Pendahuluan
Mungkin para pembaca akan bertanya-tanya mengapa penulis
mengangkat dan mempunyai nyali yang besar untuk membedah sebuah karya yang
bukan sembarangan karena di karang sendiri oleh seorang Presiden yang memimpin
Indonesia selama dua periode yakni 2004-2009 dan 2009-2014 yaitu
Susilo Bambang Yudhoyono. Penulis sadar bahwa sesungguhnya penulis bukanlah
siapa-siapa apalagi mempunyai pendidikan yang mumpuni untuk membedah karya yang
cukup “berat” ini tapi penulis ingin menjadi sosok yang lebih berguna karena
hidup terlalu sayang untuk di sia-siakan sehingga hidup haruslah pernah
melakukan suatu manuver yang “nyeleneh” untuk dinikmati termasuk
menelaah karya seorang pemimpin negeri ini.
Seperti diketahui bahwa Indonesia telah berganti presiden
selama enam kali diantaranya yaitu Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Abdulrahman
Wahid (Gus Dur), Megawati dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Diantara
ke semua Presiden tersebut, hanya SBY yang naik ke tampuk kekuasaan (eksekutif)
melalui pemilu yang langsung dipilih oleh rakyat (tanpa lobi-lobi partai
politik di parlemen seperti pemimpin yang mendahuluinya). Beliau naik pada
periode tahun 2004 sebagai Presiden berpasangan dengan Wakilnya Jusuf Kalla
yang berasal dari elite GOLKAR (Golongan Karya) dan hal yang mengejutkan bahwa
partai yang dipimpinnya dan baru dibentuknya yaitu Partai Demokrat melesat
dalam perolehan suara dan bisa mensejajarkan diri dengan partai-partai besar
seperti GOLKAR, PDI-P, PPP.
SBY yang kelihatannya santun dan bersahaja namun berasal
dari kalangan militer, sehingga rakyat sangat berharap kepadanya untuk merubah
Indonesia ke arah yang lebih baik daripada periode sebelumnya apalagi “bayi
reformasi” baru dilahirkan oleh para mahasiswa yang sebelumnya menumbangkan
kekuasaan orde baru yang dipimpin Soeharto dan pemerintahan transisi hanya
berkutat pada lobi-lobi atau deal-deal politik di parlemen sehingga reformasi
itu secara keseluruhan baru terjadi pada 2004 ketika untuk pertama kalinya
rakyat diberikan hak untuk memilih secara langsung calon presidennya lewat
PEMILU yang JURDIL dan mirip seperti pemilu pertama di Indonesia yang
diselenggarakan pada tahun 1955.
Kesadaran Baru: Konsep “Usang” Yang
Diadopsi Kembali
Beliau menyorot mengenai adanya “krisis” yang berkepanjangan
dimana mendorong pecahnya reformasi pada tahun 1998 untuk menurunkan Soeharto
sebagai presiden Indonesia selama 32 tahun. Indonesia yang terkenal dengan
politiknya yang stabil dan dinamis yang justru menunjang keberhasilan
pembangunan ekonomi, tiba-tiba mengalami konflik dan perpecahan sosial baik
dari agama, suku, ras dan golongan. Sehingga perlunya kesadaran baru ke depan
untuk membangun bangsa ke arah yang lebih baik dengan menekankan lima cara
yaitu:
- Berhenti berpikir, berbicara, dan bertindak emosional, namun harus berpikir dan bertindak rasional;
- Berhenti hanya berorientasi kepada kepentingan perorangan dan golongan semata, namun kembali mengutamakan kepentingan sosial dan nasional;
- Berhenti hanya berpikir untuk menjebol dan membongkar semata, sebaliknya berpikir untuk mendirikan dan membangunnya kembali;
- Berhenti berpikir sempit hanya melihat jangka pendek namun hendaknya berpikir secara luas, komprehensif dan untuk jangka panjang;
- Berhenti bermimpi dan berangan-angan, namun mulai berbuat dan bekerja keras.
Bila melihat pemaparan diatas, memang masuk di akal dan
hendaknya diterapkan ke depan untuk Indonesia yang lebih baik. Namun yang
menjadi pertanyaan adalah: apa hanya SBY yang pertama menerapkan sebuah
“kesadaran baru” seperti ini? Dan apakah sesuai dengan implementasinya di
lapangan pada pemerintahannya? Kalau tidak, bukankah ini hanya menjadi pepesan
kosong belaka? Tentunya sambil ngopi dan ditemanin jajan di pagi hari, mengupas
tema tersebut tentunya akan lebih menyenangkan.
Menilik kebelakang, Indonesia pernah dipimpin oleh
orang-orang besar khususnya laki-laki dengan masa jabatan yang cukup lama di
tampuk kekuasaan sebagai seorang presiden sebut saja Soekarno, Soeharto,
dan SBY. Untuk
menguji keefektifan gagasan “kesadaran baru” SBY, tentunya harus dibandingkan
dengan presiden Indonesia yang sebelumnya berkuasa dan penulis mengambil
Soekarno (1945-1966) dan Soeharto (1967-1998) sebagai acuan.
Soekarno atau dikenal dengan Bung Karno adalah presiden
pertama Indonesia dan merupakan salah satu The Founding Father.
Beliau terkenal dengan pledoi-nya “Indonesia Menggugat” yang menurut penulis
benar-benar sebuah pemikiran yang brillian pada masanya sehingga beliau dikirim
dari penjara ke penjara oleh pemerintah Belanda saat itu. Walaupun terkenal
dengan karismanya dan pidatonya yang berapi-api bisa membangkar semangat juang
pemuda ketika Indonesia masih dalam cengkraman penjajahan kolonial Belanda,
beliau tidak lah seorang yang impulsif. Hal yang masih segar diingat oleh
penulis adalah ketika terjadinya Peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa tersebut
menceritakan bahwa para tokoh pemuda menculik para tokoh tua seperti Soekarno
dan Hatta untuk di desak memproklamirkan kemerdekaan Indonesia lebih awal namun
beliau menolaknya, dan yang cukup menegangkan dari peristiwa tersebut adalah
ketika para pemuda “mengancam” nyawa Bung Karno lalu dijawab oleh Bung Karno:
“seret saya ke pojok ruangan itu dan ini leher saya lalu pancunglah disana”,
melihat tantangan beliau, mental para pemuda langsung down dan membatalkan niat
mereka untuk mendesak kedua proklamator itu. Kejadian serupa namun tak sama
terjadi ketika Agresi Militer Belanda dilancarkan baik itu Agresi I dan II
untuk “merebut” kembali Indonesia yang sudah merdeka pada 17 Agustus 1945.
Diantara ksatria yang idealis dan menolak perundingan KMB adalah sosok Tan
Malaka yang merupakan pencetus konsep Republik pertama untuk Indonesia mendahului
siapapun dengan tulisannya Naar de Republiek Indonesie dan kutipannya yang
terkenal adalah “aku tidak akan pernah mau berunding dengan maling di rumahku”.
Lagi-lagi para ksatriya idealis harus gugur di medan perang, namun Bung Karno
(ditambah kepiawaian Bung Hatta) memilih jalan diplomasi untuk maju ke KMB di
Den Haag, Belanda untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu rakyat
Indonesia yang tidak mempunyai persenjataan yang memadai melawan tentara
Belanda.
Setelah mengupas Soekarno yang tidak egois dalam bertindak
dan tetap mengutamakan kepentingan nasional (baca: Indonesia), kini beralih
kepada era kepemimpinan Soeharto. Hal yang paling fundamental dari seorang
Soeharto (terlepas isu creeping coup-nya pada pemerintahan orde lama yang dikomando
oleh Soekarno), beliau adalah seorang nasionalis sejati dan seorang pemikir
yang cerdas. Satu hal yang perlu diingat ketika Soeharto naik ke tampuk
kekuasaan yang sekaligus menandai era orde baru (orba) dan menggantikan orde
lama (orla) adalah Konsolidasi Ekonomi, Pimpinan Pemerintahan yang Kuat, dan
Susunan yang Stabil.[5] Negara
kala itu (1965) sedang dilanda krisis keuangan yang benar-benar parah sampai
defisit terhadap pendapatan menyentuh minus 174%,
disinilah Soeharto (dan Orde Baru-nya) melihat bahwa untuk membangun sebuah
stabilitas nasional yang kuat, harusnya ditopang dengan pembangunan ekonomi
yang kuat pula. Caranya tentu dengan menanggulangi krisis yang melanda saat
itu, sehingga berlebihan bila dikatakan Soeharto tidak berbuat banyak pada
waktu itu dan hanya menekankan kepada “kudeta lewat Supersemar”. Selain hal
tersebut, selama 32 tahun pemerintahannya, rakyat diberikan rasa aman karena
tidak adanya aksi-aksi terorisme, pembrontakan-pembrontakan ke arah
disintegrasi bangsa, dll. Tentunya tak lekang dari ingatan bahwa trend Petrus
(Penembak Misterius) yang terjadi pada era 80-an sebenarnya dimaksudkan oleh
Soeharto sebagai shock theraphy bagi orang-orang yang mau memancing riak di
Indonesia.
Disini terlihat bahwa konsep SBY dengan “kesadaran baru-nya”
adalah konsep yang klasik alias sudah pernah diterapkan oleh presiden-presiden
sebelumnya seperti Soekarno dan Soeharto baik itu dengan segala kelebihan
maupun dengan kekurangan-kekurangannya. Sehingga terlihat “lebay” bila harus
dipaparkan kembali dengan embel-embel “baru” dalam kata “Kesadaran Baru”.
Indonesia Yang Baru: Implementasi Yang
Setengah-Setengah
Lebih lanjut beliau menguraikan konsep ideal sosok Indonesia
yang hendak dibangun dan dikembangkan antara lain:
- 1. Sistem dan institusi kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan telah berkembang semakin mapan (well established);
- 2. Penyimpangan dalam konsepsi, tatanan, dan praktek kehidupan bangsa dari yang dicita-citakan oleh negara proklamasi 1945 dapat dihilangkan dan diluruskan kembali;
- 3. Indonesia dapat tampil dalam percaturan global secara terhormat, konstributif, dan berdaya saing sesuai dengan nilai-nilai universal abad 21;
- 4. Indonesia makin maju, mandiri, mapan, adil dan makmur;
- 5. Sembilan pilar kehidupan bangsa makin tegak, membumi, dan teraplikasi secara luas dalam segala sendi kehidupan bangsa. Kesembilan pilar tersebut adalah persatuan, keadilan, kesejahtraan, HAM, demokrasi, moral keagamaan, toleransi, hukum dan ketertiban, serta keamanan dan stabilitas.
Pemaparan yang tampak sekilas cukup idealias namun kurang
realistis. Mari dilihat implementasinya di lapangan. Untuk angka (1) adalah
membicarakan institusi kenegaraan yang semakin mapan, ini jelas mengandung arti
“diusahakan untuk menjadi semapan mungkin”. Usaha tersebut sepertinya jauh
panggang dari api karena salah satu penulis soroti adalah adanya lembaga negara
yang masih lemah/blm mapan dibandingkan dengan lembaga yang lain yaitu DPD
(Dewan Perwakilan Daerah). Lalu menjadi pertanyaan, apa hubungannya dengan SBY
yang duduk sebagai presiden?. Sebagai seorang presiden tentu SBY tidak ada
kaitannya dengan lembaga-lembaga negara yang ada baik itu kelemahan maupun
kekuatannya, namun perlu diingat bahwa SBY adalah Ketua Pembina Partai Demokrat
(orang no.1 di partai tersebut) dan Partai Demokrat mempunyai perwakilan
anggota yang duduk di DPR cukup banyak. Sebagai Ketua Pembina Partai Demokrat,
SBY mempunyai wewenang untuk menggerakkan para kadernya di parlemen untuk
memaksa adanya amandemen kelima UUD 1945 yang
salah satu agendanya adalah penguatan wewenang dan fungsi DPD sebagai partner
DPR di badan legislatif. Usaha tersebut tidak dilakukan oleh SBY, bahkan yang
mengejutkan salah satu kadernya Ruhut Sitompul pernah berkata ingin
mengamandemen UUD 1945 untuk bisa memilih SBY untuk tiga periode jabatan. Ini
benar-benar menggelikan terlepas siapa “aktor” yang menyuruh si
Ruhut berkicau demikian karena justru maksud diadakannya amandemen adalah
membatasi kekuasaan presiden yang begitu besar seperti Soekarno dan Soeharto.
Pemaparan angka ke (3) ini juga multi tafsir, karena tidak
jelas tolok ukur “terhormat” di dunia internasional itu. Karena Indonesia juga
membangun sebuah rumah sakit di Palestina,
apakah ini bisa diartikan tampil dalam percaturan global secara “terhormat dan
konstributif”?. Menurut penulis, itu bisa dikatakan terlalu berjiwa
“internasionalis” dan melupakan jati dirinya sebagai “nasionalis” karena masih
banyak daerah-daerah tertinggal dan pedalaman tidak mendapat fasilitas
kesehatan yang memadai seperti pembangunan insfratruktur rumah sakit. Kalau
Indonesia tampil secara “tidak terhormat” di dunia internasional ternyata masih
lebih banyak daripada klaim sebaliknya. Diantaranya: sengketa dengan Malaysia
yang tidak kunjung habis-habisnya bahkan kasus yang paling memalukan adalah
barter PNS perikanan dengan para nelayan Malaysia yang ditangkap di perairan
Indonesia (perairan Bintan, Riau) yang sedang kedapatan mencari ikan. Disini
jelas, Malaysia “melecehkan” Indonesia karena tidak mengaku salah dan meminta
maaf namun malah menangkap balik para petugas dari Indonesia yang hendak
mengamankan para nelayan pencuri ikan tersebut. Parahnya kasus ini menjadi
santapan empuk para media asing yang berimplikasi pada “rendahnya” martabat
Indonesia sebagai negara berdaulat.
Untuk angka ke (4) tak dapat dipungkiri bahwa di masa
pemerintahan SBY- lah (terlepas SBY kreator nya secara langsung atau tidak
langsung) kemajuan pendidikan itu terjadi yaitu adanya perakitan mobil Esemka
oleh para siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di Solo. Bahkan Duta Besar
Jepang[11] untuk
Indonesia dikabarkan tertarik akan prospek mobil ini di masa depan. Namun untuk
kategori makmur tentunya itu ibarat meludah ke atas karena jangankan makmur,
kasus korupsi juga banyak terekspose ke publik dan ironisnya justru membelit
partai yang digawangi oleh SBY sendiri yaitu Partai Demokrat.
Terakhir pada uraian angka (5) dimana SBY menguraikan
sembilan pilar kehidupan bangsa yang terdiri dari persatuan, keadilan,
kesejahtraan, HAM, demokrasi, moral keagamaan, toleransi, hukum dan
ketertiban, serta keamanan dan stabilitas dan seharusnya DITEGAKKAN dan
DIAPLIKASIKAN di Indonesia. Lalu sampai mana teori tersebut bisa di
impelementasikan di lapangan?. Bagi penulis semuanya itu adalah sebagian besar
tidak direalisasikan oleh SBY beserta bawahannya. Dalam konsep persatuan, jelas
tidak berlangsung maksimal dimana Papua masih bergejolak untuk memisahkan diri
dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) bahkan pembunuhan terhadap OPM
dan tentara masih berlangsung sampai kini, jadi konsep persatuan ala SBY
bersifat semu dan normatif belaka. Dalam konsep keadilan, banyak terjadi yang
sebaliknya di lapangan, adanya konsep outsourcing dalam hukum perburuhan, kasus
Prita Mulyasari melawan rumah sakit Omni internasional sampai kasus terbaru
yaitu pemberian grasi kepada terpidana narkotika dari Australia yaitu Schapelle
Leigh Corby yang menodai genderang perang yang ditabuhnya sendiri melawan
peredaran narkotika internasional dan korupsi di Indonesia. Sedangkan untuk HAM
sendiri, lagi-lagi SBY tidak berani membuka pelanggaran kasus HAM berat seperti
pembantaian tentara kepada simpatisan PKI pada 1965, peristiwa Tanjung Priuk
pada 1984, dll. Untuk point demokrasi, patut diacungin jempol karena kran-kran
demokrasi sudah dibiarkan mengucur deras di era kepemimpinan SBY walaupun
sedikit tidak itu bermula pada jatuhnya Soeharto pada 1998. Rapor minus
ditunjukkan dalam bidang moral keagamaan dan toleransi karena ada segelintir
ormas beraliran islam benar-benar arogan dimana mereka tidak bermoral dengan
merusak tempat-tempat umum, merazia para pedagang yang buka pada saat puasa[12] dengan
seenaknya bahkan diiringi dengan kekerasan dan penghancuran tempat usaha si
pedagang, sampai kasus intoleran terhadap penyerangan jemaat gereja Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) dan diakhiri dengan bom Bali I dan II. Tentunya
ini merembet pada aspek keamanan dan stabilitas negara, hal seperti ini
mengindikasikan tidak adanya upaya serius pemerintah yang melindungi warga
negaranya atau mungkin sudah menjurus menjadi kehidupan bar-bar dimana
menggunakan hukum rimba yaitu siapa yang kuat dialah menjadi pemenangnya?
Tetapi itu semua dikembalikan kepada seluruh rakyat Indonesia yang masih
“waras” karena hanya mereka yang tahu jawabannya.
Kesimpulan
1. Konsep kesadaran baru adalah konsep yang sudah lama di
praktekkan oleh para presiden Indonesia sebelumnya sehingga SBY hanya mem-blow
up kembali hal-hal yang telah terlebih dahulu eksis.
2. Indonesia yang baru hanya konsep normatif semata karena
tidak berkesuaian dengan fakta yang ada di lapangan sehingga bisa dikategorikan
suatu “kebohongan publik”.
Catatan Kaki
1. Selengkapnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju
Indonesia Baru, diterbitkan Brighten Press. Buku ini bersumber dari bagian
pertama buku SBY “Mengatasi Krisis, Menyelematkan Reformasi”, Puskap,
Februari, 2000 dalam Susilo Bambang Yudhoyono, Menuju Indonesia
Baru, hal. iv
2. Semoga periode kedua kepemimpinan Presiden SBY aman-aman
saja karena seperti kita tahu bahwa tuntutan untuk menurunkan dia dari
singgasananya cukup kuat apalagi di tahun 2012 ini.
4. Penulis sengaja menghilangkan nama Habibie dan Gus Dur
(namun tanpa mengecilkan peran mereka dalam memimpin Indonesia) karena masa
jabatan mereka cukup singkat sehingga tidak dapat berbuat banyak untuk negeri
ini.
6. Perbandingan pendapatan dan belanja pemerintah selama
1955-1972 bisa dilihat dalam Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, hal.
218.
8. UUD 1945 sudah empat kali di amandemen di tahun 1999, 2000,
2001, dan 2002. Selengkapnya mekanisme amandemen UUD 1945 dalam Pasal 37
beserta semua ayatnya.
9. Bandingkan Pasal 7 sebelum dengan Pasal 7 sesudah Amandemen
Pertama UUD 1945 yang mengatur pembatasan pemilihan presiden di Indonesia.
12. Bila ini dijadikan dalih bagi mereka untuk menghormati puasa
nya umat muslim, ini kurang tepat. Karena masalah tersebut adalah urusan si
individu dengan Tuhannya dan tidak semestinya diatur-atur oleh orang lain. Ini
juga tidak masuk akal karena banyak orang-orang non-muslim yang merantau ke
daerah-daerah yang penduduknya mayoritas muslim sehingga mereka akan kesulitan
untuk menemukan dagang makanan terutama bagi mereka dengan keuangan yang pas-pasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar