Selasa, 20 November 2012

PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK




Pendahuluan

 

Ilmu politik telah mengalami perkembangan yang menarik sebagai sebuah disiplin ilmu. Perkembangan tersebut diwarnai oleh adanya perdebatan di antara para ilmuwan politik yang berbeda pandangan tentang apa yang seharusnya menjadi obyek utama dalam kajian ilmu politik dan bagaimana cara mempelajari obyek studi tersebut. Perdebatan itu semakin hebat semenjak dasawarsa limapuluhan, yaitu setelah sebagian ilmuwan politik menggunakan pendekatan tingkah laku (behavioral approach) untuk mempelajari kehidupan politik.
Perdebatan yang terjadi di dalam disiplin ilmu politik tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam persepsi tentang persyaratan-persyaratan bagi sebuah disiplin ilmu. Ilmuwan politik behavioralis beranggapan bahwa ilmu politik haruslah menggunakan metode-metode keilmuan yang biasa digunakan dalam ilmu-ilmu alam/ eksakta (seperti pengumpulan data empiris, metode penelitian yang ketat, pembentukan teori universal). Sebaliknya ilmuwan politik yang lain (biasa disebut sebagai ilmuwan politik internasional) menganggap bahwa semua itu tidaklah perlu, karena obyek studi ilmu-ilmu alam berbeda dengan dari ilmu-ilmu sosial. Kenyataan itu membawa akibat bahwa metode yang telah terbukti bermanfaat bagi ilmu-ilmu alam belum tentu atau bahkan tidak ada manfaat bagi ilmu-ilmu sosial. Peniruan itu tidak akan membawa kemajuan bagi ilmu politik sebagai sebuah disiplin ilmiah, justru yang terjadi adalah pemborosan waktu.
Perdebatan belum mereda saat para ilmuwan politik dikejutkan oleh munculnya kritik yang keras terhadap pendekatan tingkah laku yang justru muncul dari salah seorang tokoh pendekatan, David Easton. Ilmu behavioralis terlalu asyik dengan model-model analisis (yakni metode-metode keilmuan) sehingga melupakan realita politik dan persoalan-persoalan sosial yang ada. Meskipun ada kritik tersebut, tidaklah berarti bahwa para ilmuwan politik behavioralis meninggalkan semua yang telah mereka hasilkan selama dua dasawarsa (1950-an dan 1960-an). Mereka masih menggunakan model analisis, framework of analysis, kerangka berpikir, atau apapun namanya yang telah mereka hasilkan. Yang berubah adalah munculnya kesadaran tentang perlunya keterkaitan yang jelas antara metode-metode keilmuan yang mereka hasilkan itu dengan peningkatan pemahaman terhadap masalah-masalah politik yang berkembang pesat dalam masyarakat. Kritik terhadap pendekatan behavioralis ini memberi kesempatan bagi munculnya pendekatan alternatif dalam ilmu politik yang bisa disebut dengan nama umum sebagai pendekatan pasca tingkah laku. Pendekatan ini memberikan kritik yang tajam terhadap pendekatan tingkah laku. Kritik tersebut menyangkut hal-hal yang mendasar dari pendekatan tingkah laku, yakni landasan filsafat dan obyek studi. Pluralisme dan depedensi penguasa politik pada rakyat dipertanyakan oleh pendekatan baru tersebut karena adanya bukti-bukti empiris yang ditujukan oleh perkembangan masyarakat. Perkembangan tersebut menuntut adanya perubahan atau pergantian terhadap landasan filsafat baru.
Objek studi ilmu politik menurut pendekatan pasca tingkah laku harus digeser dari tingkah laku aktor-aktor politik ke lembaga politik terpenting di dalam masyarakat yang disebut negara. Fokus pada tingkah laku individu yang diperkenalkan oleh pendekatan pasca tingkah laku telah mengabaikan peranan warga karena adanya anggapan bahwa keinginan dan aspirasi warga masyarakat adalah faktor yang menentukan keinginan dan aspirasi penguasa politik (negara). Pendekatan pasca tingkah laku dalam ilmu politik dapat dikelompokkan menjadi pendekatan kelembagaan, pendekatan perilaku, pendekatan kelompok, pendekatan ekonomi politik, pendekatan sistem dan pendekatan marxisme. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam penekanan, ketiganya mempunyai kesamaan yakni fokus pada negara dan peranan yang besar yang dimainkannya dalam politik.
Pendekatan Kelembagaan
Kajian pendekatan kelembagaan atau institusional memfokuskan pada lembaga pemerintah. Kegiatan politik berpusat pada lembaga pemerintah tertentu seperti kongres, kepresidenan, dsb. Kegiatan individu dan kelompok diarahkan kepada lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga pemerintah sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Lembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan. Kebijakan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang sah menunutut loyalitas warganegara. Kedua, kebijakan pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok-kelompok.
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik “pemerintahan yang baik” atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik “pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah antara “baik” dan “buruk” tadi. Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional.
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:
®   Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum;
®    Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang;
®   Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang “bersifat” individu seperti legislatif;
®    Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;
®    Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.
Akan tetapi mengenai kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar untuk dilaksanakan dan kurang dapat berkembang. Sekalipun demikian, pandangan untuk memusatkan perhatian pada kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih bersifat fungsional, dan pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian banyak faktor dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan.
Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku terhadap analisis politik dan sosial berkonsentrasi pada satu pertanyaan tunggal yakni mengapa orang berkelakuan sebagaimana yang mereka lakukan ? yang membedakan pendekatan perilaku dengan dengan pendekatan lain adalah bahwa : (a) perilaku dapat diteliti (observable behaviour) dan (b) penjelasan apapun tentang perilaku tersebut mudah diuji secara empiris.

Perubahan Atau Stagnasi: Telaah Karya Susilo Bambang Yudhoyono Dalam “Menuju Indonesia Baru”


Pendahuluan
Mungkin para pembaca akan bertanya-tanya mengapa penulis mengangkat dan mempunyai nyali yang besar untuk membedah sebuah karya yang bukan sembarangan karena di karang sendiri oleh seorang Presiden yang memimpin Indonesia selama dua periode yakni 2004-2009 dan 2009-2014 yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Penulis sadar bahwa sesungguhnya penulis bukanlah siapa-siapa apalagi mempunyai pendidikan yang mumpuni untuk membedah karya yang cukup “berat” ini tapi penulis ingin menjadi sosok yang lebih berguna karena hidup terlalu sayang untuk di sia-siakan sehingga hidup haruslah pernah melakukan suatu manuver yang “nyeleneh” untuk dinikmati termasuk menelaah karya seorang pemimpin negeri ini.
Seperti diketahui bahwa Indonesia telah berganti presiden selama enam kali diantaranya yaitu Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Abdulrahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Diantara ke semua Presiden tersebut, hanya SBY yang naik ke tampuk kekuasaan (eksekutif) melalui pemilu yang langsung dipilih oleh rakyat (tanpa lobi-lobi partai politik di parlemen seperti pemimpin yang mendahuluinya). Beliau naik pada periode tahun 2004 sebagai Presiden berpasangan dengan Wakilnya Jusuf Kalla yang berasal dari elite GOLKAR (Golongan Karya) dan hal yang mengejutkan bahwa partai yang dipimpinnya dan baru dibentuknya yaitu Partai Demokrat melesat dalam perolehan suara dan bisa mensejajarkan diri dengan partai-partai besar seperti GOLKAR, PDI-P, PPP.
SBY yang kelihatannya santun dan bersahaja namun berasal dari kalangan militer, sehingga rakyat sangat berharap kepadanya untuk merubah Indonesia ke arah yang lebih baik daripada periode sebelumnya apalagi “bayi reformasi” baru dilahirkan oleh para mahasiswa yang sebelumnya menumbangkan kekuasaan orde baru yang dipimpin Soeharto dan pemerintahan transisi hanya berkutat pada lobi-lobi atau deal-deal politik di parlemen sehingga reformasi itu secara keseluruhan baru terjadi pada 2004 ketika untuk pertama kalinya rakyat diberikan hak untuk memilih secara langsung calon presidennya lewat PEMILU yang JURDIL dan mirip seperti pemilu pertama di Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1955.
Kesadaran Baru: Konsep “Usang” Yang Diadopsi Kembali
Beliau menyorot mengenai adanya “krisis” yang berkepanjangan dimana mendorong pecahnya reformasi pada tahun 1998 untuk menurunkan Soeharto sebagai presiden Indonesia selama 32 tahun. Indonesia yang terkenal dengan politiknya yang stabil dan dinamis yang justru menunjang keberhasilan pembangunan ekonomi, tiba-tiba mengalami konflik dan perpecahan sosial baik dari agama, suku, ras dan golongan. Sehingga perlunya kesadaran baru ke depan untuk membangun bangsa ke arah yang lebih baik dengan menekankan lima cara yaitu:
  • Berhenti berpikir, berbicara, dan bertindak emosional, namun harus berpikir dan bertindak rasional;
  • Berhenti hanya berorientasi kepada kepentingan perorangan dan golongan semata, namun kembali mengutamakan kepentingan sosial dan nasional;
  • Berhenti hanya berpikir untuk menjebol dan membongkar semata, sebaliknya berpikir untuk mendirikan dan membangunnya kembali;
  • Berhenti berpikir sempit hanya melihat jangka pendek namun hendaknya berpikir secara luas, komprehensif dan untuk jangka panjang;
  • Berhenti bermimpi dan berangan-angan, namun mulai berbuat dan bekerja keras.

Senin, 12 November 2012

GOVERNANCE DAN ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK


SOAL.
1.      Sejarah perkembangan munculnya konsep governance ! Analisislah secara kritis, factor-faktor penyebab munculnya dan berkembangnya konsep governance tersebut? Pihak mana yang diuntungkan dan mana yang dirugikan? Bagaimana dengan implementasi governance tersebut dalam konteks di Indonesia? Apa pendapat Anda tentang Implementasi Konsep governance?
2.      Ambil salah satu contoh kasus kebijakan yang diambil Pemerintah (bisa pusat maupun daerah) Buatlah policy paper terhadap contoh kasus yang anda pilih!
Jawab:
1.    Sejarah perkembangan munculnya konsep governance sebagai turunan dari pelaksanaan demokrasi. Istilah Governance didefinisikan sebagai: ‘act, manner, fact, or function of governing; sway, control’.…“Governance’ berasal dari kata ‘govern’, yang menurut kamus memiliki 8 arti. Definisi yang paling populer adalah: ‘rule with authority, conduct the policy, actions, and affairs (of State, subjects) either despotically or constitutionally; regulate proceedings of (corporation,etc.)’. Governance terkait denga siapa yang memutuskan apa, siapa yang mempengaruhi siapa, bagaimana pengaruh tersebut dilaksanakan dan bagaimana pembuat keputusan melaksanakannya secara akuntabel. Governance juga terkait dengan legitimasi, kewenangan untuk membuat keputusan kepada orang lain dan untuk menanggung resiko.
Governance” atau tata kelola pemerintahan adalah sebuah konsep yang sangat dikembangkan sudah muncul sekitar tahun 1960-an ditandai dengan keyakinan umum bahwa pemerintah mampu mengendalikan, merencanakan, dan mengimplementasikan kebijakan maupun perencanaan publik. Tahun 1970-an muncul adanya keengganan untuk membuat perencanaan public, pada tahun 1980-an, penekanan pada batas dan keterbatasan pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan perekonomian karena semakin kompleksnya permasalahan. Dan Tahun 1990-an mencatat era paradigma baru muncul perhatian pada self governance sector publik (Kickert, 1993). Tata kelola pemerintahan berhadapan dengan permasalahan yang bersifat mekanis, yaitu adanya beraneka ragam ketertarikan masyarakat, dan terus meningkat sebagai sebuah proses mekanisme dan proses perancangan untuk mengelola system tersebut untuk memberi wewenang pada masyarakat dan menjamin bahwa masyarakatlah yang mempunyai proses tersebut.
Analisis secara kritis, factor-faktor penyebab muncul dan berkembangnya konsep Governance.
Fokus analisis governance adalah perdebatan mengenai kerterbasan pengendalian oleh pemerintah. Governance terdiri atas, pertama, negara, yang dijabarkan dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif serta militer. Kedua, masyarakat sipil, terdiri atas LSM, ormas, media massa, asosiasi berdasarkan profesionalitas, kelompok-kelompok agama dll. Dan ketiga, pasar ekonomi. Ketiga pelaku governance saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Konsep governance sejak tahun 1991 dipromosikan oleh beberapa agensi multilateral dan bilateral seperti JICA, OECD, GTZ (Keban ; 2000, 52). Mereka memberikan tekanan pada beberapa indikator, antara lain : (1) demokrasi, desentralisasi dan peningkatan kemampuan pemerintah; (2) hormat terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku; (3) partisipasi rakyat; (4) efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik; (5) pengurangan anggaran militer; dan (6) tata ekonomi yang berorientasi pasar. OECD dan World Bank (LAN; 2000, 6) mensinonimkan governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.
Pihak yang diuntungkan dan yang dirugikan.

Sabtu, 10 November 2012

PENGUKURAN KINERJA (Key Performance Indicator) DOSEN/TENAGA PENGAJAR


1.     PENDAHULUAN

Dosen/Tenaga Pengajar sering dikaitkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam kesehariannya digambarkan melalui lagunya Bang Iwan Fals yang berjudul “Umar Bakri”. Makna yang tersirat dapat digambarkan bahwa kehidupan kesehariannya serba pas (cukup?) secara ekonomi.
Sisi lainnya menunjukkan bahwa tugas yang diemban oleh seorang dosen/tenaga pengajar boleh dibilang sangat berat karena mengemban tugas multi dimensi. Salah satunya adalah mendidik mahasiswa/murid agar dapat diterima sebagai seorang individu dalam lingkungan masyarakat/sosial.. Dari segi regulasi pemerintah di bidang pendidikan mempersyaratkan bahwa seorang dosen harus bergelar minimum Master  (S2/SP1) yang sudah tentu membutuhkan biaya tambahan untuk melakukan studi lanjut. Lebih jauh lagi, adanya pandangan sosial yang lebih menghargai “pengelompokkan kualitas PT” dan mengarahkan penghargaan kualitas dosen/tenaga pengajar ditinjau dari lululsan perguruan tingginya (bergengsi ataupun lulusan sekolah di luar negeri). Kesimpangsiuran akan fungsi, tugas, dan tanggungjawab seorang dosen/tenaga pengajar seringkali terjadi. Semua fihak terkait pendidikan di negeri ini merasa dapat memberikan definisi, walupun terkadang definisi tersebut menyimpang dari skema pendidikan nasional yang jauh-jauh hari telah dirumuskan. Bahkan beberapa definisi telah diciptakan oleh dosen/tenaga pengajar yang bersangkutan, dan tak jarang bertentangan dengan regulasi nasional yang dewasa ini mulai disebarluaskan (skematik pendidikan kita untuk mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2020). Melalui tulisan ini, penulis mencoba memaparkan suatu metodologi pendekatan untuk memberi gambaran bahwa tugas dosen/tenaga pengajar tidak mudah ditinjau dari aktivitas sehari-hari, dan juga tidak susah ditinjau dari pandangan jangka panjang berupa suatu amalan yang akan mengalir secara terus-menerus (dengan suatu persyaratan bahwa ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat). Selain itu, akan dikembangkan suatu pola pikir bahwa dosen/tenaga pengajar merupakan jabatan fungsional yang secara professional harus diukur juga kinerjanya, dan dalam istilah umum dikenal melalui “key performance indicator measuring”. Untuk melakukan hal tersebut maka diperlukan suatu model standard yang berlaku secara global untuk mengukur KPI dosen/tenaga pengajar berdasarkan siklus tertutup pengamalan Tridarma Perguruan Tinggi.
2.     SIKLUS TERTUTUP PENGAMALAN TRIDARMA PERGURUAN TINGGI

Secara garis besar rangkaian aktivitas tridarma perguruan tinggi merupakan siklus tertutup, yang terdiri atasmasukan, pemrosesan, dan luaran, yang ditunjang dengan beberapa prosedur dan beberapa variabel pengendali. Siklus tersebut akan dilalui oleh semua lembaga maupun institusi pendidikan, dan akan berkelanjutan sampai kapanpun. Seiring dengan berubahnya perkembangan jaman maupun cakupan keilmuan, maka diharapkan bahwa siklus tersebut dapat bergulir ke arah perbaikan berkelanjutan (PDCA) untuk  mengantisipasi perubahan yang ada. Beberapa penyesuaian terhadap pola siklus kemungkinan besar harus ditempuh, yang bertujuan untuk mengoreksi atau meluruskan arah yang telah dilakukan berdasarkan tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Beberapa institusi / lembaga pendidikan perlu menerapkan beberapa standardisasi yang berlaku di bidang pendidikan maupun sistem dokumentasi, semisal: Akreditasi BAN-PT, ISO 9001:2008, SNP, SPMI, dan lain-lainnya. Penerapan tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan / luaran dari pengamalan Tridarma Perguruan Tinggi secara serempak dan seragam.
2.1.      LUARAN/OUTPUT
Penerapan pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi diawali dari luaran yang akan dihasilkan.. Umumnya diawali dengan penetapan visi, misi, tujuan institusi/lembaga pendidikan. Yang kemudian diturunkan ke satuan pendidikan terkecil semisal program studi. Dari sisi penerapan sistem manajemen mutu, penetapan tersebut dapat berupa sasaran mutu, kebijakan mutu, dan beberapa persyaratan prosedur wajib berdasarkan standardisasi yang diterapkan. Beberapa institusi (pelaksana) pendidikan harus berani merumuskan luaran yang diturunkan secara hierarki berdasarkan penerapan siklus tertutup pada pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi. Luaran tersebut diharapkan dapat mempertimbangkan beberapa aspek berikut:
Tujuan pendidikan nasional:
Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Tujuan pendidikan institusi:
·         Keterserapan lulusan mahasiswa oleh dunia usaha dan industri.
·         Waktu tunggu lulusan untuk mendapatkan pekerjaan
·         Jumlah lulusan yang berhasil membuka lapangan pekerjaan / menjalankan usaha melalui kegiatan wirausaha.
·     Pencapaian kegiatan pembelajaran yang memperhatikan norma Lingkungan, Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
·         Penjacapaian jumlah dosen yang melakukan aktivitas penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
·         Dan masih banyak lagi turunan lainnya.

Tujuan pembelajaran
  1. Rata-rata indeks prestasi mahasiswa yang memenuhi tuntutan secara global.
  2. Ketercapaian kompetensi mahasiswa yang sesuai dengan tuntutan pengguna jasa lulusan.
  3. Kesesuaian materi pembelajaran, setiap dosen melakukan proses pengajaran sesuai dengan kurikulum dan silabus pembelajaran yang dituangkan dalam perangkat rencana pengajaran.
  4. Terpenuhinya jumlah jam pembelajaran aktual yang sesuai dengan jumlah jam pembelajaran yang direncanakan.
  5. Rekonstruksi materi ajar untuk menyelarasakan dengan beberapa kebutuhan seperti: perkembangan teknologi yang ada di pemakai jasa, rata-rata kemampuan mahasiswa dalam menyerap materi ajar, beberapa masukan yang diperoleh melalui kuesioner ataupun dari pengguna jasa lulusan.
  6. Keberhasilan pelaksanaan bimbingan akademik dan non akademik sebagai wadah untuk memotivator mahasiswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
  7. Keterkaitan diantara penetapan luaran berdasarkan tujuan pegamalan tridarma perguruan tinggi:

YouTube

Translate

Lencana Facebook

Fans Page Facebook

Video


Download video clip Cakra Khan Harus Terpisah