuat suatu perubahan kearah yang lebih baik dan harus bersikap lebih dewasa dalam segala hal. Karena salah satu bentuk ketidakdewasaan adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda. Ironis memang, jika kita melihat masalah-masalah yang terjadi dalam pemilu yang berskala nasional saat ini,  Jika melihat realita yang terjadi ketika diadakan pesta demokrasi skala kecil seperti di sekolah atau di tingkat perguruan tinggi, kita masih merasa kesulitan dalam menghadapi masalah yang muncul.
Sebagi solusi kita harus bisa mengatasi penyebab runtuhnya umat islam pada masa ini. Menurut Syekh Hasan Annadwi dalam bukunya Maza Khasiral Aalami Binhithaatil Musliminmengatakan: “Ada lima penyebab runtuhnya umat islam 1.Kepemimpinan berada di tangan yang tidak layak, 2. politik di pisah kan dari agama, 3. pemimpin dan para pengauasa muslim memberikan contoh yang buruk, 4. para ilmuwan muslim gagal mengembangkan ilmu, 5. timbul nya bid’ah dan kesesatan dalam dunia islam”.
 Kita juga harus bisa meneladani dan mengambil hikmah kisah yang terjadi pada zaman khalifah Ali ra. Ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau,   “Ya.. Ali…!!, Pada masa khalifah Abu Bakar keadaan umat Islam tidak kacau seperti ini, begitu juga pada masa khalifah Umar dan Utsman “. Kemudian Ali menjawab: “Dulu ketika masa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman, mereka memimpin orang-orang seperti aku dan sekarang aku memimpin orang-orang seperti kamu”. Artinya adalah
Keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya di tentukan oleh pemimpin itu sendiri, tetapi lebih dari itu oleh orang-orang yang di pimpinnyaWallahu a’lam…


.Daftar Pustaka
·     Dr. khalid ibrahim jinda. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam. 1999. Surabaya : risalah gusti, hal 2-6
·     Robert A. Dahl. Dilema demokrasi pluralis: antara otonomi dan control.1985. Jakarta: Rajawali
·     Dr. dainul zain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YouTube

Translate

Lencana Facebook

Fans Page Facebook

Video


Download video clip Cakra Khan Harus Terpisah