![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9Vu2koHb8cqzVzGjOWUB5UE0E9lX8zTFFCw6BeZq8vM0ArKBbzRyF9ukpjw0vdlzeniwi_uyFQsVJfK15fFsh0gmF-f3TXkmfN07Em5PQlNZcCeuIqbDEgC8yTKcQjD3HpVCdb8Ti1Vo/s1600/unduhan.jpg)
Pendahuluan
Ilmu politik telah mengalami perkembangan yang menarik sebagai
sebuah disiplin ilmu. Perkembangan tersebut diwarnai oleh adanya perdebatan di
antara para ilmuwan politik yang berbeda pandangan tentang apa yang seharusnya
menjadi obyek utama dalam kajian ilmu politik dan bagaimana cara mempelajari
obyek studi tersebut. Perdebatan itu semakin hebat semenjak dasawarsa
limapuluhan, yaitu setelah sebagian ilmuwan politik menggunakan pendekatan
tingkah laku (behavioral approach) untuk mempelajari kehidupan politik.
Perdebatan yang terjadi di dalam disiplin ilmu politik tersebut
disebabkan oleh adanya perbedaan dalam persepsi tentang persyaratan-persyaratan
bagi sebuah disiplin ilmu. Ilmuwan politik behavioralis beranggapan bahwa ilmu
politik haruslah menggunakan metode-metode keilmuan yang biasa digunakan dalam
ilmu-ilmu alam/ eksakta (seperti pengumpulan data empiris, metode penelitian
yang ketat, pembentukan teori universal). Sebaliknya ilmuwan politik yang lain
(biasa disebut sebagai ilmuwan politik internasional) menganggap bahwa semua
itu tidaklah perlu, karena obyek studi ilmu-ilmu alam berbeda dengan dari
ilmu-ilmu sosial. Kenyataan itu membawa akibat bahwa metode yang telah terbukti
bermanfaat bagi ilmu-ilmu alam belum tentu atau bahkan tidak ada manfaat bagi
ilmu-ilmu sosial. Peniruan itu tidak akan membawa kemajuan bagi ilmu politik
sebagai sebuah disiplin ilmiah, justru yang terjadi adalah pemborosan waktu.
Perdebatan belum mereda saat para ilmuwan politik dikejutkan
oleh munculnya kritik yang keras terhadap pendekatan tingkah laku yang justru
muncul dari salah seorang tokoh pendekatan, David Easton. Ilmu behavioralis
terlalu asyik dengan model-model analisis (yakni metode-metode keilmuan)
sehingga melupakan realita politik dan persoalan-persoalan sosial yang ada.
Meskipun ada kritik tersebut, tidaklah berarti bahwa para ilmuwan politik
behavioralis meninggalkan semua yang telah mereka hasilkan selama dua dasawarsa
(1950-an dan 1960-an). Mereka masih menggunakan model analisis, framework of
analysis, kerangka berpikir, atau apapun namanya yang telah mereka hasilkan.
Yang berubah adalah munculnya kesadaran tentang perlunya keterkaitan yang jelas
antara metode-metode keilmuan yang mereka hasilkan itu dengan peningkatan
pemahaman terhadap masalah-masalah politik yang berkembang pesat dalam
masyarakat. Kritik terhadap pendekatan behavioralis ini memberi kesempatan bagi
munculnya pendekatan alternatif dalam ilmu politik yang bisa disebut dengan
nama umum sebagai pendekatan pasca tingkah laku. Pendekatan ini memberikan
kritik yang tajam terhadap pendekatan tingkah laku. Kritik tersebut menyangkut
hal-hal yang mendasar dari pendekatan tingkah laku, yakni landasan filsafat dan
obyek studi. Pluralisme dan depedensi penguasa politik pada rakyat
dipertanyakan oleh pendekatan baru tersebut karena adanya bukti-bukti empiris
yang ditujukan oleh perkembangan masyarakat. Perkembangan tersebut menuntut
adanya perubahan atau pergantian terhadap landasan filsafat baru.
Objek studi ilmu politik
menurut pendekatan pasca tingkah laku harus digeser dari tingkah laku
aktor-aktor politik ke lembaga politik terpenting di dalam masyarakat yang
disebut negara. Fokus pada tingkah laku individu yang diperkenalkan oleh
pendekatan pasca tingkah laku telah mengabaikan peranan warga karena adanya
anggapan bahwa keinginan dan aspirasi warga masyarakat adalah faktor yang
menentukan keinginan dan aspirasi penguasa politik (negara). Pendekatan pasca
tingkah laku dalam ilmu politik dapat dikelompokkan menjadi pendekatan
kelembagaan, pendekatan perilaku, pendekatan kelompok, pendekatan ekonomi
politik, pendekatan sistem dan pendekatan marxisme. Meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan dalam penekanan, ketiganya mempunyai kesamaan yakni fokus
pada negara dan peranan yang besar yang dimainkannya dalam politik.
Pendekatan Kelembagaan
Kajian pendekatan kelembagaan atau institusional memfokuskan
pada lembaga pemerintah. Kegiatan politik berpusat pada lembaga pemerintah
tertentu seperti kongres, kepresidenan, dsb. Kegiatan individu dan kelompok
diarahkan kepada lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif
ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga pemerintah sangat
erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan
itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Lembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang berbeda
terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada
kebijakan-kebijakan. Kebijakan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang sah
menunutut loyalitas warganegara. Kedua, kebijakan pemerintah membutuhkan
universalitas. Hanya kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum
secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Keunggulan kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut
loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan
yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah
yang mendorong individu-individu dan kelompok-kelompok.
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada
negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan
institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik “pemerintahan
yang baik” atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik
“pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian berkembang lagi
dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda. Namun, pada
dasarnya jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis
institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah
antara “baik” dan “buruk” tadi. Bahasan tradisional dalam pendekatan ini
menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan,
kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan
seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur
legal maupun institusional.
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan
ini, yakni:
® Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan
pemerintah pusat dalam mengatur hukum;
®
Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama
atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan
perilaku seseorang;
® Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh
atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang “bersifat” individu
seperti legislatif;
®
Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam
aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;
®
Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan
analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan
good government.
Akan tetapi mengenai
kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar untuk dilaksanakan dan kurang dapat
berkembang. Sekalipun demikian, pandangan untuk memusatkan perhatian pada
kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih bersifat
fungsional, dan pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari
kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah
satu dari sekian banyak faktor dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan.
Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku
terhadap analisis politik dan sosial berkonsentrasi pada satu pertanyaan
tunggal yakni mengapa orang berkelakuan sebagaimana yang mereka lakukan ? yang
membedakan pendekatan perilaku dengan dengan pendekatan lain adalah bahwa : (a)
perilaku dapat diteliti (observable behaviour) dan (b) penjelasan apapun
tentang perilaku tersebut mudah diuji secara empiris.
Behavioralis telah secara
mendalam menganalisis alasan yang mendasari bentuk utama partisipasi politik
massa di negara demokratis: pengambilan suara. Mereka juga meneliti asal-usul
partisipasi dalam bentuk aktivitas politik lain yang lebih tak biasa, seperti
demonstrasi, pemogokan dan bahkan kerusuhan. Pada tingkat elite, ahli
behavioral telah menganalisis perilaku kepemimpinan, menempatkan perhatian
khusus pada hubungan antara cara pemimpin memandang dunia dan tindakan tertentu
yang mereka ambil. Dalam segi kumpulan sosial, analisis behavioral telah
meneliti tindakan kelompok kepentingan dan partai politik. Pada tingkat
internasional, analisisi behavioral juga telah difokuskan pada tindakan negara
bangsa dan juga pada perilaku aktor non-negara seperti korporasi multinasional,
kelompok teroris internasional dan organisasi supranasional seperti Uni Eropa. Gerakan
behavioral memperoleh posisi penting dalam ilmu sosial tahun 1950-an dan
1960-an. Asal usul filosofinya adalah dalam tulisan Auguste Compte (Compte
1974) di abad ke-19, dan berdasarkan positivisme logis ‘Vienna Circle’ tahun
1920-an.
Namun tidak tepat jika dikatakan bahwa behavioralisme menerima
semua ajaran filosofis positivisme. Hanya pandangan behavioralisme mengenai
sifat teori dan tentang penjelasan sangat dipengaruhi oleh tradisi positivis.
Sebagian besar penganut behavioral mungkin menerima sesuatu dengan alur seperti
berikut :
• Teori empiris adalah satu himpunan pernyataan abstrak yang
saling berhubungan, terdiri dari asumsi, definisi, dan hipotesis yang dapat
diuji secara empiris. Tujuan pokoknya adalah mendeskripsikan dan menjelaskan
kejadian fenomena atau sehimpunan fenomena tertenti.
• Penjelasan adalah ungkapan sebab-akibat tentang kejadian suatu fenomena atau sekumpulan fenomena atau sehimpunan fenomena atau sehimpunan fenomena. Penjelasan tentang suatu (kelas) peristiwa tertentu terdiri atas spesifikasi minimal himpunan anteseden non tautologis bagi syarat perlu dan cukup yang diperlukan untuk terjadinya (peristiwa).
• Penjelasan adalah ungkapan sebab-akibat tentang kejadian suatu fenomena atau sekumpulan fenomena atau sehimpunan fenomena atau sehimpunan fenomena. Penjelasan tentang suatu (kelas) peristiwa tertentu terdiri atas spesifikasi minimal himpunan anteseden non tautologis bagi syarat perlu dan cukup yang diperlukan untuk terjadinya (peristiwa).
Penekanan terhadap
observasi dan pengujian empiris menghasilkan dua ciri karakteristik pendekatan
behavioral terhadap penelitian sosial. Yang pertama adalah komitme
behavioralisme terhadap penggunaan sistematis dari semua bukti empiris yang
relevan, bukan sekedar himpunan terbatas contoh ilustratiif yang mendukung.
Komitmen ini semata berarti bahwa, ketika suatu pernyataan teoritis tertentu
sedang diinvestigasi, peneliti tidak boleh membatasi dirinya untuk hanya
mempertimbangkan kasus-kasus yang diamatinya yang memberikan dukungan
‘anekdotal’ terhadap klaim teoritis yang sedang dibuat.
Ciri kedua analisis
behavioral agak lebih halus implikasinya tapi tidak kurang penting. Hal ini
semata bahwa teori dan penjelasan ilmiah, pada prinsipnya harus mampu
difalsifikasi.
Pendekatan perilaku memiliki beberapa kelebihan seperti berikut :
Pendekatan perilaku memiliki beberapa kelebihan seperti berikut :
1. Riset behavioral
memberikan kontribusi teoritis dan empiris yang sangat besar terhadap pemahaman
dan penjelasan perilaku sosial.
2. Kekuatan analisis
behavioral yang meliputi suatu kombinasi yang teliti antara teorisasi yang
ketat dan pengujian empiris yang sistematis menawarkan metodologi yang maju
tentang cara aktivisme politik dapat dipelajari, dan suatu ulasan substantif
tentang perubahan pola aktivisme.
3. Menganalisis secara
mendalam alasan yang mendasari bentuk utama partisipasi politik massa di negara
demokratis.
Walapun pendekatan ini memiliki banyak kelebihan, namun ia juga
memiliki beberapa kelemahan. Berikut adalah kelemahan dalam pendekatan
behavioral atau perilaku :
1. Pendekatan perilaku telah
membawa efek yang kurang menguntungkan, yakni mendorong para ahli menekuni
masalah-masalah yang kurang penting seperti pemilihan umum (voting studies) dan
riset berdasarkan survey (1960-an).
2. Penganut pendekatan
perilaku kurang memberi perhatian pada perubahan (change) dalam masyarakat.
3. Pendekatan perilaku
terlalu steril, karena menolak untuk memasukkan nilai-nilai dan norma dalam
penelitian.
4. Pendekatan perilaku juga
tidak memiliki relevansi dengan realitas politik dan buta terhadap
masalah-masalah sosial.
Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok dalam studi politik diperkenalkan oleh Arthur Bentley dalam The Process of Government yang terbit pertama kali tahun 1908 dan dikembangkan antara lain oleh David Truman dalam The Government Process. Analisis kelompok ini merupakan reaksi terhadap dua kecenderungan dalam studi politik waktu itu. Yaitu pendekatan institusional dan legalistik tradisional dalam studi politik dan kecendrungan analisis politik yang menekankan segi normatif. Teoritisi kelompok ini mengusulkan pemusatan perhatian pada prilaku politik dan unsur-unsur empirik dalam kehidupan politik. Menurut Benley, bahan dasar bagi studi politik tidak bisa ditemukan dalam kitab undang-undang, konvensi konstitusional, essei, dsb. Tetapi harus ditemukan dalam kenyataan empirik. Pendapat ini selama hampir setengah abad diabaikan orang. Sampai kemudian Truman memanfaatkan dan mengembangkannya dan diikuti oleh teoritisi behavioralis seperti Samuel Eldersveld, Gabriel Almond, Mancur Olson, Joseph LaPalombara, Myron Weiner, dan banyak lagi.
Menurut pendekatan ini, kebijakan publik merupakan hasil perjuangan kelompok. Individu-individu yang memiliki pandangan sama akan bergabung dalam satu kelompok formal atau informal guna menekankan permintaan mereka atas pemerintah.
Individu akan menjadi penting dalam kehidupan politik hanya
apabila tindakan mereka sebagai bagian atas nama atau kepentingan. Kelompok
menjadi jembatan penting antara individu dengan pihak pemerintah. Sistem
politik berfungsi mengelola konflik antara kelompok lain dengan menekankan pada
kompromi dan lain-lain.
Pendekatan kelompok melihat kebijakan publik sebagai suatu
ekuilibrium tercapai melalui perjuangan kelompok. Keseimbangan ini tercapai
melalui pengaruh interest group. Pengaruh kelompok terhadap kebijakan publik
dipengaruhi besarnya jumlah, kesejahteraan, kekuatan organisasi,
kepemimimpinan, akses terhadap, pengambil keputusan, serta kohesi internal.
Perubahan-perubahan pengaruh daripada interest group dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada kebijakan publik. Ia akan bergerak ke arah mereka yang memperoleh pengaruh. Letak titik keseimbangan akan dipengaruhi oleh kekuatan kelompok-kelompok atas fraksi yang berjuang mendapatkan tujuannya.
Perubahan-perubahan pengaruh daripada interest group dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada kebijakan publik. Ia akan bergerak ke arah mereka yang memperoleh pengaruh. Letak titik keseimbangan akan dipengaruhi oleh kekuatan kelompok-kelompok atas fraksi yang berjuang mendapatkan tujuannya.
Para pembuat keputusan dipandang secara konstan akan
memperhatikan kelompok penekan dengan cara melakukan bargaining, negosiasi,
kompromi di antara permintaan kelompok-kelompok yang berpengaruh. Pendekatan
kelompok ini perlu memperhatikan ide dari kelompok yang berpengaruh.
Pendekatan Ekonomi Politik.
Martin Staniland (1985) mengatakan ekonomi dan politik menjelaskan interaksi
sistematis antara aspek ekonomi dan aspek politik. Hubungan interaksi itu bisa
dinyatakan dalam banyak cara baik itu dalam hubungan kualitas antara satu
proses determinis atau hubungan yang bersifat timbal-balik atau suatu proses
prilaku yang berlangsung terus menerus.
Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Welth of Nation
mengatakan ekonomi politik merupakan cabang ilmu yang memiliki dua tujuan
berbeda yaitu :
- Menciptakan sumber pendapatan bagi masyarakat atau swasembada
bagi masyarakat, atau membantu masyarakat mencari pendapatan bagi mereka.
- Menyediakan sejumlah daya bagi masyarakat negara atau pemerintah
agar mereka mampu menjalankan fungsi dengan baik.
New Pelgrave Dictionary of Economic (1987) mengatakan ekonomi
politik adalah perpaduan dua seni, yakni pengelolaan perekonomian pada umunya
dan seni pengaturan pemerintahan.
Istilah ekonomi politik
pertama kali digunakan penulis berkebangsaan Perancis, Montchreiten dalam
bukunya “Trate de Economic Politique” (1966), James Stuart Mill dalam bukunya
“Inquiry Into The Priciples of Political Economics”, Fredery Skarbek (1959)
menggunakan istilah yang sama. Dari kenyataan itu, sesungguhnya istilah ekonomi
politik merupakan suatu istilah yang sangat populer pada abad XVIII. Akan
tetapi setelah Afred Marshall (1890) mengeluarkan buku “Priciples of Economic”,
maka istilah ekonomi politik mulai dipisahkan. Ekonomi lebih menitik beratkan
pada uraian-uraian ekonomi yang lebih sistematik kualitatif dan politik semakin
menjauhkan diri dari uraian tentang ekonomi. Dalam perkembangan
berikutnya, terutama setelah diterbitkannya buku “Politics, Economics dan
Welfare” (1953) karya Robert Dahl dan Charles Lindblom usaha untuk memahami
keterkaitan antara politik dan ekonomi yang saling berinteraksi semakin
menonjol.
Ada beberapa pemikiran yang dapat disimpulkan dari buku itu :
- Ada perbedaan antara ekonomi konvensional dengan ekonomi politik
terutama berkaitan dengan ekonomi politik terutama berkaitan dengan interaksi
antara ekonomi politik di zaman modern saat itu.
- Ada perbedaan antara ekonomi politik klasik dengan dinamika
hubungan antara pasar dengan kebijakan pemerintah serta masyarakat yang terkena
dampak dari hubungan itu.
- Ekonomi politik dalam menganalisis berbagai masalah selain
menggunakan pendekatan kualitas juga memakai teori-teori atau analisis ilmu sosial
lain.
- Ekonomi politik digunakan pula untuk membahas masalah sosial
lain sepanjang adanya kaitan perekonomian.
- Ekonomi politik modern banyak membahas ketidakadilan berkenaan
dengan pemerataan pendapatan, kemiskinan pertumbuhan dan struktur lainnya baik
dalam sistem ekonomi nasional maupun ekonomi internasional.
Beberapa keuntungan dalam sistem ekonomi-politik :
1. Tidak terikat pada lembaga
atau praturan politik khusus.
2. Keuntungan untuk analisis
komparasi pembentukan kebijakan.
3. Menciptakan kestabilan ekonomi politik
sehingga dapat menghasilkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
Namun kelebihan ini mempunyai kelemahan. Penekanan pada kategori
fungsional akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan
dan pengaruh variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Artinya pembentukan kebijakan lebih dari sekedar proses intelektual. Selain itu
apabila mengarah ke suatu kondisi krisis ekonomi, pendekatan sistem yang
transparan akan menyebabkan dampak negatif yang luar biasa terhadap
perekonomian suatu negara.
Pendekatan Sistem
Pedekatan ini menggunakan model sistem politik yang dikemukakan oleh David Easton. Dalam hal ini kebijakan publik dipandang sebagai tanggapan dari sistem politik atas permintaan ataupun dorongan lingkungan. Sistem politik yang dimaksudkan di sini adalah jaringan institusi dan kegiatan dalam masyarakat yang dapat menciptakan suatu keputusan atau alokasi-alokasi otoritatif. Kekuatan-kekuatan yang timbul dalam lingkungan dapat mempengaruhi sistem politik disebut sebagai input yang terdiri dari demand dan support dengan fungsi pada sistem untuk mentransformasi input tersebut menjadi output.
Pendekatan ini mudah sekali diterapkan dalam analisa politik
luarnegeri. Konsep ini bisa menggambarkan bagaimana proses pembuatan keputusan
berlangsung dengan cara memandang orang yang secara bersama-sama terlibat dalam
proses politik luar negeri sebagai membentuk suatu sistem. Yang dianggap paling
tepat untuk menggambarkan politik luar negeri adalah analisis “input-output”.
Konsep-konsep yang diterapkan antara lain sebagai berikut : Input adalah
pemasukan informasi atau sumber daya ke dalam sistem. Memory terdiri dari
fasilitas dan proses menyimpan dan memanggil kembali informasi. Keputusan
adalah komitmen, berdasar analisis tentang informasi yang ada dan kemampuan
yang dipunyai, untuk melakukan tindakan terhadap lingkungan. Output adalah
tindakan suatu sistem. Tujuan adalah apa saja yang dimaksud akan dikejar
melalui tindakan itu. Terakhir feedback adalah informasi baru tentang akibat
dari tindakan yang telah dilakukan, yaitu yang menjadi dasar bagi sistem itu
untuk memulai siklus itu kembali.
Analisis bisa memakainya untuk membedakan suatu sistem dari
lingkungannya dan dalam hal negara-bangsa batas itu jelas. Dalam proses politik
luar negeri, input itu bisa diukur, misalnya angka anggaran belanja, statistik
angkatan bersenjata, suara dalam pemilihan umum dan data-data lain. Input ini
bisa juga berwujud berita tentang apa yang terjadi di dunia melalui ratusan
telegram, telex, faximile yang masuk ke departemen luar negeri setiap harinya
dari berbagai perwakilan atau pejabat intelejennya di seluruh dunia atau
melalui pembicaraan langsung presiden dengan para duta besarnya di luar negeri.
Dalam pengertian ini, sebenarnya kedutaan besar berfungsi sebagai kuping bagi
pemerintahnya. Konsep-konsep lain dalam pendekatan sistem juga bisa diterapkan
disini, misalnya, suatu bangsa juga mempunyai “memory” dalam bentuk buku
sejarah, arsip, kebudayaan, tradisi, ingatan pribadi pemimpinnya. Output dari
politik luar negeri juga bermacam-macam, mulai dari diplomatik hingga perang.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa ketika berpikir dalam
kerangka konsep ini dengan mudah melihat titik lemah dalam pembuatan keputusan
politik luar negeri. Analisis input-output sering juga menerapkan teori
komunikasi dan sibernetika, yang menekankan bahwa pemerintah dalam berhubungan
internasional merupakan jaringan komunikasi, karena itu analisis mengumpulkan
informasi tentang dan meneliti secara seksama arus komunikasi yang berkaitan
dengan suatu sistem.
Penerapan pendekatan sistem dalam hal pembuatan keputusan dalam suatu sistem merupakan tahap yang sangat penting. Seorang pembuat keputusan menilai situasi yang dihadapi dan menggabungkan penilaian itu dengan gambaran tentang kemampuan yang dipunyai. Berdasarkan itu kemudian ia memilih diantara altenatif –alternatif tindakan yang mungkin utnuk dilakukan. Memilih salah satu dari pilihan-pilihan itu adalah tindakan pengambilan keputusan. Sejak berabad-abad analisis politik tertarik dengan masalah pembuatan keputusan. Yang baru adalah upaya melakukannya secara sistematik, yaitu menemukan unsur-unsur konstan dalam pembuatan sebagai suatu proses.
Keuntungan yang diperoleh apabila pendekatan sistem ini dilaksanakan antara lain :
Penerapan pendekatan sistem dalam hal pembuatan keputusan dalam suatu sistem merupakan tahap yang sangat penting. Seorang pembuat keputusan menilai situasi yang dihadapi dan menggabungkan penilaian itu dengan gambaran tentang kemampuan yang dipunyai. Berdasarkan itu kemudian ia memilih diantara altenatif –alternatif tindakan yang mungkin utnuk dilakukan. Memilih salah satu dari pilihan-pilihan itu adalah tindakan pengambilan keputusan. Sejak berabad-abad analisis politik tertarik dengan masalah pembuatan keputusan. Yang baru adalah upaya melakukannya secara sistematik, yaitu menemukan unsur-unsur konstan dalam pembuatan sebagai suatu proses.
Keuntungan yang diperoleh apabila pendekatan sistem ini dilaksanakan antara lain :
1. Jenis dan jumlah input
dapat diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan sehingga penghamburan sumber,
tata cara dan kesanggupan yang sifatnya terbatas akan dapat dihindari.
2. Proses yang dilaksanakan dapat diarahkan untuk
mencapai output sehingga dapat dihindari pelaksanaan kegiatan yang tidak
diperlukan.
3. Output yang dihasilkan
dapat lebih optimal serta dapat diukur secara lebih cepat dan objektif.
4. Umpan balik dapat
diperoleh pada setiap tahap pelaksanaan program.
Sekalipun banyak kelebihan dari pendekatan sistem ini, bukan
berarti pendekatan ini tidak memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang
paling penting adalah dapat terjebak dalam perhitungan rinci, sehingga
meyulitkan pengambilan keputusan dan dengan demikian masalah yang dihadapi
tidak dapat diselesaikan.
Pendekatan Marxis
Pendekatan marxis diwarnai oleh pemikiran-pemikiran Karl Marx
yang sudah amat terkenal itu. Kebangkitan pemikiran Marx di kalangan ilmuwan
sosial Amerika Serikat pada dasawarsa 1960-an dianggap oleh Easton sebagai
kebangkitan yang ketiga kalinya. Yang pertama terjadi pada masa Karl Marx masih
hidup, kedua pada dasawarsa 1930-an dan 1940-an, dan ketiga pada masa dasawarsa
1960-an. Kebangkitan itu ditandai dengan banyaknya pola pikir Marx untuk
menganalisis masyarakat. Sejalan dengan popularitas pola pikir marxis tersebut,
di kalangan ilmuwan politik Amerika sering terjadi peningkatan peranan ilmuwan
yang beraliran Marxis.
Kelompok marxis memberikan kritik yang tajam terhadap penggunaan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu politik. Obyektivitas ilmu politik dan value neutrality tidak bisa mereka terima. Bagi mereka semua istilah tersebut digunakan oleh kaum behavioralis untuk menutupi perkembangan ilmu politik yang semakin bersifat ideologis dan non-obyektif. Pemikiran-pemikiran kaum marxis tentang negara dan peranannya lebih banyak dibahas oleh ilmuwan sosial yang beraliran marxis. Para ilmuwan politik beraliran marxis lebih banyak terlibat politicking dalam organisasi mereka sehingga tidak sempat merumuskan paradigma alternatif bagi ilmu politik.
Kelompok marxis memberikan kritik yang tajam terhadap penggunaan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu politik. Obyektivitas ilmu politik dan value neutrality tidak bisa mereka terima. Bagi mereka semua istilah tersebut digunakan oleh kaum behavioralis untuk menutupi perkembangan ilmu politik yang semakin bersifat ideologis dan non-obyektif. Pemikiran-pemikiran kaum marxis tentang negara dan peranannya lebih banyak dibahas oleh ilmuwan sosial yang beraliran marxis. Para ilmuwan politik beraliran marxis lebih banyak terlibat politicking dalam organisasi mereka sehingga tidak sempat merumuskan paradigma alternatif bagi ilmu politik.
Marxisme Klasik
Inti dari marxisme didasarkan pada satu ontologis fondasionalis
dan epistemologis realis. Bagi Marx, ada proses dan struktur esensial yang
membentuk atau meyebabkan keberadaan sosial kontemporer. Oleh karenanya, adalah
tugas para ilmuwan sosial untuk membongkar proses dan struktur esensial ini.
Namun, proses dan struktur itu mungkin tidak bisa diamati secara langsung. Oleh
karena itu, hubungan sebab akibat yang sejati seringkali berada di bawah
tampilan permukaan.
Ada empat ‘isme’ terkait yang biasanya dihubungkan dengan Marxisme Klasik: ekonomisme, determinisme, matrealisme dan struturalisme. Marxisme adalah bersifat ekonomi dalam segi ia mengistimewakan relasi ekonomi, dan determinis dalam segi ia menyatakan bahwa relasi ekonomi menentukan relasi sosial dan politik. Ia melihat ekonomi sebagai hal yang tak dapat dielakkan, sehingga institusi politik, hukum, sistem kepercayaan dan bahkan bentuk-bentuk keluarga menyesuaikan diri dengan tuntutan dasar sistem ekonomi. Jadi, ekonomi menentukan atau mnyebabkan bagaimana sistem sosial lainnya berfungsi dan berkembang.
Marxisme Kontemporer
Ada empat ‘isme’ terkait yang biasanya dihubungkan dengan Marxisme Klasik: ekonomisme, determinisme, matrealisme dan struturalisme. Marxisme adalah bersifat ekonomi dalam segi ia mengistimewakan relasi ekonomi, dan determinis dalam segi ia menyatakan bahwa relasi ekonomi menentukan relasi sosial dan politik. Ia melihat ekonomi sebagai hal yang tak dapat dielakkan, sehingga institusi politik, hukum, sistem kepercayaan dan bahkan bentuk-bentuk keluarga menyesuaikan diri dengan tuntutan dasar sistem ekonomi. Jadi, ekonomi menentukan atau mnyebabkan bagaimana sistem sosial lainnya berfungsi dan berkembang.
Marxisme Kontemporer
Marxisme adalah suatu tradisi teoritis yang masih hidup.
Marxisme juga adalah suatu tradisi yang kaya dan telah mengalami perubahan
substansial seperti ketika berjuang melawan menolak ekonomisme, determinisme,
matrealisme dan strukturalisme. Terlepas dari keanekaragaman yang ada dalam
marxis modern, kebanyakan kaum marxis modern memakai pendapat epistemologi
realis kritis yang berbeda dari yang ditemukan dalam Maxisme Klasik, dan jelas
dipengaruhi oleh kritik kaum interpretis.
Pada saat bersamaan, ketika Marxisme modern dicirikan dengan keanekaragaman, sebagian besar diantaranya : menolak ekonomisme, menolak determinasi, menekankan kontingensi, menolak materialisme, mengakui peranan independen bagi gagasan, menolak strukturalisme, menerima peran kunci bagi agen, tidak lagi mengistimewakan kelas, mengakui peran penting dasar-dasar lain ketimpangan terstruktur, dan pada taraf tertentu, mengistimewakan politik. Semua perkembangan ini bisa diilustrasikan dengan pembahasan singkat tentang perubahan dalam teori negara Marxis.
Beberapa orang berpendapat bahwa, keanekaragaman dalam pendekatan Marxisme adalah suatu kelemahan. Namun sebenarnya, ini cenderung sebagai suatu kekuatan. Marxisme telah mengembangkan fleksibilitas yang besar dalam menjawab pengkritiknya maupun perubahan yang telah terjadi dalam dunia nyata.
Pada saat bersamaan, ketika Marxisme modern dicirikan dengan keanekaragaman, sebagian besar diantaranya : menolak ekonomisme, menolak determinasi, menekankan kontingensi, menolak materialisme, mengakui peranan independen bagi gagasan, menolak strukturalisme, menerima peran kunci bagi agen, tidak lagi mengistimewakan kelas, mengakui peran penting dasar-dasar lain ketimpangan terstruktur, dan pada taraf tertentu, mengistimewakan politik. Semua perkembangan ini bisa diilustrasikan dengan pembahasan singkat tentang perubahan dalam teori negara Marxis.
Beberapa orang berpendapat bahwa, keanekaragaman dalam pendekatan Marxisme adalah suatu kelemahan. Namun sebenarnya, ini cenderung sebagai suatu kekuatan. Marxisme telah mengembangkan fleksibilitas yang besar dalam menjawab pengkritiknya maupun perubahan yang telah terjadi dalam dunia nyata.
Selain dikritik karena tradisi dan keanekaragamannya, Marxis juga memiliki beberapa kelemahan lain. Beberapa kelemahan tersebut adalah :
· Rumusan ekonomistik dalam pendekatan Marx telah terbukti tidak
mampu menjelaskan perkembangan ekonomi, sosial dan politik.
· Adanya ketimpangan terstruktur
· Mengandung kontradiksi yang signifikan
Meskipun mendapatkan
banyak kritikan, pendekatan Marxisme juga memiliki keuntungan. Pendekatan
Marxisme berbeda dengan pendekatan lain yang lebih mainstream seperti
pluralisme, yang berfokus pada hambatan struktural, jadi menawarkan wawasan
yang lebih menarik ke dalam penjelasan operasi kapitalisme kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar