Pendahuluan
Ilmu politik telah mengalami perkembangan yang menarik sebagai
sebuah disiplin ilmu. Perkembangan tersebut diwarnai oleh adanya perdebatan di
antara para ilmuwan politik yang berbeda pandangan tentang apa yang seharusnya
menjadi obyek utama dalam kajian ilmu politik dan bagaimana cara mempelajari
obyek studi tersebut. Perdebatan itu semakin hebat semenjak dasawarsa
limapuluhan, yaitu setelah sebagian ilmuwan politik menggunakan pendekatan
tingkah laku (behavioral approach) untuk mempelajari kehidupan politik.
Perdebatan yang terjadi di dalam disiplin ilmu politik tersebut
disebabkan oleh adanya perbedaan dalam persepsi tentang persyaratan-persyaratan
bagi sebuah disiplin ilmu. Ilmuwan politik behavioralis beranggapan bahwa ilmu
politik haruslah menggunakan metode-metode keilmuan yang biasa digunakan dalam
ilmu-ilmu alam/ eksakta (seperti pengumpulan data empiris, metode penelitian
yang ketat, pembentukan teori universal). Sebaliknya ilmuwan politik yang lain
(biasa disebut sebagai ilmuwan politik internasional) menganggap bahwa semua
itu tidaklah perlu, karena obyek studi ilmu-ilmu alam berbeda dengan dari
ilmu-ilmu sosial. Kenyataan itu membawa akibat bahwa metode yang telah terbukti
bermanfaat bagi ilmu-ilmu alam belum tentu atau bahkan tidak ada manfaat bagi
ilmu-ilmu sosial. Peniruan itu tidak akan membawa kemajuan bagi ilmu politik
sebagai sebuah disiplin ilmiah, justru yang terjadi adalah pemborosan waktu.
Perdebatan belum mereda saat para ilmuwan politik dikejutkan
oleh munculnya kritik yang keras terhadap pendekatan tingkah laku yang justru
muncul dari salah seorang tokoh pendekatan, David Easton. Ilmu behavioralis
terlalu asyik dengan model-model analisis (yakni metode-metode keilmuan)
sehingga melupakan realita politik dan persoalan-persoalan sosial yang ada.
Meskipun ada kritik tersebut, tidaklah berarti bahwa para ilmuwan politik
behavioralis meninggalkan semua yang telah mereka hasilkan selama dua dasawarsa
(1950-an dan 1960-an). Mereka masih menggunakan model analisis, framework of
analysis, kerangka berpikir, atau apapun namanya yang telah mereka hasilkan.
Yang berubah adalah munculnya kesadaran tentang perlunya keterkaitan yang jelas
antara metode-metode keilmuan yang mereka hasilkan itu dengan peningkatan
pemahaman terhadap masalah-masalah politik yang berkembang pesat dalam
masyarakat. Kritik terhadap pendekatan behavioralis ini memberi kesempatan bagi
munculnya pendekatan alternatif dalam ilmu politik yang bisa disebut dengan
nama umum sebagai pendekatan pasca tingkah laku. Pendekatan ini memberikan
kritik yang tajam terhadap pendekatan tingkah laku. Kritik tersebut menyangkut
hal-hal yang mendasar dari pendekatan tingkah laku, yakni landasan filsafat dan
obyek studi. Pluralisme dan depedensi penguasa politik pada rakyat
dipertanyakan oleh pendekatan baru tersebut karena adanya bukti-bukti empiris
yang ditujukan oleh perkembangan masyarakat. Perkembangan tersebut menuntut
adanya perubahan atau pergantian terhadap landasan filsafat baru.
Objek studi ilmu politik
menurut pendekatan pasca tingkah laku harus digeser dari tingkah laku
aktor-aktor politik ke lembaga politik terpenting di dalam masyarakat yang
disebut negara. Fokus pada tingkah laku individu yang diperkenalkan oleh
pendekatan pasca tingkah laku telah mengabaikan peranan warga karena adanya
anggapan bahwa keinginan dan aspirasi warga masyarakat adalah faktor yang
menentukan keinginan dan aspirasi penguasa politik (negara). Pendekatan pasca
tingkah laku dalam ilmu politik dapat dikelompokkan menjadi pendekatan
kelembagaan, pendekatan perilaku, pendekatan kelompok, pendekatan ekonomi
politik, pendekatan sistem dan pendekatan marxisme. Meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan dalam penekanan, ketiganya mempunyai kesamaan yakni fokus
pada negara dan peranan yang besar yang dimainkannya dalam politik.
Pendekatan Kelembagaan
Kajian pendekatan kelembagaan atau institusional memfokuskan
pada lembaga pemerintah. Kegiatan politik berpusat pada lembaga pemerintah
tertentu seperti kongres, kepresidenan, dsb. Kegiatan individu dan kelompok
diarahkan kepada lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif
ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga pemerintah sangat
erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan
itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Lembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang berbeda
terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada
kebijakan-kebijakan. Kebijakan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang sah
menunutut loyalitas warganegara. Kedua, kebijakan pemerintah membutuhkan
universalitas. Hanya kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum
secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Keunggulan kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut
loyalitas dari semua warga negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan
yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah
yang mendorong individu-individu dan kelompok-kelompok.
Pendekatan institusionalisme atau kelembagaan mengacu pada
negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan
institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik “pemerintahan
yang baik” atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik
“pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian berkembang lagi
dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda. Namun, pada
dasarnya jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis
institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah
antara “baik” dan “buruk” tadi. Bahasan tradisional dalam pendekatan ini
menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan,
kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan
seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur
legal maupun institusional.
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan
ini, yakni:
® Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan
pemerintah pusat dalam mengatur hukum;
®
Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama
atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan
perilaku seseorang;
® Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh
atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang “bersifat” individu
seperti legislatif;
®
Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam
aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan;
®
Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan
analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan
good government.
Akan tetapi mengenai
kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar untuk dilaksanakan dan kurang dapat
berkembang. Sekalipun demikian, pandangan untuk memusatkan perhatian pada
kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih bersifat
fungsional, dan pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari
kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah
satu dari sekian banyak faktor dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan.
Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku
terhadap analisis politik dan sosial berkonsentrasi pada satu pertanyaan
tunggal yakni mengapa orang berkelakuan sebagaimana yang mereka lakukan ? yang
membedakan pendekatan perilaku dengan dengan pendekatan lain adalah bahwa : (a)
perilaku dapat diteliti (observable behaviour) dan (b) penjelasan apapun
tentang perilaku tersebut mudah diuji secara empiris.