Selasa, 20 November 2012

Perubahan Atau Stagnasi: Telaah Karya Susilo Bambang Yudhoyono Dalam “Menuju Indonesia Baru”


Pendahuluan
Mungkin para pembaca akan bertanya-tanya mengapa penulis mengangkat dan mempunyai nyali yang besar untuk membedah sebuah karya yang bukan sembarangan karena di karang sendiri oleh seorang Presiden yang memimpin Indonesia selama dua periode yakni 2004-2009 dan 2009-2014 yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Penulis sadar bahwa sesungguhnya penulis bukanlah siapa-siapa apalagi mempunyai pendidikan yang mumpuni untuk membedah karya yang cukup “berat” ini tapi penulis ingin menjadi sosok yang lebih berguna karena hidup terlalu sayang untuk di sia-siakan sehingga hidup haruslah pernah melakukan suatu manuver yang “nyeleneh” untuk dinikmati termasuk menelaah karya seorang pemimpin negeri ini.
Seperti diketahui bahwa Indonesia telah berganti presiden selama enam kali diantaranya yaitu Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Abdulrahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Diantara ke semua Presiden tersebut, hanya SBY yang naik ke tampuk kekuasaan (eksekutif) melalui pemilu yang langsung dipilih oleh rakyat (tanpa lobi-lobi partai politik di parlemen seperti pemimpin yang mendahuluinya). Beliau naik pada periode tahun 2004 sebagai Presiden berpasangan dengan Wakilnya Jusuf Kalla yang berasal dari elite GOLKAR (Golongan Karya) dan hal yang mengejutkan bahwa partai yang dipimpinnya dan baru dibentuknya yaitu Partai Demokrat melesat dalam perolehan suara dan bisa mensejajarkan diri dengan partai-partai besar seperti GOLKAR, PDI-P, PPP.
SBY yang kelihatannya santun dan bersahaja namun berasal dari kalangan militer, sehingga rakyat sangat berharap kepadanya untuk merubah Indonesia ke arah yang lebih baik daripada periode sebelumnya apalagi “bayi reformasi” baru dilahirkan oleh para mahasiswa yang sebelumnya menumbangkan kekuasaan orde baru yang dipimpin Soeharto dan pemerintahan transisi hanya berkutat pada lobi-lobi atau deal-deal politik di parlemen sehingga reformasi itu secara keseluruhan baru terjadi pada 2004 ketika untuk pertama kalinya rakyat diberikan hak untuk memilih secara langsung calon presidennya lewat PEMILU yang JURDIL dan mirip seperti pemilu pertama di Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1955.
Kesadaran Baru: Konsep “Usang” Yang Diadopsi Kembali
Beliau menyorot mengenai adanya “krisis” yang berkepanjangan dimana mendorong pecahnya reformasi pada tahun 1998 untuk menurunkan Soeharto sebagai presiden Indonesia selama 32 tahun. Indonesia yang terkenal dengan politiknya yang stabil dan dinamis yang justru menunjang keberhasilan pembangunan ekonomi, tiba-tiba mengalami konflik dan perpecahan sosial baik dari agama, suku, ras dan golongan. Sehingga perlunya kesadaran baru ke depan untuk membangun bangsa ke arah yang lebih baik dengan menekankan lima cara yaitu:
  • Berhenti berpikir, berbicara, dan bertindak emosional, namun harus berpikir dan bertindak rasional;
  • Berhenti hanya berorientasi kepada kepentingan perorangan dan golongan semata, namun kembali mengutamakan kepentingan sosial dan nasional;
  • Berhenti hanya berpikir untuk menjebol dan membongkar semata, sebaliknya berpikir untuk mendirikan dan membangunnya kembali;
  • Berhenti berpikir sempit hanya melihat jangka pendek namun hendaknya berpikir secara luas, komprehensif dan untuk jangka panjang;
  • Berhenti bermimpi dan berangan-angan, namun mulai berbuat dan bekerja keras.



Bila melihat pemaparan diatas, memang masuk di akal dan hendaknya diterapkan ke depan untuk Indonesia yang lebih baik. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: apa hanya SBY yang pertama menerapkan sebuah “kesadaran baru” seperti ini? Dan apakah sesuai dengan implementasinya di lapangan pada pemerintahannya? Kalau tidak, bukankah ini hanya menjadi pepesan kosong belaka? Tentunya sambil ngopi dan ditemanin jajan di pagi hari, mengupas tema tersebut tentunya akan lebih menyenangkan.
Menilik kebelakang, Indonesia pernah dipimpin oleh orang-orang besar khususnya laki-laki dengan masa jabatan yang cukup lama di tampuk kekuasaan sebagai seorang presiden sebut saja Soekarno, Soeharto, dan SBY. Untuk menguji keefektifan gagasan “kesadaran baru” SBY, tentunya harus dibandingkan dengan presiden Indonesia yang sebelumnya berkuasa dan penulis mengambil Soekarno (1945-1966) dan Soeharto (1967-1998) sebagai acuan.
Soekarno atau dikenal dengan Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia dan merupakan salah satu The Founding Father. Beliau terkenal dengan pledoi-nya “Indonesia Menggugat” yang menurut penulis benar-benar sebuah pemikiran yang brillian pada masanya sehingga beliau dikirim dari penjara ke penjara oleh pemerintah Belanda saat itu. Walaupun terkenal dengan karismanya dan pidatonya yang berapi-api bisa membangkar semangat juang pemuda ketika Indonesia masih dalam cengkraman penjajahan kolonial Belanda, beliau tidak lah seorang yang impulsif. Hal yang masih segar diingat oleh penulis adalah ketika terjadinya Peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa tersebut menceritakan bahwa para tokoh pemuda menculik para tokoh tua seperti Soekarno dan Hatta untuk di desak memproklamirkan kemerdekaan Indonesia lebih awal namun beliau menolaknya, dan yang cukup menegangkan dari peristiwa tersebut adalah ketika para pemuda “mengancam” nyawa Bung Karno lalu dijawab oleh Bung Karno: “seret saya ke pojok ruangan itu dan ini leher saya lalu pancunglah disana”, melihat tantangan beliau, mental para pemuda langsung down dan membatalkan niat mereka untuk mendesak kedua proklamator itu. Kejadian serupa namun tak sama terjadi ketika Agresi Militer Belanda dilancarkan baik itu Agresi I dan II untuk “merebut” kembali Indonesia yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Diantara ksatria yang idealis dan menolak perundingan KMB adalah sosok Tan Malaka yang merupakan pencetus konsep Republik pertama untuk Indonesia mendahului siapapun dengan tulisannya Naar de Republiek Indonesie dan kutipannya yang terkenal adalah “aku tidak akan pernah mau berunding dengan maling di rumahku”. Lagi-lagi para ksatriya idealis harus gugur di medan perang, namun Bung Karno (ditambah kepiawaian Bung Hatta) memilih jalan diplomasi untuk maju ke KMB di Den Haag, Belanda untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu rakyat Indonesia yang tidak mempunyai persenjataan yang memadai melawan tentara Belanda.
Setelah mengupas Soekarno yang tidak egois dalam bertindak dan tetap mengutamakan kepentingan nasional (baca: Indonesia), kini beralih kepada era kepemimpinan Soeharto. Hal yang paling fundamental dari seorang Soeharto (terlepas isu creeping coup-nya pada pemerintahan orde lama yang dikomando oleh Soekarno), beliau adalah seorang nasionalis sejati dan seorang pemikir yang cerdas. Satu hal yang perlu diingat ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan yang sekaligus menandai era orde baru (orba) dan menggantikan orde lama (orla) adalah Konsolidasi Ekonomi, Pimpinan Pemerintahan yang Kuat, dan Susunan yang Stabil.[5] Negara kala itu (1965) sedang dilanda krisis keuangan yang benar-benar parah sampai defisit terhadap pendapatan menyentuh minus 174%, disinilah Soeharto (dan Orde Baru-nya) melihat bahwa untuk membangun sebuah stabilitas nasional yang kuat, harusnya ditopang dengan pembangunan ekonomi yang kuat pula. Caranya tentu dengan menanggulangi krisis yang melanda saat itu, sehingga berlebihan bila dikatakan Soeharto tidak berbuat banyak pada waktu itu dan hanya menekankan kepada “kudeta lewat Supersemar”. Selain hal tersebut, selama 32 tahun pemerintahannya, rakyat diberikan rasa aman karena tidak adanya aksi-aksi terorisme, pembrontakan-pembrontakan ke arah disintegrasi bangsa, dll. Tentunya tak lekang dari ingatan bahwa trend Petrus (Penembak Misterius) yang terjadi pada era 80-an sebenarnya dimaksudkan oleh Soeharto sebagai shock theraphy bagi orang-orang yang mau memancing riak di Indonesia.
Disini terlihat bahwa konsep SBY dengan “kesadaran baru-nya” adalah konsep yang klasik alias sudah pernah diterapkan oleh presiden-presiden sebelumnya seperti Soekarno dan Soeharto baik itu dengan segala kelebihan maupun dengan kekurangan-kekurangannya. Sehingga terlihat “lebay” bila harus dipaparkan kembali dengan embel-embel “baru” dalam kata “Kesadaran Baru”.
Indonesia Yang Baru: Implementasi Yang Setengah-Setengah
Lebih lanjut beliau menguraikan konsep ideal sosok Indonesia yang hendak dibangun dan dikembangkan antara lain:
  1. 1.  Sistem dan institusi kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan telah berkembang semakin mapan (well established);
  2. 2.  Penyimpangan dalam konsepsi, tatanan, dan praktek kehidupan bangsa dari yang dicita-citakan oleh negara proklamasi 1945 dapat dihilangkan dan diluruskan kembali;
  3. 3.   Indonesia dapat tampil dalam percaturan global secara terhormat, konstributif, dan berdaya saing sesuai dengan nilai-nilai universal abad 21;
  4. 4.      Indonesia makin maju, mandiri, mapan, adil dan makmur;
  5. 5.   Sembilan pilar kehidupan bangsa makin tegak, membumi, dan teraplikasi secara luas dalam segala sendi kehidupan bangsa. Kesembilan pilar tersebut adalah persatuan, keadilan, kesejahtraan, HAM, demokrasi, moral keagamaan, toleransi, hukum dan ketertiban, serta keamanan dan stabilitas.

Pemaparan yang tampak sekilas cukup idealias namun kurang realistis. Mari dilihat implementasinya di lapangan. Untuk angka (1) adalah membicarakan institusi kenegaraan yang semakin mapan, ini jelas mengandung arti “diusahakan untuk menjadi semapan mungkin”. Usaha tersebut sepertinya jauh panggang dari api karena salah satu penulis soroti adalah adanya lembaga negara yang masih lemah/blm mapan dibandingkan dengan lembaga yang lain yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Lalu menjadi pertanyaan, apa hubungannya dengan SBY yang duduk sebagai presiden?. Sebagai seorang presiden tentu SBY tidak ada kaitannya dengan lembaga-lembaga negara yang ada baik itu kelemahan maupun kekuatannya, namun perlu diingat bahwa SBY adalah Ketua Pembina Partai Demokrat (orang no.1 di partai tersebut) dan Partai Demokrat mempunyai perwakilan anggota yang duduk di DPR cukup banyak. Sebagai Ketua Pembina Partai Demokrat, SBY mempunyai wewenang untuk menggerakkan para kadernya di parlemen untuk memaksa adanya amandemen kelima UUD 1945 yang salah satu agendanya adalah penguatan wewenang dan fungsi DPD sebagai partner DPR di badan legislatif. Usaha tersebut tidak dilakukan oleh SBY, bahkan yang mengejutkan salah satu kadernya Ruhut Sitompul pernah berkata ingin mengamandemen UUD 1945 untuk bisa memilih SBY untuk tiga periode jabatan. Ini benar-benar menggelikan terlepas siapa “aktor” yang menyuruh si Ruhut berkicau demikian karena justru maksud diadakannya amandemen adalah membatasi kekuasaan presiden yang begitu besar seperti Soekarno dan Soeharto.
Pemaparan angka ke (3) ini juga multi tafsir, karena tidak jelas tolok ukur “terhormat” di dunia internasional itu. Karena Indonesia juga membangun sebuah rumah sakit di Palestina, apakah ini bisa diartikan tampil dalam percaturan global secara “terhormat dan konstributif”?. Menurut penulis, itu bisa dikatakan terlalu berjiwa “internasionalis” dan melupakan jati dirinya sebagai “nasionalis” karena masih banyak daerah-daerah tertinggal dan pedalaman tidak mendapat fasilitas kesehatan yang memadai seperti pembangunan insfratruktur rumah sakit. Kalau Indonesia tampil secara “tidak terhormat” di dunia internasional ternyata masih lebih banyak daripada klaim sebaliknya. Diantaranya: sengketa dengan Malaysia yang tidak kunjung habis-habisnya bahkan kasus yang paling memalukan adalah barter PNS perikanan dengan para nelayan Malaysia yang ditangkap di perairan Indonesia (perairan Bintan, Riau) yang sedang kedapatan mencari ikan. Disini jelas, Malaysia “melecehkan” Indonesia karena tidak mengaku salah dan meminta maaf namun malah menangkap balik para petugas dari Indonesia yang hendak mengamankan para nelayan pencuri ikan tersebut. Parahnya kasus ini menjadi santapan empuk para media asing yang berimplikasi pada “rendahnya” martabat Indonesia sebagai negara berdaulat.
Untuk angka ke (4) tak dapat dipungkiri bahwa di masa pemerintahan SBY- lah (terlepas SBY kreator nya secara langsung atau tidak langsung) kemajuan pendidikan itu terjadi yaitu adanya perakitan mobil Esemka oleh para siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Solo. Bahkan Duta Besar Jepang[11] untuk Indonesia dikabarkan tertarik akan prospek mobil ini di masa depan. Namun untuk kategori makmur tentunya itu ibarat meludah ke atas karena jangankan makmur, kasus korupsi juga banyak terekspose ke publik dan ironisnya justru membelit partai yang digawangi oleh SBY sendiri yaitu Partai Demokrat.
Terakhir pada uraian angka (5) dimana SBY menguraikan sembilan pilar kehidupan bangsa yang terdiri dari persatuan, keadilan, kesejahtraan, HAM, demokrasi, moral keagamaan, toleransi, hukum dan ketertiban, serta keamanan dan stabilitas dan seharusnya DITEGAKKAN dan DIAPLIKASIKAN di Indonesia. Lalu sampai mana teori tersebut bisa di impelementasikan di lapangan?. Bagi penulis semuanya itu adalah sebagian besar tidak direalisasikan oleh SBY beserta bawahannya. Dalam konsep persatuan, jelas tidak berlangsung maksimal dimana Papua masih bergejolak untuk memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bahkan pembunuhan terhadap OPM dan tentara masih berlangsung sampai kini, jadi konsep persatuan ala SBY bersifat semu dan normatif belaka. Dalam konsep keadilan, banyak terjadi yang sebaliknya di lapangan, adanya konsep outsourcing dalam hukum perburuhan, kasus Prita Mulyasari melawan rumah sakit Omni internasional sampai kasus terbaru yaitu pemberian grasi kepada terpidana narkotika dari Australia yaitu Schapelle Leigh Corby yang menodai genderang perang yang ditabuhnya sendiri melawan peredaran narkotika internasional dan korupsi di Indonesia. Sedangkan untuk HAM sendiri, lagi-lagi SBY tidak berani membuka pelanggaran kasus HAM berat seperti pembantaian tentara kepada simpatisan PKI pada 1965, peristiwa Tanjung Priuk pada 1984, dll. Untuk point demokrasi, patut diacungin jempol karena kran-kran demokrasi sudah dibiarkan mengucur deras di era kepemimpinan SBY walaupun sedikit tidak itu bermula pada jatuhnya Soeharto pada 1998. Rapor minus ditunjukkan dalam bidang moral keagamaan dan toleransi karena ada segelintir ormas beraliran islam benar-benar arogan dimana mereka tidak bermoral dengan merusak tempat-tempat umum, merazia para pedagang yang buka pada saat puasa[12]  dengan seenaknya bahkan diiringi dengan kekerasan dan penghancuran tempat usaha si pedagang, sampai kasus intoleran terhadap penyerangan jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan diakhiri dengan bom Bali I dan II. Tentunya ini merembet pada aspek keamanan dan stabilitas negara, hal seperti ini mengindikasikan tidak adanya upaya serius pemerintah yang melindungi warga negaranya atau mungkin sudah menjurus menjadi kehidupan bar-bar dimana menggunakan hukum rimba yaitu siapa yang kuat dialah menjadi pemenangnya? Tetapi itu semua dikembalikan kepada seluruh rakyat Indonesia yang masih “waras” karena hanya mereka yang tahu jawabannya.
Kesimpulan
1.       Konsep kesadaran baru adalah konsep yang sudah lama di praktekkan oleh para presiden Indonesia sebelumnya sehingga SBY hanya mem-blow up kembali hal-hal yang telah terlebih dahulu eksis.
2.      Indonesia yang baru hanya konsep normatif semata karena tidak berkesuaian dengan fakta yang ada di lapangan sehingga bisa dikategorikan suatu “kebohongan publik”.


Catatan Kaki
1.  Selengkapnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Indonesia Baru, diterbitkan Brighten Press. Buku ini bersumber dari bagian pertama buku SBY “Mengatasi Krisis, Menyelematkan Reformasi”, Puskap, Februari, 2000 dalam Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Indonesia Baru, hal. iv
2.   Semoga periode kedua kepemimpinan Presiden SBY aman-aman saja karena seperti kita tahu bahwa tuntutan untuk menurunkan dia dari singgasananya cukup kuat apalagi di tahun 2012 ini.
3.      Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Indonesia Baru, hal. 3-7.
4.      Penulis sengaja menghilangkan nama Habibie dan Gus Dur (namun tanpa mengecilkan peran mereka dalam memimpin Indonesia) karena masa jabatan mereka cukup singkat sehingga tidak dapat berbuat banyak untuk negeri ini.
5.    Hasil Seminar II Angkatan Darat di SESKOAD Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966
6.  Perbandingan pendapatan dan belanja pemerintah selama 1955-1972 bisa dilihat dalam Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, hal. 218.
7.      Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Indonesia Baru, hal. 26-27
8.  UUD 1945 sudah empat kali di amandemen di tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Selengkapnya mekanisme amandemen UUD 1945 dalam Pasal 37 beserta semua ayatnya.
9.      Bandingkan Pasal 7 sebelum dengan Pasal 7 sesudah Amandemen Pertama UUD 1945 yang mengatur pembatasan pemilihan presiden di Indonesia.
10.  Sumber: Repbulika
11.   Sumber: Asal Asih
12.  Bila ini dijadikan dalih bagi mereka untuk menghormati puasa nya umat muslim, ini kurang tepat. Karena masalah tersebut adalah urusan si individu dengan Tuhannya dan tidak semestinya diatur-atur oleh orang lain. Ini juga tidak masuk akal karena banyak orang-orang non-muslim yang merantau ke daerah-daerah yang penduduknya mayoritas muslim sehingga mereka akan kesulitan untuk menemukan dagang makanan terutama bagi mereka dengan keuangan yang pas-pasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YouTube

Translate

Lencana Facebook

Fans Page Facebook

Video


Download video clip Cakra Khan Harus Terpisah