Kata
demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Ibn
Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyur sekaligus pensyarah
buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan “politik kolektif” (as
siyasah al jama’iyah).Sedangkan dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap
hidup yang berpijak pada sikap egaliter (mengakui persamaan derajat) dan
kebebasan berpikir.
Meski
demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang
mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad 20.
Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku
Yunani pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para
filosof muslim jaman pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd
ketika membahas karya-karya Aristoteles.
Istilah
demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak
pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal
kebebasan (al hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi
semenjak jaman Nabi Muhammad (Saw.), termasuk di dalamnya kebebasan memilih
pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syura), kebebasan mengkritik
penguasa, kebebasan berpendapat.
Nabi
Muhammad (Saw.) dan Sikap Demokratis, Buku-buku sejarah mencatat bahwa di
luar otoritas keagamaan yang menjadi tugas utamanya, Nabi Muhammad (Saw.)
merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi
kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) beliau bersikap
demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya, hingga memperoleh arahan
ketetapan dari Allah.
Sikap
demokratis Nabi Muhammad (Saw.) ini barangkali merupakan sikap demokratis
pertama di Semenanjung Arabia, di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang
paternalistik, masih menjunjung tinggi status-status sosial klan, dan
non-egaliter.
Beberapa
contoh yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad (Saw.) merupakan seorang demokrat
adalah:
Ketika
Nabi Muhammad (Saw.) diminta suku-suku Arab menjadi penguasa sipil (non-agama)
di luar status beliau sebagai pemegang otoritas agama, beliau mengambil
pernyataan setia orang-orang yang ingin tunduk dalam kekuasaan beliau sebagai
tekhnik memperoleh legitimasi kekuasaan. Pernyataan setia ini dikenal dalam
sejarah Islam sebagai “Bai’at Aqabah I & II”. Dari titik ini para ulama
Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan rakyat,
karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati
rakyat. Pernyataan kerelaan itu dinyatakan dalam bentuk “pernyataan setia” atau
bai’at.
Setelah
Nabi Muhammad (Saw.) bermigrasi ke Madinah, beliau mengangkat budak kulit hitam
Ethiopia yang bernama Bilal menjadi pengumandang panggilan shalat (azan).
Posisi ini merupakan sebuah kedudukan prestisius bagi seorang budak kulit hitam
dalam belantara kabilah-kabilah Arab yang terhormat. Ketika beliau membentuk
negara pertama kali dalam Islam, yaitu negara Madinah yang multi agama. Beliau
tidak menggunakan Al Quran sebagai konstitusi negara Madinah. Karena Al Quran
hanya berlaku bagi orang-orang yang mempercayainya, yaitu kaum muslimin. Beliau
menyusun “Piagam Madinah” berdasarkan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi
sebagai konstitusi negara Madinah. Pada masa negara Madinah ini pula beliau
mengenalkan konsep “bangsa” (al ummah) sebagai satu kesatuan warga negara
Madinah tanpa membedakan asal-usul suku.
Nabi
Muhammad (Saw.) mendirikan negara Madinah ini berdasarkan kontrak sosial (al
‘aqd al ijtima’i) antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi, Kristen, dan kaum
Arab pagan yang berdiam di Madinah. Piagam Madinah berisi prinsip-prinsip
interaksi yang baik antarpemeluk agama; saling membantu menghadapi musuh yang
menyerang negara Madinah, menegakkan keadilan dan membela orang yang teraniaya,
saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama. Sewaktu Perang Badar,
perang pertama kali dalam sejarah Islam antara kaum muslimin dengan orang-orang
Arab pagan, Nabi Muhammad (Saw.) menanggalkan pendapatnya dan mengambil
pendapat sahabatnya dalam menyusun strategi perang yang jitu.
Perjalanan
Demokrasi dalam Masyarakat Islam Pasca Nabi Muhammad (Saw.). Sepeninggal Nabi Muhammad (Saw.)
nilai-nilai demokratis yang beliau ajarkan mulai pudar. Hal ini terjadi akibat
pertentangan dan persaingan kekuasaan yang menghebat. Pada peralihan kekuasaan
setelah wafatnya beliau ke tangan penggantinya Abu Bakar proses demokrasi,
dapat berjalan baik meski agak alot. Karena setiap kabilah Arab merasa berhak
memegang tampuk kepemimpinan. Di balai pertemuan Bani Saadah di Madinah, Abu
Bakar terpilih dengan dukungan mayoritas melalui bai’at atas kepemimpinannya.
Berdasarkan
pengalaman peralihan kekuasaan pada masanya yang alot, maka Abu Bakar menunjuk
penggantinya secara langsung sebelum ia wafat untuk memegang tampuk
khalifah.Abu Bakar digantikan Umar bin Khattab. Takut terjadi kericuhan dan
kealotan dalam peralihan kekuasaan selanjutnya, Umar menunjuk enam orang untuk
bermusyawarah menetapkan penggantinya. Pergantian kekuasaan setelah Umar
berjalan lancar, dan terpilihlah Utsman bin Affan, meski ada rasa ketidakpuasan
di antara orang-orang yang ditunjuk hingga menimbulkan friksi-friksi tajam. Setelah
Utsman terbunuh akibat ketidakpuasan daerah-daerah, peralihan kekuasaan menjadi
semakin berdarah-darah. Pemilihan penggantinya Ali bin Abi Talib jauh dari tata
cara yang sempurna.
Pada
masa ini, sikap politik ummat Islam terbagi menjadi empat. Dua kekuatan besar
menjadi mainstream yaitu: pendukung Ali dan pendukung khalifah terbunuh Utsman
bin Affan yang diwakili oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.Pandangan politik
pendukung Ali selanjutnya terlembaga menjadi sebuah ideologi dan sekte agama,
yaitu Syi’ah.
Kelompok
ketiga adalah orang-orang yang anti kelompok pertama dan kedua, kelompok ini
menamakan diri Khawarij. Khawarij berusaha melakukan pembunuhan politik
terhadap tokoh-tokoh kelompok pertama dan kedua, karena beranggapan bahwa
mereka adalah biang keladi perpecahan ummat. Selanjutnya kelompok keempat
adalah orang-orang yang tidak mengambil peran dalam konflik politik ini. Mereka
menghindar sambil menyerahkan permasalahan ini kepada Allah untuk diselesaikan
pada Hari Pembalasan, kelompok ini bernama Murji’ah.
Munculnya
empat golongan ini terjadi pada akhir masa kekuasaan para sahabat dekat Nabi
Muhammad (Saw.). Dalam sejarah Islam pemerintahan empat sahabat dekat beliau
merupakan rujukan kedua, sebagai bentuk pemerintahan ideal pasca pemerintahan
Nabi Muhammad (Saw.).
Antara Sistem Demokrasi dan Sistem Khilafah (
Pemerintahan Islam )
Oleh: Aris Kurniawan
Sistem
pemerintahan yang diterapkan dalam suatu negara memiliki perbedaan boleh latar
belakang negara yang berbeda. Penggunaan sistem pemerintahan dalam suatu negara
terkadang merupakan suatu proses trial dan juga termasuk didalamnya persaingan
untuk mendapatkan pengaruh, kekuasaan, dan faktor kepentingan.
Sistem
pemerintahan Islam yang ada pada masa awal perkembangan Islam (Masa Nabi
Muhammad) dapat menciptakan masyarakat yang berkeadaban yang pada mulanya
berpola pikir jahiliyyah. Nabi Muhammad Saw berperan sebagai pemimpin yang
tidak dapat di bantah(Unguestionable Leader) bagi negara Islam yang
baru lahir pada masa itu. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip Agama
(Islam) seperti: Memimpin shalat, menyampaikan berabagai khotbah. Sebagai
negarawan, beliau mengutus duta keluar negeri untuk membentuk angkatan perang,
dan membagikan rampasan perang secara adil dan bijaksana. Dalam masa
pemerintahannya, beliau membentuk piagam Madinah yang dianggap sebagai dokumen
HAM, yang berisi tentang persaudaraan dengan ikatan iman yang bersifat
ideologis dan landasan bagi prinsip saling menghormati dan menghargai di antara
muslim dan yang bukan muslim.
Pada
masa Khulafaurrasyidin yang berlangsung selama 30 tahun, pemerintahan Islam
sudah mulai mengalami berbagai perubahan yang menimbulkan berbagai konflik yang
mulai tampak tajam pada masa Kholifah ke 3( Usman Bin Affan ra). Pada masa itu
muncullah bermacam ideologis
seperti Favoritisme dan Nepotisme yang
di lakukan oleh sekelompok pejabat pemerintahan, yang pada akhir nya
mengakibatkan terbunuhnya Utsman itu sendiri. Pada masa Ali pemerintahan Islam
mengalami gejolak yang lebih dahsyat. Saat itu muncul berbagai ragam faksi
politik, yang membentuk spectrum pemikiran politik Islam,
yaitu kaum Khawarij, Syiah, dan Sunni. Yang setiap kelompok ini mempunyai
pemikiran yang saling bersebarangan dan kaum-kaum tersebut dan membentuk
ideologinya masing-masing. Pada masa-masa berikutnya system pemerintahan Islam
lebih cenderung ke sistem warisan yang di mulai ketika masa Muawiyah pada
pemerintahan Dinasti Umayah.
Indonesia
hingga saat masih ini menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan
kepemerintahannya. Demokrasi dianggap efektif bagi perkembangan Indonesia
karena pada masa sebelumnya, beberapa macam sistem pernah diaplikasikan di
Negara ini. Sistem demokrasi di Indonesia mengandung nilai-nilai keislaman
karena sebagian besar penduduk dan pemimpin berasal dari umat Islam. Keadaan
ini dapat juga disebut pemerintahan islami atau sistem pemerintahan yang
mengakomodasi nilai-nilai keislaman. Dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia,
dibentuk daerah-daerah otonom untuk menjalankan proses demokrasi, agar dapat
memperkecil tekanan pemerintahan, meningkatkan kebebasan politik dan tingkat
kesejahteraan manusia.
Menurut Robet
A. Dahl: “Otonom akan menimbulkan peluang-peluang untuk melancarkan
destruksi. Setiap daerah otonom dapat berpeluang untuk mengabadikan
ketidakadilan, melestarikan egoisme sempit dan juga untuk menghancurkan
demokrasi itu sendiri”. Sehingga menurutnya setiap daerah otonom harus
memiliki kualitas dan pengawasan tertentu.
Selain
itu, pada sistem demokrasi di Negeri ini yang menggunakan pemilu dengan sistem
multipartai, dalam pemilihan wakil-wakil rakyat saja masih terdapat banyak
kekurangan, seperti operasional yang besar tapi tidak efektif, sebagai contoh
adalah lambatnya perhitungan suara dan kondisi IT yang amburadul, padahal biaya
IT sangatlah besar, sehingga mensinyalir ada unsur KKN. Dilihat dari
tendernya saja, pengadaan IT pemilu tidak melalui lelang, tetapi melalui
penunjukan langsung. Ini menjadi tanggung jawab bagi para pemimpin dan yang
dipimpin (rakyat), dan juga kita sebagai mahasiswa sebagai generasi masa depan.
Kita harus bisa membuat suatu perubahan kearah yang lebih baik dan harus
bersikap lebih dewasa dalam segala hal. Karena salah satu bentuk ketidakdewasaan
adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan mengharapkan hasil
yang berbeda. Ironis memang, jika kita melihat masalah-masalah yang terjadi
dalam pemilu yang berskala nasional saat ini, Jika melihat realita yang
terjadi ketika diadakan pesta demokrasi skala kecil seperti di sekolah atau di
tingkat perguruan tinggi, kita masih merasa kesulitan dalam menghadapi masalah
yang muncul.
Sebagi
solusi kita harus bisa mengatasi penyebab runtuhnya umat islam pada masa ini.
Menurut Syekh Hasan Annadwi dalam bukunya Maza
Khasiral Aalami Binhithaatil Musliminmengatakan: “Ada lima penyebab
runtuhnya umat islam 1.Kepemimpinan berada di tangan yang tidak layak, 2.
politik di pisah kan dari agama, 3. pemimpin dan para pengauasa muslim memberikan
contoh yang buruk, 4. para ilmuwan muslim gagal mengembangkan ilmu, 5. timbul
nya bid’ah dan kesesatan dalam dunia islam”.
Kita
juga harus bisa meneladani dan mengambil hikmah kisah yang terjadi pada zaman
khalifah Ali ra. Ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau,
“Ya.. Ali…!!, Pada masa khalifah Abu Bakar keadaan umat Islam tidak
kacau seperti ini, begitu juga pada masa khalifah Umar dan Utsman “. Kemudian
Ali menjawab: “Dulu ketika masa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman,
mereka memimpin orang-orang seperti aku dan sekarang aku memimpin orang-orang
seperti kamu”. Artinya adalah
Keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya di tentukan
oleh pemimpin itu sendiri, tetapi lebih dari itu oleh orang-orang yang di
pimpinnya. Wallahu a’lam…
.Daftar Pustaka
·
Dr. khalid ibrahim jinda. Teori
Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam.
1999. Surabaya : risalah gusti, hal 2-6
·
Robert A. Dahl. Dilema demokrasi
pluralis: antara otonomi dan control.1985. Jakarta: Rajawali
·
Dr. dainul zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar